MUI-BOGOR.ORG – Dalam unggahan di X beberapa hari yang lalu, Musk membagikan diskusinya dengan Alice Weidel, pemimpin Partai Alternative für Deutschland (AfD). Pada postingan itu, Elon Musk membagikan gagasannya terkait solusi untuk konflik Israel-Palestina.
Berdasarkan kutipan Middle East Monitor (12 Januari 2025), Musk menguraikan tiga langkah utama yang menurutnya dapat melindungi Israel sekaligus membangun masa depan Palestina.
Pertama, ia menegaskan perlunya melenyapkan Hamas. Kedua, memperbaiki sistem pendidikan di Palestina agar tidak lagi menanamkan kebencian terhadap Israel sejak usia dini. Ketiga, menciptakan kemakmuran di Palestina dengan membangun kembali wilayah tersebut.
Musk membandingkan pendekatan ini dengan keberhasilan AS dalam membangun kembali Jepang dan Jerman pasca Perang Dunia II, yang berakhir menjadikan kedua negara tersebut sebagai sekutu dekat. Musk menyarankan model serupa dapat diterapkan untuk Palestina demi menciptakan stabilitas jangka panjang di kawasan maupun dunia pada umumnya.
Apa yang disampaikan Musk tentu saja membuat banyak orang terperangah, ada yang tidak percaya, bahkan tidak sedikit yang mempertanyakan. Dalam kaitan ini Musk seolah mengetahui kemungkinan terealisasinya gencatan senjata dalam waktu dekat. Spekulasi pun bermunculan di antara para pakar di bidang terkait, membahas dan menganalisa kemungkinan penerapannya pasca gencatan senjata.
Bagi kita di nusantara yang sudah banyak makan asam garam penjajahan, mendengar solusi tersebut tentu tidak akan menyebabkan keterkejutan. Hal itu terkait dengan pengalaman sejarah di Aceh lebih dari satu abad lalu.
Pasalnya, pendekatan serupa pernah diterapkan Belanda atas usulan Dr. Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda, dalam konteks Perang Aceh. Usulan dimaksud merujuk pada 23 Mei 1892, ketika sebuah laporan yang berjudul Atjeh Verslag diusulkan pada Belanda. Pada akhirnya, laporan tersebut dijadikan sebuah buku berjudul De Atjehers (Poesponegoro. dkk. 2008).
Sebagaimana kita ketahui bahwa perang Aceh adalah konflik selama 31 tahun yang berlangsung dari tahun 1873 hingga 8 Februari 1904. Perang ini dipicu oleh upaya Belanda untuk menguasai wilayah Kesultanan Aceh yang kaya akan rempah-rempah ditambah keterlibatan Kesultanan Aceh dalam perdagangan internasional setelah Terusan Suez dibuka.
Setelah mengalami perlawanan sengit selama puluhan tahun, Belanda mulai mengadopsi strategi baru berdasarkan rekomendasi Snouck Hurgronje tersebut yang menyarankan pendekatan yang lebih strategis di bidang pendidikan dengan memanfaatkan pendidikan untuk memisahkan agama dari kehidupan sosial dan politik (Purnamasari, dkk. 2024).
Tidak cukup sampai disitu, Belanda juga di bidang pendidikan melakukan kontrol ketat termasuk mengawasi dayah (pusat pendidikan Islam) sambil memperkenalkan pendidikan sekuler. Kebijakan pendidikan ini ditempuh karena linier dengan politik etis yang dicanangkan Hindia Belanda sejak 1870 di bawah Gubernur Jenderal Van Deventer.
Meski terlihat baik, namun upaya Belanda tersebut pada hakikatnya bersifat diskriminatif. Bagaimana tidak diskriminatif, ketika itu pendidikan tinggi hanya terbuka bagi golongan priyayi, sementara rakyat jelata hanya dapat mengakses pendidikan dasar. Dampaknya, meskipun terlihat ada stabilitas sosial, program ini juga melemahkan patriotisme dan solidaritas nasional (Gunawan. 1986).
Kebijakan ini terbukti telah merugikan rakyat Aceh dalam jangka panjang. Namun hasil sebaliknya dipetik Belanda utamanya dalam membantu meredakan konflik yang paling menguras tenaga dan dana. Dengan memecah kesatuan masyarakat Aceh melalui intervensi terhadap perubahan struktur sosial dan budaya, perang besar di wilayah tersebut akhirnya berakhir pada 1905.
Praktis, dengan ditangkapnya Cut Nyak Dien yang dibuang ke Sumedang setahun kemudian menjadi akhir dari perang yang melelahkan itu. Fase mengkonsolidasikan Aceh berikutnya adalah melaksanakan politik pasifikasi dengan membangun infrastruktur ekonomi pasca perang di bawah Gubernur Militer dan Sipil Aceh, Johannes Benedictus van Heutsz sejak akhir abad 19 (Umar. 2021).
Jika dibandingkan dengan strategi Belanda di Aceh, rencana Musk saat ini untuk membangun kemakmuran Palestina melalui pendidikan dan rekonstruksi wilayah ternyata mengandung beberapa kesamaan. Melihat apa yang telah terjadi di Aceh, pendekatan yang sama dapat saja mengubah struktur sosial Palestina secara mendasar.
Tidak hanya itu, seperti yang terjadi di Aceh, kebijakan ini berpotensi memecah kesatuan nasional Palestina yang sudah terjalin kuat selama ini, utamanya dengan bersatunya Faksi Fatah, Faksi Hamas dan berbagai faksi lainnya menghadapi penjajah.
Melihat pengalaman Aceh dalam mengadopsi pendekatan politik etis dan pasifikasi, solusi yang diusulkan Musk seolah menegaskan kepentingan geopolitik Barat yang cenderung memihak Israel. Dampak jangka panjangnya, bila muncul kata sepakat dari pihak Palestina perlu dipertimbangkan dengan ekstra hati-hati, karena kebijakan serupa dalam sejarah dunia sering kali tidak hanya membawa stabilitas, tetapi disebaliknya tidak jarang dapat merusak identitas dan solidaritas masyarakatnya. Wallahu a’lam bi as shawab