Makna Tersembunyi di Balik Do’a Duduk Iftirasy

Makna Tersembunyi di Balik Do’a Duduk Iftirasy

MUI-BOGOR.ORG – Setiap manusia tentu mendambakan kehidupan yang indah dan tenang, tanpa gangguan masalah yang dapat meresahkan hati. Dalam Al-Qur’an, kita sering mendengar bahwa salat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.

Namun, kenyataan di tengah masyarakat seolah bertolak belakang dengan makna ayat tersebut. Banyak orang kini dengan mudah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan norma agama, yakni menyebarkan kebencian, berita bohong, serta saling menghasut satu sama lain.

Ada kontradiksi yang tampak antara janji Al-Qur’an, bahwa salat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, dengan realitas sosial saat ini. Tidak sedikit orang yang rutin menunaikan salat, namun masih terlibat dalam perilaku negatif seperti menyebarkan kebencian, kebohongan, dan fitnah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa banyak di antara kita yang masih memaknai salat sebatas ritual ibadah, tanpa benar-benar menghayati dan mengimplementasikan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.

Wakil Ketua Umum MUI Kabupaten Bogor KH. Ahmad Ibnu Athoilah saat mengisi kuliah PKU Angkatan ke-19
Foto: Wakil Ketua Umum MUI Kabupaten Bogor KH. Ahmad Ibnu Athoilah saat mengisi kuliah PKU Angkatan ke-19. (YouTube MUI Kab. Bogor)

Lantas, bagaimana para ulama memaknai ibadah salat dalam kehidupan sehari-hari? Wakil Ketua MUI Kabupaten Bogor, KH. Ahmad Ibnu Athoillah, menjelaskan makna salat melalui pendekatan ilmu tasawuf.

Menurutnya, salat ibarat sebuah senjata. Banyak di antara kita yang memiliki senjata itu, namun tidak tahu cara menggunakannya, tidak tahu bagaimana menekan pelatuk, membidik sasaran, bahkan tidak tahu cara memasukkan peluru.

Jika kita berusaha memahami makna terdalam dari salat, maka ibadah itu akan menuntun hati kita untuk lebih dekat kepada Allah SWT., menghadirkan ketenangan batin, dan pada akhirnya membawa kita pada kehidupan yang indah sebagaimana yang selalu kita dambakan.

Dalam salat, ada salah satu gerakan duduk iftrasy (duduk di antara dua sujud). Saat kita melaksanakan gerakan tersebut terdapat doa yang harus dibaca dengan baik, lafaznya seperti ini:

رب اغْفِرلي وَارْحَمْنِى واجبرني وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِى وَاهْدِنِى وَعَافِنِى وَاعْفُ عَنِّى

“Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah keadaanku, tinggikanlah derajatku, berilah rezeki dan petunjuk untukku”

Awal doa tersebut menggunakan munada (sebutan untuk kalimat penyeru dalam Bahasa Arab) dengan lafaz رب اغْفِرلي. Pernahkah kita menyadari kenapa lafaz munada tersebut tidak menggunakan lafaz munada yang lain seperti اللّهم  ?

Lafaz Rab artinya dia yang memiliki atau mengurus, berbeda dengan Allahumma yang artinya ‘Ya Allah,’ sehingga kalimat ‘Ya Allah’ hanya berarti seruan kepada-Nya semata tanpa mensifati bahwa Dia yang memiliki atau mengurus setiap lini kehidupan manusia.

Maka, ketika kita mengucapkan lafaz Rabbi harus menghayati di dalam hati sanubari bahwa Allah lah yang mengurus manusia, sedangkan manusia hanyalah marbub (objek yang diurus).

Dengan memahami hal tersebut, dapat menumbuhkan kesadaran bahwa manusia hakikatnya tidak memiliki apa-apa, semua yang dimiliki manusia mulai dari pangkat dan jabatan merupakan kepunyaan Allah SWT yang Maha Mengurus dan Memiliki. Bahkan ibadah salat kita pun, semuanya milik Allah SWT, karena Dia lah yang mampu menggerakan jasad ini untuk beribadah kepada-Nya.

“Kita ini bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa, kalau kemudian di lain hari kita menjadi siapa dan apa itu karena Dia (Allah) yang maha mengurus dan memiliki” kata Kiai Atho dalam perkuliahan bersama mahasiswa Pendidikan Kader Ulama (PKU) angkatan ke-19 yang disiarkan melalui akun YouTube MUI Kabupaten Bogor.

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Wafa Rumpin tersebut menjelaskan, saat duduk iftirasy terdapat 8 (delapan) doa atau permintaan yang dibagi dua. Jika empat permintaan kita sikapi atau implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka sisa empat permintaan dalam doa tersebut dapat kita raih.

Pertama, kita meminta ampunan (اغْفِرلي). Setiap manusia tentu tidak luput dari dosa dan kemaksiatan. Namun, yang sering terjadi saat ini adalah ketidakkonsistenan antara permohonan ampun kita kepada Allah dengan perilaku sehari-hari. Kita memohon ampun dalam salat, tetapi setelahnya kembali melakukan perbuatan maksiat.

Karena itu, penting bagi kita untuk benar-benar menghayati makna permohonan ampun tersebut dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata—antara lain dengan saling memaafkan, menyayangi, dan berbuat baik dalam kehidupan sosial. Jika penghayatan ini tumbuh dalam diri, maka kita akan meraih ampunan yang besar dari Allah SWT. ( وَاعْفُ عَنِّى).

Kedua, meminta kasih sayang-Nya/welas asih-Nya (وَارْحَمْنِى). Kasih sayang Allah SWT. tidak terbatas dan tidak memandang siapa pun atau apa pun alasannya. Namun, manusia justru sering kali jauh dari sifat welas asih, baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk-Nya.

Kita cenderung menunjukkan kasih sayang hanya kepada orang yang berjasa atau berbuat baik kepada kita. Sebaliknya, ketika seseorang berbuat salah atau menyakiti hati kita, rasa welas asih itu seakan lenyap. Padahal, jika kita mampu menghayati dan meneladani kasih sayang Allah dalam kehidupan sehari-hari, niscaya kita akan memperoleh perlindungan dan rahmat-Nya yang tak ternilai (وَعَافِنِى).

Ketiga, Kita sering memohon kepada Allah SWT. agar diberi kecukupan rezeki (واجبرني ). Namun, perilaku manusia justru sering tidak sejalan dengan doa tersebut. Harta yang telah Allah SWT anugerahkan terasa tidak pernah cukup, karena kita sendiri menggunakannya hanya untuk menuruti hawa nafsu dan kesenangan duniawi.

Akibatnya, harta itu kehilangan keberkahannya. Padahal, jika kita mampu bersyukur dan menggunakannya dengan bijak, niscaya Allah SWT akan menambah dan memberkahi rezeki yang kita miliki.

”Kita mendapatkan gaji besar dengaan keuntungan sekian dari pekerjaan kita, tetapi seminggu saja harta itu sudah habis laksana uap yang mengembun. Kita merasa harta yang diberikan oleh Allah tidak cukup, padahal kita sendiri yang tidak merasa bersyukur” tegas Kiai Atho.

Jika manusia mampu menyikapi permintan واجبرني maka akan meraih petunjuk dari Allah SWT (وَاهْدِنِى) yang mengantarkan kita mendapatkan apapun, terutama ma’rifatullah.

Keempat, Kita sering memohon kepada Allah SWT. agar ditinggikan derajat (وَارْزُقْنِى). Siapa yang tidak ingin memperoleh kedudukan mulia, baik di mata manusia maupun di hadapan Tuhannya? Di mata manusia, derajat yang tinggi biasanya diraih melalui kemampuan dan kedekatan dengan orang yang berpengaruh. Begitu pula di hadapan Allah SWT., derajat seseorang ditentukan oleh sejauh mana ilmunya dan kedekatannya kepada-Nya.

Jika kita mampu memahami dan menghayati makna permohonan ini, maka Allah akan membuka jalan rezeki bagi kita. Rezeki itu tidak selalu berbentuk materi, tetapi juga bisa berupa ilmu, gagasan, dan pemikiran yang bermanfaat.

Kesimpulannya, salat yang benar bukan sekadar ritual ibadah, melainkan ruang latihan spiritual untuk membentuk kesadaran dan kepribadian. Di dalamnya terkandung doa-doa yang mengajarkan kita untuk memaafkan, berwelas asih, bersyukur, serta terus meningkatkan kualitas diri melalui ilmu dan kedekatan dengan Allah SWT. Jika nilai-nilai itu benar-benar dihayati dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka salat akan menjadi sumber kedamaian dan jalan menuju kehidupan yang indah dan penuh berkah.

Editor: Faisal Wibowo
Penulis: Muhammad Firmansyah
Sumber: YouTube MUI Kabupaten Bogor