Tazkiyatun Nafs di Era Digital

Tazkiyatun Nafs di Era Digital

MUI-BOGOR.ORG – Di tengah derasnya arus informasi dan godaan materialisme di era digital, seorang muslim dituntut untuk mampu menjaga kebersihan hati (tazkiyatun nafs) agar tetap berada di jalan yang diridhai Allah SWT.

Konsep tazkiyatun nafs tidak hanya berkaitan dengan ibadah ritual, tetapi juga menyentuh seluruh dimensi kehidupan cara berpikir, bersikap, bekerja, menggunakan media sosial, dan berinteraksi dengan sesama.

Allah SWT menegaskan, “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: [91]: 9–10). Ayat tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dengan pencapaian duniawi, melainkan dengan sejauh mana seseorang menjaga kesucian hati dari penyakit seperti sombong, riya, iri, dengki, rakus dan cinta dunia berlebihan.

Tazkiyatun Nafs dalam Islam selalu dikaitkan dengan kontrol diri dari godaan syahwat dan kelemahan spiritual. Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging; jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik, dan jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut mengajarkan bahwa hati adalah pusat kendali seluruh perilaku manusia. Ketika hati terpenuhi dzikir, ilmu, dan ketundukan kepada Allah SWT, maka lahirlah perilaku-perilaku yang baik dan jauh dari maksiat. Sebaliknya, ketika hati dikuasai hawa nafsu, maka manusia mudah tergelincir dalam perbuatan yang merusak.

Para ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa tazkiyatun nafs dapat dilakukan melalui tiga jalan: (1) menjauhi sumber penyakit hati, seperti konsumsi informasi negatif, ghibah, dan pergaulan buruk; (2) memperbanyak amal ibadah, seperti shalat malam, dzikir, membaca Al-Qur’an, dan sedekah; (3) muhasabah, yaitu mengevaluasi diri secara rutin.

Sementara dalam kitab Madarij as-Salikin, Ibn Qayyim al-Jauziyyah menegaskan bahwa penyucian hati bukan sekedar teori, tetapi harus diwujudkan dalam usaha sungguh-sungguh (mujahadah), sebab jiwa manusia cenderung condong pada kelalaian dan kemalasan apabila tidak dilatih.

Di era digital seperti sekarang ini, tazkiyatun nafs berarti menjaga mata, telinga, dan hati dari konten digital yang merusak, membatasi penggunaan gawai, tidak menyebarkan berita hoax, serta membangun budaya produktif dan bermanfaat.

Seorang muslim dianjurkan memanfaatkan media sosial sebagai sarana dakwah, ilmu, dan kebaikan, bukan sebagai tempat menebar iri, kebencian, atau pamer kemewahan alias flexing. Prinsip ini sejalan dengan maqaṣhid al-syari’ah yang menekankan penjagaan akal, jiwa, dan moral.

Melalui tazkiyatun nafs di era modern, seorang Muslim tidak hanya melindungi dirinya dari pengaruh negatif, tetapi juga menjadikan dirinya cahaya bagi masyarakat di sekitarnya. Wallahu a’lam bi ash-showab.

Penulis: Arman Nadziri, M.Pd. (Dosen STEMBI Bandung/Mahasiswa PKU MUI Kabupaten Bogor Angkatan XIX)
Penulis: Arman Nadziri, M.Pd. (Dosen STEMBI Bandung/Kader PKU Angkatan XIX)