MUI-BOGOR.ORG – Sekretaris Umum MUI Kabupaten Bogor, H. Irfan Awaludin, M.Si., menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan “Konsolidasi dan Sinergitas Tim Kewaspadaan Dini (Komunitas Intelijen Daerah) Kabupaten Bogor” yang diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Bogor, bertempat di Aula Camp Hulu Cai, Kecamatan Ciawi, Senin (10/11/2025).
Dalam paparannya, Gus Irfan menekankan pentingnya memahami sejarah panjang peradaban Nusantara, memperkuat peran ulama dan pesantren dalam pendidikan kebangsaan, serta meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman ideologi ekstrem yang mengancam persatuan bangsa di era modern.
Menurut Gus Irfan, sejarah menunjukkan bahwa Nusantara telah memiliki peradaban maju sejak lebih dari 25.000 tahun lalu, jauh sebelum munculnya kerajaan-kerajaan besar dunia. Keberadaan Situs Gunung Padang di Cianjur memperkuat bukti tersebut, sekaligus menegaskan bahwa Indonesia memiliki warisan peradaban tua yang berpengaruh besar dalam perdagangan dan pertahanan dunia.

Ia juga menyinggung kejayaan VOC pada abad ke-17 yang memiliki kekayaan setara 7,9 triliun USD, menjadikannya perusahaan terbesar sepanjang sejarah. “Kejayaan ekonomi VOC menjadi bukti bahwa Nusantara adalah pusat perebutan sumber daya dan jalur perdagangan dunia,” ujar alumni IPB University tersebut.
Sejarah juga mencatat peran penting kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan tokoh-tokoh perempuan tangguh, di antaranya Ratu Kalinyamat dan Laksamana Malahayati, yang menunjukkan bahwa kepemimpinan dan keberanian perempuan sudah menjadi bagian dari sejarah panjang Nusantara.
Gus Irfan menguraikan, bahwa ulama dan pesantren memiliki peran sentral dalam membangun peradaban dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Setelah masa Pangeran Diponegoro, pesantren menjadi basis perjuangan sekaligus pusat pendidikan karakter bangsa.
Ulama-ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari dan Syekh Nawawi al-Bantani menjadikan pesantren sebagai sarana perjuangan intelektual dan spiritual, sekaligus benteng moral melawan penjajahan. Peran ulama juga nyata dalam perjuangan fisik, seperti pembentukan Tentara Hizbullah yang beranggotakan 500 santri pada 1945, yang berjuang di berbagai daerah melawan tentara Sekutu.

“Semangat jihad dan nasionalisme para ulama dan santri menjadi fondasi bagi terbentuknya Indonesia yang berdaulat,” katanya.
Lebih jauh, Gus Irfan menyebut tantangan di abad ke-21 bukan lagi perang fisik, melainkan perang ideologi. Ancaman seperti radikalisme, ekstremisme, neoliberalisme, dan konflik minoritas menjadi tantangan nyata bagi stabilitas nasional.
Ia menyoroti masih aktifnya jaringan radikalisme dan terorisme yang didukung pendanaan besar dari luar negeri, termasuk di beberapa lembaga Pendidikan Islam di Bogor. Selain itu, maraknya judi online, prostitusi daring, dan pinjaman online ilegal menjadi ancaman moral dan ekonomi yang tak kalah berbahaya.
“Pendekatan keras saja tidak cukup. Kita perlu membangun kesadaran, spiritualitas, dan pendidikan moderasi agar masyarakat kuat secara ideologi dan moral,” tegasnya.

Gus Irfan juga menyoroti rendahnya tingkat kesadaran sosial masyarakat, yang menjadi akar dari berbagai persoalan bangsa. Menurut penelitian David R. Hawkins, menunjukkan negara berkembang seperti Indonesia memiliki tingkat kesadaran/energi di bawah 150, karena banyaknya masalah yang ada, sedangkan negara maju tingkat kesadarannya berada di atas 200.
Kondisi ini, katanya, berdampak pada meningkatnya pengangguran, kriminalitas, dan masalah kesehatan mental. “Meningkatnya kasus stres, depresi, dan masifnya kunjungan Masyarakat kita ke psikiater menjadi alarm bahwa bangsa ini perlu membenahi kesadaran spiritualnya,” ujar Gus Irfan.
Sebagai penutup, Gus Irfan menegaskan pentingnya menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Sunda yang terkandung dalam Sang Hyang Siksa Kandang Karesian (SKKS) dan memperkuat spiritualitas Nusantara sebagai solusi menghadapi tantangan modern. Ia menilai, penguatan karakter, seni tradisi, dan nilai spiritual merupakan jalan untuk membangun masyarakat yang tangguh, sehat, dan bermoral.
“MUI bersama lembaga keagamaan perlu memperkuat pendidikan berbasis kearifan lokal, memperkuat moderasi beragama, dan menolak segala bentuk ekstremisme,” tutupnya.
Merespon paparan Gus Irfan, peserta dari FKDM Kecamatan Leuwiliang, Abah Haris dan peserta dari Kostrad, menilai kembali kepada nilai-nilai luhur budaya dan penguatan spiritualitas menjadi solusi yang tajam untuk menyelesaikan persoalan daerah.
“Terima kasih atas paparan yang luar biasa dari MUI Kabupaten Bogor, kami sangat setuju bahwa agar kita menjadi bangsa yang kuat, syaratnya harus kembali kepada ajaran dan nilai luhur budaya Sunda, ditambah lagi dengan memperkuat spiritual,” pungkas Abah Haris.
Editor: Faisal Wibowo






