MUI-BOGOR.ORG – Kalau kita lihat jejak sejarah ulama nusantara melalui arsip, manuskrip, dan dokumen tertulis peninggalan terdahulu yang usianya ratusan tahun, kita akan menemukan bahwasanya ulama dahulu adalah para negarawan, pemegang kebijakan terhadap jalannya negara ini, para diplomat, dan juru runding, selain mereka juga memiliki tugas utama menjadi Warotsatul Anbiya dakwah menyebarkan agama Islam dan menjadi rujukan ilmu-ilmu keislaman.
Hal itu disampaikan oleh Ahli Filolog Islam Dr. KH. Ahmad Ginanjar Sya’ban pada perkuliahan Pendidikan Kader Ulama (PKU) angkatan ke 16, yang disiarkan melalui Channel Youtube MUI Kabupaten Bogor, Rabu (10/8/22).
Peraih penghargaan Santri Award 2021 itu menceritakan bagaimana kiprah kepemimpinan politik ulama Nusantara, diantaranya seorang ulama sekaligus sultan di Kesultanan Banten bernama Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir (1596 – 1651) yang menjadi salah satu cerminan dan juga rujukan penting terkait kepemimpinan politik ulama Nusantara.
“Ketika ia memimpin Kesultanan Banten tercatat sebagai masa keemasannya dan juga puncak kejayaannya yang memiliki hubungan diplomatik dan juga jaringan internasional yang sangat luas sekali,” jelasnya.
Ia melanjutkan, pada tahun 1636 Sultan Abul Mafakhir mengirimkan tiga orang duta besar bertemu dengan penguasa Mekah pada masa itu Syarif Zaid, dan Syaikh Muhammad Ali bin ‘Allan Ash Shiddiq Al Makki yang dikenal dengan Ibnu ‘Allan seorang ulama besar yang banyak menulis kitab di antaranya Dalil Al-Falihin syarah terhadap kitab Riyadush Shalihin.
“Syeikh Ibnu ‘Allan itu jadi ditemui oleh tiga orang duta besar utusan Syeikh Abul Mafakhir untuk menuliskan dua Syarahan kitab yaitu kitab Addurah Al Fakhirah dan kitab Nashihatul Mulk. Kemudian munculah kitab Ghautsul Bihari Zalkhirah dan Al Manhaj Al Wadihatus Suluk. Dua karya ini hanya ada dua yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia yang masih berupa naskah tulis tangan. Sehingga ini menjadi bukti ulama menjadi aktor politik pada zamannya,” beber Dr. Ginanjar
Pria yang menjabat sebagai Wasekjen PBNU tersebut meminta kepada para kader ulama MUI Kabupaten Bogor harus menjadi ulama yang mampu mendalami ilmu agama dan juga sejarah perkembangan Islam di Indonesia.
“Sebab jika kita tidak memahami sejarah perkembangan Islam di Indonesia, bagaimana Islam bisa berkembang di negeri kita nanti, dampaknya fatal kita akan menjadi generasi yang terputus mata rantai akhirnya kita mengambil dari sejarah bangsa lain yang belum tentu kemudian pengalamannya cocok diterapkan di Indonesia,” pungkasnya. (fw)