Titik Temu antara Filsafat dan Agama

Titik Temu antara Filsafat dan Agama Puad Hasan, MA., foto bersama peserta PKU 19. Foto: Tim Digital MUI Kab. Bogor

MUI-BOGOR.ORG – Manusia adalah makhluk sempurna dengan akalnya, jika digunakan sesuai dengan porsinya. Mendalami filsafat dengan akal merupakan ikhtiar untuk mencapai derajat manusia paripurna, sementara mempelajari agama adalah jalan untuk meninggikan martabat di hadapan Allah SWT. Dua jalan ini pada akhirnya akan saling bertemu.

Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Dr. (C) Puad Hasan, MA., M.A., dalam kegiatan Pendidikan Kader Ulama (PKU) Angkatan XIX MUI Kabupaten Bogor, di Aula Balai Diklat Dharmais, Kecamatan Sukaraja, Minggu (31/8/2025).

Lebih jauh, Kandidat Doktor Pemikiran Islam Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta tersebut memaparkan, dalam rangka menemukan titik temu filsafat dan agama, maka lahir empat tipologi pemikiran sebagai berikut.

Dr (c) Puad Hasan, MA., saat menjadi narasumber PKU Angkatan XIX. Foto: Tim Digital MUI Kab. Bogor

Pertama, Filsafat sebagai agama itu sendiri. Dalam tipologi ini, filsafat dijadikan jalan tunggal untuk memahami realitas, tanpa bersandar pada dogma agama. Sejarah mencatat sejumlah filsuf Barat, termasuk Zarathustra, berpijak pada pola pikir ini.

“Dalam Islam, Ibn Rusyd dikenal sebagai tokoh yang banyak menggunakan pendekatan filsafat Aristotelian. Namun tipologi ini sering melahirkan paradoks-paradoks pemikiran, seperti pertanyaan “Bisakah Tuhan menciptakan sesuatu yang lebih besar dari diri-Nya sendiri?” ujarnya.

Kedua, Filsafat mendukung dan membantu agama. Inilah tipologi yang banyak memberi kontribusi besar dalam peradaban Islam. Filsafat melahirkan berbagai disiplin ilmu, mulai dari balaghah, ilmu falaq, fiqh, hingga ilmu-ilmu Al-Qur’an. Imam Al-Ghazali adalah tokoh sentral dari tipologi ini. Ia bahkan sempat berdebat dengan Ibn Rusyd, Ibn Sina, dan Al-Farabi. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Tahafut al-Falasifah, yang menjadi bukti bagaimana filsafat bisa menjadi alat yang memperkuat agama.

Ketiga, Paradigma independen. Kelompok ini memisahkan filsafat dan agama sebagai dua ranah berbeda yang tidak saling mengganggu. Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18 yang dikenal sebagai bapak filsafat modern, adalah contoh pemikir dengan paradigma ini. Kant memberi kontribusi besar dalam bidang etika, epistemologi, metafisika, estetika, hingga logika.

Keempat, Filsafat menjelaskan agama. Dalam tipologi terakhir, filsafat digunakan sebagai alat analisis untuk memperdalam pemahaman agama. Misalnya, ibadah puasa dapat ditinjau dari perspektif filsafat sehingga melahirkan penjelasan yang lebih kontekstual.

Kang Fuad menegaskan bahwa filsafat yang dihadirkan kepada kader PKU berada pada tipologi kedua, yakni filsafat yang mendukung dan membantu agama. Ia berharap, para mahasiswa PKU mampu menjadi penolong agama Allah dengan sudut pandang filsafat yang mencerahkan.

Lebih jauh, Kang Puad merinci tiga manfaat penting dari tipologi kedua ini:

Pertama, Ma’rifatullah. Filsafat membantu manusia mengenal Allah dengan cara yang rasional. Islam, tegasnya, bukanlah agama taqlid buta. Setiap Muslim dituntut untuk berpikir, menggunakan akal, lalu meneguhkan keyakinan dalam hati.

Kedua, membebaskan dari fanatisme buta. Dengan filsafat, seseorang diajak membuka diri terhadap berbagai sudut pandang. Kebijaksanaan lahir dari keterbukaan, sebagaimana sabda Nabi SAW bahwa “kebijaksanaan adalah barang hilang seorang mukmin,” katanya.

Ketiga, menafsirkan agama secara kontekstual. Seorang kader PKU dituntut mampu memahami ajaran agama dengan perspektif filsafat yang relevan dengan perkembangan zaman, sehingga pesan agama tidak terjebak pada teks semata, tetapi hidup dalam realitas masyarakat.

Menutup paparannya, Kang Puad mengingatkan bahwa pertemuan filsafat dan agama bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling melengkapi, sehingga melahirkan manusia yang berilmu, bijaksana, dan beriman. (Penulis: Toto. Editor: Faisal)