MUI-BOGOR.ORG – Berdasarkan kitab Minhatul Mughῑts, ilmu hadits riwāyah lebih dulu lahir dibandingkan dengan ilmu hadits dirāyah. Ilmu hadits riwāyah muncul pada masa tābi’in, tepatnya pada masa Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Sedangkan ilmu hadits dirāyah baru berkembang pada masa atba’u at- tābi’n.
Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua MUI Kecamatan Megamendung, KH. Ahmad Maqsudi, pada pekan kesepuluh perkuliahan Pendidikan Kader Ulama (PKU) angkatan XIX di Aula Balai Diklat Dharmais, Kecamatan Sukaraja, Ahad (21/9/2025).
KH. Ahmad Maqsudi yang kerap disapa Abu Taqi tersebut, menjelaskan bahwa pada masa Rasulullah SAW, umat Islam belum mengenal tradisi penulisan hadits. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda: “لاَتَكْتُبُ عَنِّييْ غَيْرَ القُرْآن” – Janganlah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an. Larangan ini dimaksudkan agar tidak terjadi pencampuradukan antara wahyu Al-Qur’an dengan perkataan Nabi.

Namun, setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat hanya mengandalkan hafalan untuk menjaga sunnah. Pada masa Khulafāu ar-Rāsyidῑn metode ini masih dipertahankan. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak sahabat dan tābi’in yang wafat, sehingga muncul kekhawatiran akan hilangnya warisan hadits, karena hadits merupakan sumber hukum ke dua setelah al-Qur’an.
“Kekhawatiran inilah yang mendorong Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz untuk mengambil langkah strategis dengan menginstruksikan pembukuan hadits. Ulama besar yang merespon pada masa itu ialah Syaikh Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, yang kemudian dikenal sebagai pencetus ilmu hadits riwāyah,” papar alumni PKU angkatan pertama ini.
Tidak berhenti pada sejarah saja, Abu Taqi pun menjabarkan sepuluh dasar penting (مَبَادِئ العَشْرَة) yang menjadi fondasi ilmu hadits riwāyah. Ia memulai dengan al-haddu atau definisi Ilmu hadits riwāyah, yakni sebuah disiplin ilmu yang mempelajari cara mengutip segala hal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik ucapan, perbuatan, pengakuan, maupun sifat beliau. Adapun objek Kajian (maudhu’) disiplin ilmu ini adalah Dzat Nabi Muhammad SAW, khususnya segala hal yang berhubungan dengan pribadi beliau.

Mempelajari ilmu hadits riwāyah ini memiliki faedah (tsamroh) agar terhindar dari kesalahan dalam mengutip sebuah hadits. Selain itu, ilmu hadits riwāyah (Ism) yang dikarang (wadh’i) oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri ini merupakan ilmu yang sangat mulia, karena dengannya lah kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW dapat mengetahui suri tauladan beliau (fadhlun), karena ilmu ini besumber (istimdad) dari perkataan, perbuatan dan pengakuan Nabi Muhammad SAW.
Menurut Abu Taqi, hukum mempelajari ilmu hadits riwāyah adalah Fardhu ‘ain jika tidak ada yang mempelajarinya, dan fardhu kifayah jika sudah ada yang mempelajarinya. Permasalahan yang diangkat dalam ilmu ini pun bersifat parsial, misalnya dalam konteks ucapan atau perbuatan tertentu, sehingga menjadi pembeda dengan ilmu lainnya.
Selain itu, KH. Ahmad Maksudi memperkenalkan juga 13 istilah penting dalam kajian hadits riwāyah, mulai dari al-hadits, al-khabar, al-atsar, as-sunnah yang merupakan sinonim dari hadits itu sendiri, al–matan (konten/isi), as-sanad (mata rantai), al-Isnad, al-Musnid (orang yang mencari sanad), al-Musnad (kitab kumpulan hadits), al-Muhaddits (pengkritik hadits), al-Hāfizh, ialah orang yang hafal 100.000 hadist dengan sanadnya, al-Hujjah, ialah orang yang hafal 300.000 hadist dengan sanadnya dan al-Hākim, ialah orang menguasai seluruh sunah (hadist) Nabi Muhammad SAW.
Ia juga menjelaskan pembagian hadits menurut para ulama. Menurut Sayyid Hafizh Hasan Al-Mas’udi dalam Minhatul Mughits, hadits dibagi menjadi tiga: Shahih, Hasan, dan Dha’if. Sedangkan Menurut Sayyid Al-Mālik dalam kitab al-Qawā’id Al-Asāsiyah, hadits terbagi menjadi 2: Maqbul (yang diterima) dan Mardud (yang ditolak).
Sebuah hadits dikategorikan shahih jika memenuhi lima syarat, yaitu sanad yang bersambung, perawi yang adil, memiliki hafalan kuat (dhābit), tidak janggal (syādz), dan bebas dari cacat (‘illat). Begitupun hadits hasan memiliki kriteria serupa, hanya saja kekuatan hafalan perawinya lebih rendah. Sementara hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.
“Hadits shahih dan hasan dapat dijadikan pegangan hukum. Sedangkan hadits dha’if tidak bisa dijadikan landasan dalam ibadah. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan bahwa kualitas hadits tidak ditentukan oleh matannya, tetapi oleh kredibilitas perawinya,” jelas Abu Taqi.
KH. Ahmad Maksudi menutup pemaparannya dengan pesan agar senantiasa menjaga kemurnian hadits, khususnya bagi kader PKU. “Ilmu hadits riwāyah adalah kunci agar umat Islam dapat memastikan bahwa ajaran Nabi Muhammad SAW sampai kepada kita dengan otentik, tidak tercampur dengan tambahan atau kekeliruan,” pungkasnya.
Penulis: Siti Arrisalatus Sa'diah
Editor: Faisal