MUI-BOGOR.ORG – Di dalam tradisi keilmuan Islam, adab selalu ditempatkan sebelum ilmu. Para ulama terdahulu percaya bahwa ilmu tidak akan pernah memberikan manfaat yang sempurna apabila tidak dihiasi dengan akhlak yang terpuji.
Imam Malik, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al-Ashfahani, mengatakan bahwa para ulama belajar adab selama tiga puluh tahun sebelum mempelajari ilmu selama dua puluh tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa adab adalah pondasi yang mengokohkan bangunan ilmu. Namun, di era modern ketika informasi agama dapat diakses dengan sangat mudah melalui media digital, justru nilai adab yang semakin mengalami kemunduran.
Banyak orang merasa cukup menimba ilmu melalui potongan video singkat atau unggahan singkat di media sosial, bukan melalui metode talaqqi atau berguru secara langsung sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ta’limul Muta’allim karya Imam Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji yang menekankan pentingnya belajar kepada guru yang memiliki adab dan sanad keilmuan yang jelas.
Fenomena lain yang terlihat adalah semakin menurunnya rasa hormat kepada para ulama dan guru. Debat kusir, komentar kasar, serta sikap merendahkan pendapat ulama makin sering muncul di ranah digital, padahal Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin telah mengingatkan bahwa menghormati guru adalah bagian penting dari adab penuntut ilmu. Bahkan, sebagian orang menjadikan ilmu sebagai jalan meraih popularitas dan pengakuan publik saja.
Konten dakwah kadang diperlakukan sebagai hiburan yang kejar-viral, sehingga esensi keikhlasan memudar. Imam Al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah memperingatkan bahaya menuntut ilmu untuk meraih kedudukan dunia, karena hal itu dapat mencabut keberkahan ilmu.
Akibat hilangnya adab, ilmu justru dapat menjadi sumber kehancuran spiritual seseorang. Ilmu yang seharusnya menuntun kepada kerendahan hati justru berubah menjadi alasan munculnya kesombongan dan saling merendahkan antar penuntut ilmu. Rasulullah SAW memperingatkan bahwa siapapun yang menuntut ilmu bukan karena Allah SWT, maka ia akan ditempatkan di neraka ( HR. Tirmidzi ).
Ilmu yang tidak diamalkan dan tidak disertai adab hanya akan menjadi bantahan bagi pemiliknya di hadapan Allah SWT kelak. Maka, dalam pandangan ulama seperti yang dijelaskan dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya K.H. Hasyim Asy’ari, bekal terpenting bagi seorang pelajar adalah meluruskan niat, menghormati guru, menjaga tutur kata, dan sabar dalam proses menuntut ilmu.
Sudah semestinya umat Islam kembali menghidupkan tradisi adab dalam mencari ilmu, sebagaimana dijelaskan pula dalam kitab Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhh oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr serta kitab Tadhkiratus Sami’ wal Mutakallim fii Adabil A’lim wal Muta’alim oleh Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Al-Kinani Asy-Syafi’i. Adab adalah cahaya bagi ilmu, ia yang menjadikan ilmu indah, bermanfaat, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ketika adab ditinggalkan, ilmu akan kehilangan keberkahannya dan hanya menjadi kumpulan informasi yang tidak mengubah perilaku. Sebagaimana diingatkan oleh Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab Min Adab al-‘Ilm, adab mendatangkan kemuliaan sebelum datangnya ilmu, dan ilmu membawa kemuliaan setelah adanya adab.
Karena itu, menghidupkan kembali adab adalah langkah penting agar ilmu yang dipelajari tidak hanya memperkaya pikiran, tetapi juga menyucikan hati dan memperbaiki akhlak penuntutnya. Adab dulu baru ilmu, kemudian amal. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab.
Referensi:
- Kitab Hilyatul Auliya’
- Kitab Ta’limul Muta’allim
- Kitab Ihya Ulumuddin
- Kitab Bidayatul Hidayah
- Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim
- Kitab Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhh
- Kitab Tadhkiratus Sami’ wal Mutakallim fii Adabil A’lim wal Muta’alim Kitab Min Adab al-‘Ilm
- Kitab Min Adab al-‘Ilm

Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi mui-bogor.org






