Oleh: Dr. Hj. Lilis Fauziah Balgis
Pemberdayaan perempuan disinggungg dalam Al-Qur’an dengan menyebutkan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardh. Pada QS.Al-Baqarah/2:30 ayat tersebut menjelaskan Allah ingin agar manusia bisa mengelola bumi dengan sebaik-baiknya untuk dijadikan modal kehidupan dan keturunan mereka. Allah menambahkan dalam QS. Al-Mulk/67: 15 yang berbunyi:
هُوَ الَّذِیۡ جَعَلَ لَکُمُ الۡاَرۡضَ ذَلُوۡلًا فَامۡشُوۡا فِیۡ مَنَاکِبِهَا وَ کُلُوۡا مِنۡ رِّزۡقِهِؕوَ اِلَىْهِ النُّشُوۡرُ
Allah telah menjadikan bumi sebagai tempat hidup yang pantas, kemudian menjadikan struktur bumi yang lembek sehingga bisa digunakan bercocok tanam. Pada potongan ayat di atas فَامۡشُوۡا فِیۡ مَنَاکِبِهَا وَ کُلُوۡا مِنۡ رِّزۡقِهِؕ dapat diartikan seruan kepada manusia untuk berjalanlah kamu pada seantero bumi ini dan makanlah dari sebagian rizki.
Allah hanya memberikan modal-modal awal kepada manusia, agar modal awal tersebut bisa dimanfaatkan, modal tersebut berupa flora, fauna, dan kekayaan lain yang terkandung di dalam bumi. Namun semuanya bergantung kepada manusia itu sendiri, apakah mereka bisa mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya. Manusia dalam memperdayakan anugerah dari Allah dengan menggunakan semaksimal mungkin dan memanfaatkannya. Usaha atau ikhtiar dalam memanfaatkan anugerah dari Allah akan berdekatan dengan kata “amal”, sedangkan hal yang berkaitan dengan amal di dalam Al-Quran adalah menghormati amal manusia, yakni menghormati mereka yang mau bekerja.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan amal seperti بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۙ. Allah juga menghimbau kepada manusia untuk berfikir اَفَلاَ يَتَفَكَّرُوْنَ, اَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ, اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ, لِقَوْمِ يَتَفَكَّرُوْنَ berfikir, menghayati, bertadabbur, ta’qilun dan lain sebagainya. Allah juga menghormati kepada waktu, banyak sekali ayat-ayat yang berkaitan dengan waktu mulai dari waktu fajar QS. Al-Fajr/89 : 1-2 وَالۡفَجۡرِۙوَلَيَالٍ عَشۡرٍۙ kemudian waktu dhuha QS. Ad-Dhuha/93: 1-2 وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰىۙ وَالضُّحٰىۙ waktu siang QS. Al-Lail/92: 2وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ waktu malam QS.Al-Lail/92: 1 وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ begitu juga waktu ashar QS.Al-Ashr/103:1-2 وَالْعَصْرِۙاِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ . Kesemuanya diawali dengan menggunakan qosam, yakni bersumpah dengan seluruh waktu-waktu yang ada tersebut. Hal ini bisa diartikan, hendaklah manusia berfikir bahwa Allah telah memberikan anugerah berupa waktu. Waktu akan sangat menentukan kehidupan manusia, bila saja waktu tidak digunakan dengan sebaik-baiknya maka akan menjadi boomerang bagi diri manusia اَلْوَقْتُ كَالسَّيْفِ اِنِ سْتَعْمَلْتُ وَاِلاَّ قَطَعَكَ namun bila seandainya manusia bisa menggunakan waktu sebaik-baiknya maka akan termasuk ke dalam golongan yang beruntung.
Begitu juga Allah menghargai ilmu pengetahuan, Allah memberikan suplay berupa ilmu pengetahuan sebelum menurunkan Nabi Adam, QS. Al-Baqarah/2: 31وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلْأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى ٱلْمَلَٰٓئِكَةِ ini adalah merupakan bentuk bagaimana Allah itu mengapresiasi ilmu pengetahuan. Banyak sekali ayat yang menyinggung tentang ilmu pengetahuan QS. Az-Zumar/39: 9 هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ bahwa derajat orang tidaklah sama antara yang berilmu pengetahuan dengan orang yang tidak berilmu pengetahuan, pada ayat yang lain QS.Al-Mujadilah/58: 11 يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ mereka yang beriman dan berilmu pengetahuan akan Allah angkat derajat mereka, di sini tidak dibatasi antara perempuan dan laki-laki.
Diskursus posisi perempuan (wanita, al-nisa’) dalam Islam mendapat perhatian cukup serius. Terminologi perempuan (al-nisa’) dalam Al-Qur’an bahkan dipergunakan sebanyak 57 kali, sama dengan kata al-rajul/al-rijal (laki-laki) atau al-untsa yang berpasangan dengan al-dzakar. Perimbangan ini selintas memberikan suatu indikasi, bahwa antara kedua jenis kelamin tersebut sungguhpun memiliki perbedaan, diperlakukan dan diperhatikan secara berimbang (sama) oleh Islam. Kesetaraan ini hingga berkali-kali Allah SWT menyebutkan keduanya secara berdampingan dan berpasang-pasangan, seperti dalam QS.Ghafir/40: 40, Ali Imran/3: 195, Al-Nahl/16: 97, Al- Ahzab/33: 35 dan sebagainya.
Bahkan, di beberapa hadis, Nabi Muhammad justru sangat memuliakan dan menghormati wanita ketimbang laki- laki. Misalnya pada saat Nabi ditanya seorang sahabat perihal “Siapa di antara manusia yang paling utama untuk dihormati?”, jawab beliau, “ibumu”. Kemudian siapa lagi?, jawab Nabi ibumu. Kemudian siapa lagi?, jawab Nabi, ibumu. Kemudian siapa lagi?, Jawab Nabi “Bapakmu”. Hadis ini dikuatkan pula dengan sabda beliau, “al-Jannatu tahta aqdâmil ummahât“, surga itu di bawah telapak kaki ibu.
Dengan demikian, dalam Islam, eksistensi perempuan benar-benar mendapat tempat yang mulia, dia adalah menjadi mitra sejajar laki-laki, Islam tidak menempatkan perempuan sebagai unsur sub-ordinat (di bawah) dalam pranata sosial. Kehadiran Islam justru melenyapkan diskriminasi laki-laki dan perempuan. Sejarah mencatat, bahwa sebelum Islam datang posisi perempuan hanyalah sebagai obyek, bahkan sering dijadikan komoditas perbudakan dan “seksual”. Keyakinan yang berkembang saat itu memandang perempuan sebagai penghalang kemajuan. Asumsi ini kemudian diluruskan Allah dalam QS.Al Ahzab/33: 35. Persoalan yang muncul kemudian, sungguhpun Islam telah mendasari penyadaran integratif tentang eksistensi perempuan dalam beberapa hal sebagai mitra sejajar laki-laki, namun realitas yang terjadi saat ini di berbagai negeri yang mayoritas muslim justru menampilkan pemandangan yang kontradiktif. Perkembangan dan pertumbuhan Islam ke berbagai penjuru dunia tidak bisa dilepaskan dari faktor kultural (bi lughati qaumihim). Pengaruh kultur yang masih bersifat patrilinial dan kenyataan perbandingan proposional antara laki-laki dan wanita memacu suburnya “diskriminasi” gender. Harus diakui, bahwa di dalam Al-Qur’an memang terdapat ayat-ayat yang secara qath’iy (tegas/pasti) menempatkan laki-laki di atas wanita; misalnya ayat tentang mawaris. Terhadap teks-teks ayat tersebut memang tidak ada ruang untuk merenovasi. Namun jumlah ayat-ayat semacam ini sangatlah minim, sekitar 5%. Perbedaan ini lebih disebabkan karena faktor kodrati, di mana laki-lakilah yang memiliki tanggung jawab atas bangunan suatu rumah tangga. Sama halnya dengan peran domestik perempuan yang sudah menjadi kodrat kaum hawa, seperti sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak, melahirkan, menyusui dan sebagainya, jelas tidak mungkin disejajarkan dengan laki-laki. Di sinilah rahasia Allah menciptakan kedua jenis makhluq tersebut berpasang-pasangan terlihat secara nyata.
Sementara itu, di luar peran-peran kodrati, seperti dalam kancah politik, sosial-budaya, ekonomi, serta pranata sosial lainnya, antara laki-laki dan perempuan masing-masing memikul tanggung jawab secara bergandeng tangan dan bahu membahu sebagai mitra sejajar. Hal ini telah Allah tegaskan dalam QS.At-Taubah/9: 71. Maka sangat wajar jika dalam lintas sejarah umat Islam terdapat tokoh wanita yang berperan sebagai pemimpin gerakan politis, misal Siti Aisyah saat memimpin pertempuran Jamal, Syajara-Tuddur tatkala menjadi Ratu di masa Dinasti Mamalik. Cut Nya Dien yang memimpin Perang Aceh, Benazir Butho yang menjadi Perdana Menteri Pakistan dan sebagainya. Sementara itu, di tubuh NU, perhatian terhadap pemberdayaan hak-hak perempuan dalam organisasi massa Islam terbesar di kawasan Asia Tenggara ini sudah lama bergulir. Lahirnya organisasi Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiah, serta organisasi perempuan lainnya, jelas diproyeksikan untuk lebih memberikan peran kepada kaum perempuan.