Bungkus Lusuh Permata

Bungkus Lusuh Permata
Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si

Oleh: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor/Dosen Fakultas Dakwah UIN Jakarta)

Mereka yang terobsesi dengan penampilan luar, biasanya terjebak dalam penilaian dangkal yang hanya berfokus pada apa yang terlihat di permukaan, tanpa memperhatikan nilai di kedalamannya. Mereka ini sering terjebak dalam kesalahan persepsi yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Seseorang yang memiliki penampilan fisik yang menarik, memakai pakaian bermerk, atau memiliki kedudukan sosial istimewa seringkali dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang berpenampilan sederhana.

Namun, dengan menimbang keunikan perilaku manusia, kita harus menyadari bahwa penampilan hanyalah sekadar bungkus dari apa yang sebenarnya ada di dalamnya. Apalagi banyak kasus terjadi, seorang individu memiliki nilai atau kualitas yang melebihi penampilan mereka. Dibalik penampilannya yang menunjukkan kebiasaan terselip sebuah kualitas mengagumkan.

Seperti apakah penampilan luar sekedar bungkus belaka yang tidak mencerminkan kualitas yang sesungguhnya? Mari kita simak kisah yang dialami oleh Salim bin Abdullah, seorang ulama tergolong tabiin ahli fiqih dan periwayat hadits ternama, cucu dari Umar bin Khattab sang pembeda.

Dalam buku sejarah dapat kita temukan nama seorang Salim bin Abdullah, yang pada suatu hari mendatangi Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik di istananya. Khalifah memuliakan Salim dengan memintanya untuk duduk di singgasana khalifah. Saat itu Salim mengenakan pakaian sederhana. Di sekitar khalifah saat itu banyak orang besar hadir, termasuk Umar bin Abdul Aziz yang masih memiliki kekerabatan dengan Salim (sebagai keponakan).

Salah seorang pejabat dengan pakaian mewah bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz, “Apakah pamanmu ini tidak punya pakaian yang bagus untuk menemui Amirul Mukminin?” Umar bin Abdul Aziz lantas berkata, “Pakaian lusuh pamanku tidak menjatuhkan kedudukan tingginya, dan pakaian mewahmu tidak pula meninggikan kedudukanmu.” Sang pejabat itupun kemudian tak bisa berkata apa-apa lagi akibat jawaban yang tepat pada tempatnya.

Kisah di atas telah ditafsirkan banyak hal, bukan saja sebagai bahan sindiran, namun juga bisa dikatakan sebagai penampakan ilusi kehidupan. Ada kemungkinan banyak orang yang tidak mengenal dengan sebenarnya, bila melihat keadaan Salim bin Abdullah saat itu pun akan tertipu. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena terkadang manusia hanya mempersepsi fenomena zahir (yang tampak) seperti halnya tipuan kedekatan.

Seperti misalnya kedekatan para nabi dengan istrinya (seperti istri Nabi Nuh atau Nabi Luth) yang secara kasat mata dekat (dengan nabi sebagai suaminya) namun pada hakekatnya jauh (baca : menyelisihi iman), serta kedekatan lainnya yang menipu. Ketertipuan mana akibat mereka tidak melihat rahasia hakikat di sebalik kenyataan tampilan yang sebenarnya.

Apa yang dilihat pejabat itu terhadap Salim dengan pakaian sederhananya, seperti seseorang yang melihat bungkus jelek, meski di dalamnya terdapat sebuah permata yang indah mempesona. Bagi orang kebanyakan, begitu mereka melihat tampilan bungkusnya yang tidak meyakinkan, mereka langsung menjauhinya.

Padahal bagi mereka yang arif bijaksana, bungkus tidaklah mencerminkan apa yang ada di dalamnya. Bisa jadi di dalamnya terdapat permata ratna mutu manikam, (aneka batu permata) atau setidak-tidaknya “sesuatu” yang memiliki harga lebih tinggi dari bungkusnya.

Dalam cerita tersebut, kita disadarkan akan adanya nilai pada sesuatu yang tersembunyi di balik penampilan luarnya yang sederhana. Mengingatkan kita bahwa sebuah permata tidak selalu tampak pada bungkus luar yang lusuh, melainkan dalam kemuliaan substansinya yang berharga.

Dengan menyadari hal ini, kita bisa menghindari kesalahan persepsi dangkal secara akurat, melampaui penilaian permukaan yang menipu. Hanya melalui cara itulah kita akan dapat memperkaya pengalaman hidup kita dengan menerapkan penilaian multiperspektif yang lebih objektif. Wallahu a’lam bi as-shawab