Guru Ngaji Menerima Zakat Fitrah, Bolehkah?

Guru Ngaji Menerima Zakat Fitrah, Bolehkah?

MUI-BOGOR.ORG – Sudah menjadi tradisi bertahun-tahun, setiap mendekati hari raya idul fitri, masyarakat berbondong-bondong menunaikan kewajiban zakat fitrah-nya kepada guru yang telah mengajari mereka mengenal agamanya, baik itu kepada ustadz di kampungnya maupun kepada kyai di pesantren tempat di mana mereka nyantri.

Waktu itu, guru ngaji rata-rata tidak mendapatkan gaji dari mengajarnya, dan tidak sedikit dari mereka yang pas-pasan secara finansial. Namun dengan perkembangan waktu, banyak lembaga-lembaga yang memberikan penghargaan lebih kepada guru ngaji dengan gaji yang layak, bahkan terkadang guru ngaji berkehidupan mapan.

Sementara itu dalam hukum Islam, guru ngaji tidak disebut secara khusus sebagai orang yang berhak menerima zakat. Penerima zakat hanya terbatas kapada delapan golongan, yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, ghārim, riqāb/hamba sahaya, sabīlillah, dan ibnu sabīl/musafir.

Dalam konteks hari ini, ketika guru ngaji masih menerima zakat fitrah, maka masuk kategori yang mana?

  • Guru Ngaji Sebagai Fakir-Miskin

Sebagian ulama (misalnya mazhab Mālikī) berpendapat bahwa zakat fitrah hanya boleh diberikan kepada fakir-miskin saja. Berbeda dengan zakat harta yang boleh diberikan kepada delapan golongan.

Jika mengacu pada pendapat ini, maka guru ngaji yang boleh menerima zakat fitrah hanya yang bersatus fakir-miskin saja. Pertanyaannya, kapan seorang guru ngaji dianggap sebagai fakir atau miskin? Maka harus diketahui terlebih dahulu definisi dari kedua terma tersebut.

Sederhananya, fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan mata pencarian, atau harta dan mata pencariannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, ia tidak memiliki harta sama sekali untuk memenuhi kebutuahnnya, atau walaupun ada namun tidak sampai mencapai separuh dari kebutuhannya, seumpama kebutuhan hidupnya 100 ribu, namun hanya memiliki harta kurang dari 50 ribu.

Sementara miskin adalah orang yang hartanya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya, jika kebutuhan hidupnya 100 ribu, maka ia hanya memiliki harta 60 atau 90 ribu. Bedanya dengan fakir, jika fakir kurang dari 50 persen dari kebutuhannya, tapi kalau miskin lebih dari dari 50 persen.

Jika guru ngaji tidak termasuk kategori fakir-miskin, maka tentunya guru ngaji tidak boleh menerima zakat fitrah atas nama fakir-miskin.

Namun begitu, walaupun guru ngaji tidak termasuk kategori fakir-miskin, ia masih bisa menerima zakat fitrah melalui kategori yang lain, dengan mengacu pada pendapat mayoritas ulama bahwa zakat fitrah boleh diberikan kepada 8 golongan sebagaimana zakat māl.

Maka dengan ini, guru ngaji yang statusnya bukan fakir-miskin masih boleh menerima zakat fitrah melalui status lainnya, misalnya termasuk sabīlillah, menjadi amil, dan atau ghārim.

  • Guru Ngaji sebagai Sabīlillah

Kebanyakan orang yang menganggap bahwa guru ngaji layak menerima zakat biasanya mengkategorikan guru ngaji sebagai sabīlillah. Alasannya, karena mengajar ngaji merupakan termasuk sabīlillah, dan sabīlillah mencakup seluruh sarana untuk memelihara agama, baik itu berupa persiapan memerangi musuh maupun untuk menjaga dan memelihara agama.

Oleh karena itu, imam Qaffāl mengutip pendapat sebagian ahli fikih (fuqaha):

اَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ جَمِيْعَ وُجُوْهِ الخَيْرِ مِنْ تَكْفِيْنِ المَوْتَى وَبِنَاءِ الحُصُوْنِ وَعِمَارَةِ المَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى “فِى سَبِيْلِ اللهِ” عَامٌ فِى الكُلِّ. (تفسير المنير, 1/344)

“Mereka (sebagian ahli fikih) memperbolehkan memberikan zakat kepada semua yang bersifat kebaikan, baik berupa biaya penguburan orang mati, pembagunan benteng, dan pembangunan masjid. Hal ini kerena firman Allah dalam teks “fi sabīlillah” berlaku umum dalam segala sesuatu.” (Tafsir munir 1/344).

Pendapat ini dikutip oleh imam al-Razi dalam kitab tafsirnya, diikuti oleh imam Muhammad Mahluf. Diikuti juga oleh syaikh Rasyid Ridha dengan menafsirkan bahwa sabilillah mencakup seluruh kemaslahatan umum yang sesuai dengan syariat. Demikian juga diikuti oleh syaikh Mahmud Syaltūt.

Sebaliknya, jika merujuk kepada pendapat imam mazhab yang empat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat untuk membangun masjid atau mengkafani orang mati, maka guru ngaji tidak boleh menerima zakat semata-mata karena statusnya sebagai guru ngaji, karena sabīlillah menurut mayoritas ulama memiliki konotasi hanya terbatas pada orang yang berjihad di dalam agama Allah (berperang), yang tidak mendapatkan harta rampasan perang.

Menurut penulis, jika sabilillah dimaknai sebagai jalan kebaikan, sehingga siapapun dan sarana apapun yang menuju kebaikan dan kemaslahatan termasuk kategori sabilillah, maka pembatasan delapan golongan penerima manfaat zakat tidak lagi memiliki ungensinya.

Hal ini mengingat bahwa, siapapun dan apapun boleh menerima zakat selagi untuk jalan kebaikan. Padahal ayat tentang zakat ini (al-Taubah: 60) diawali dengan lafal pembatasan (innamā: lil hashr)), yang berkonotasi pada golongan tertentu sesuai dengan kualifikasi yang sudah ditentukan oleh agama.

Oleh karena itu, memaknai sabilillah tidak hanya sebatas jihad (peperangan) akan menghadirkan kerancuan dan menafikan prioritas penerima manfaat zakat.  Namun begitu, bagi guru ngaji yang sudah mapan tetapi tetap menerima zakat atas nama sabilillah, tidak sepenuhnya dapat disalahkan, karena mereka memiliki pijakan argumentasinya.

  • Guru Ngaji Sebagai Amil Atau Ghārim

Selain melalui pendekatan fakir-miskin dan sabilillah, guru ngaji juga bisa menerima zakat fitrah melalui kategori amil, jika ia diangkat oleh pemerintah yang berwenang. Hal ini karena untuk menjadi amil tidak sembarangan seperti halnya panitia zakat. Amil harus diangkat dan di-SK-kan oleh pemerintah yang berwenang. Sebagaimana menurut imam Ibn Qāsim al-Ghazī:

العامل من استعمله الإمام

Amil adalah orang yang dipekerjakan oleh imam (pemimpin pemerintahan).”

Intinya, amil adalah orang yang ditugaskan oleh yang berwenang untuk mengurus zakat, baik dalam penggalangannya maupun dalam pendistribusiannya.

Oleh karena itu, jika guru ngaji tersebut tidak diangkat oleh pemerintah, melainkan oleh lembaga setempat yang tidak memiliki wewenang, maka ia hanya sebatas sebagai panitia yang tidak berhak menerima bagian dari zakat fitrah. Ia hanya boleh menerima upah dari sumber lain selain dana zakat.

Selain itu juga, guru ngaji bisa menerima zakat fitrah asalkan ia berstatus sebagai ghārim, yaitu orang yang berutang untuk kebutuhan hidup dalam mempertahankan jiwa dan kemuliaannya.

Orang ini memiliki hutang, baik berhutang karena untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam hidupnya dan tidak mampu melunasinya, maupun berhutang demi mendamaikan permusuhan.

Ghārim termasuk diantara delapan golongan yang boleh menerima zakat. Artinya, kebolehan menerima zakat bukan karena statusnya sebagai guru ngaji, melainkan karena memiliki hutang.

  • Kesimpulan

Guru ngaji memiliki hak untuk menerima zakat fitrah atau zakat mal bukan semata-mata karena statusnya sebagai guru ngaji, melainkan karena ia termasuk bagian dari 8 golongan penerima zakat. Misalnya karena termasuk fakir-miskin, memiliki hutang, atau orang yang ditugaskan sebagai amil.

Selain itu, guru ngaji bisa juga menerima zakat fitrah jika profesi guru ngaji dianggap sebagai bagian dari sabīlillah, sebagaimana yang dipegang oleh imam Qaffāl dari kalangan mazhab Syafi’ī dan diikuti oleh sebagian ulama-ulama kontemporer. Namun begitu, pendapat ini dianggap menyalahi pendapat mayoritas ulama.

Wallahu a’lam bish-shawab. Semoga bermanfaat.

Referensi:

  • al-Razi, Mafatih al-Ghaib: 16/87
  • Rasyid Ridha, al-Manar: 10/435-436
  • Mahmud Syaltūt, al-Islam: Aqidah wa Syariah: 104-105.
  • Muhammad Mahlūf, Al-Fatawa al-Syar’iyah wa al-Buhuts al-Islamiyah: 1/297.
  • Nawawi al-Jawi, Tafsir al-Munir (Murah Labib): 1/344.
  • Dar al-Ifta’ al-Mishriyah
  • Mausū’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah: 158-159
Penulis: Dr. Abdul Wafi Muhaimin, M.IRKH (Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kab. Bogor/Alumni PKU Angkatan X/Pengasuh Ponpes Al Musthofawiyah)