MUI-BOGOR.ORG – Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan kemudahan akses ekonomi, gaya hidup konsumtif menjadi fenomena yang melekat pada masyarakat modern. Iklan yang menarik, kemudahan belanja daring, serta budaya media sosial membuat banyak orang terdorong untuk membeli sesuatu bukan karena kebutuhan, melainkan keinginan. Kepemilikan barang dan kemewahan seolah menjadi tolak ukur kebahagiaan dan keberhasilan hidup. Padahal, gaya hidup seperti ini sering menjerumuskan manusia pada ketidakpuasan yang tiada akhir.
Islam menilai perilaku berlebihan dalam penggunaan harta sebagai tabdzir, yang dilarang oleh Allah SWT dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS. Al-Isra’ [3]: 27). Ayat ini menegaskan bahwa pemborosan dan perilaku konsumtif bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merupakan tanda lemahnya pengendalian diri terhadap hawa nafsu.
Sebaliknya, Islam mengajarkan sikap qana’ah, yaitu merasa cukup dan ridha terhadap rezeki yang telah Allah SWT berikan tanpa menafikan usaha untuk memperoleh yang lebih baik. Qana’ah bukan berarti pasrah tanpa ikhtiar, melainkan kemampuan hati untuk menerima dengan lapang dada apa yang menjadi ketentuan Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda,“Beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah SWT menjadikannya qana’ah dengan apa yang diberikan kepadanya” (HR. Muslim). Dalam pandangan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Uluum ad-Din, qana’ah merupakan salah satu buah dari keimanan dan tawakal kepada Allah SWT.
Seseorang yang qana’ah akan tenang jiwanya karena ia percaya bahwa rezekinya telah ditentukan dan tidak akan tertukar. Sikap ini juga sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Qashash [28]: 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.” Ayat tersebut menegaskan keseimbangan antara usaha duniawi dan orientasi akhirat, tanpa terjerumus pada keserakahan.
Dalam konteks kehidupan modern, qana’ah menjadi nilai yang sangat relevan untuk mengimbangi derasnya arus materialisme. Orang yang qana’ah akan hidup dengan sederhana namun penuh rasa syukur. Ia membeli sesuatu karena kebutuhan, bukan karena gengsi atau tren. Ia tidak mudah iri terhadap pencapaian orang lain, karena yakin bahwa setiap orang memiliki bagian rezekinya masing-masing.
Sikap seperti ini tidak hanya menumbuhkan ketenangan batin, tetapi juga membantu menciptakan keseimbangan sosial, karena menghindarkan manusia dari gaya hidup boros dan kesenjangan ekonomi. Sebaliknya, gaya hidup konsumtif yang terus dipupuk hanya akan membawa pada kecemasan finansial, ketidakpuasan batin, dan jauh dari nilai-nilai spiritual.
Pada akhirnya, antara gaya hidup konsumtif dan sikap qana’ah terdapat perbedaan mendasar dalam orientasi hidup. Gaya hidup konsumtif berorientasi pada pemenuhan keinginan yang tak terbatas, sedangkan qana’ah berorientasi pada ketenangan hati dan rasa syukur.
Kebahagiaan sejati tidak diukur dari seberapa banyak harta yang dimiliki, melainkan dari kemampuan untuk mensyukuri apa yang ada. Sebagaimana pesan Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarij as-Salikin, bahwa ketenangan hati bukanlah hasil dari banyaknya kepemilikan, tetapi dari hati yang ridha terhadap ketentuan Allah SWT.
Maka, di tengah dunia yang penuh godaan kemewahan, qana’ah bukan hanya nilai moral, melainkan bentuk perlawanan spiritual terhadap budaya konsumtif dan jalan menuju hidup yang tenang, berkah, dan bermakna. Wallahu a’lam bi ash showab.
Referensi :
- Al-Qur’an al-Karim
- HR. Muslim
- Kitab Ihya Uluum ad-Din
- Kitab Madarij as-Salikin

Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi mui-bogor.org.





