Komunikasi Efektif dalam Berdakwah di Era Digital

Komunikasi Efektif dalam Berdakwah di Era Digital
H. Asep Rahmat, Lc., M.Ag

Oleh: H. Asep Rahmat, Lc., M.Ag. (Alumni PKU Angkatan IV_Penyuluh Agama Islam Kemenag Kab. Bogor)

Ketika peristiwa Isra Mi’raj, Rasulullah SAW diperlihatkan dan dipertemukan dengan Nabi Harun AS. Ada keistimewaan yang dimiliki Nabi Harun AS sehingga Allah mempertemukan baginda Nabi SAW dengannya. Salah satu keistimewaannya diantaranya karena ia memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, yakni kefasihan dalam menyampaikan permasalahan.

Posisi Nabi Harun AS di sisi Nabi Musa AS bagaikan seorang diplomat yang membantu kelancaran dan kesuksesan dalam berdakwah. Hal ini seperti yang difirmankan  Allah dalam QS. Al Qhashas (28): 34: “Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih dariku dalam berbicara. Maka utuslah dia menjadi pembantuku untuk menguatkan aku. Sesungguhnya aku cemas mereka akan mendustakan aku.”

Nabi Musa AS belajar dari Nabi Harun AS tentang teknik dan strategi berdakwah, karena salah satu kunci kesuksesan dakwah adalah kefasihan dalam berkomunikasi demi tersampaikannya risalah dengan tepat dan benar sesuai dengan situasi dan kondisi (Muthabiq lilhaal).

Komunikasi memainkan peranan penting dalam dunia dakwah. Berhasil atau tidaknya perjuangan dakwah ditentukan oleh kemampuan komunikasi yang diterapkan oleh para da’i dan penyuluh agama ketika masyarakat.

Mengingat pentingnya peranan komunikasi dalam medan perjuangan dakwah khususnya di era digital,  maka rasanya tidak bijak bila para pejuang dakwah tidak memberikan perhatian khusus pada penguatan kemampuan komunikasi digital. Guna memasifkan konten dakwah di ruang digital, syarat utamanya adalah mesti akrab dengan perangkat digital seperti handphone atau gadget termasuk media sosial di dalamnya.

Tantangan utama dalam dakwah di era digital, adalah pemahaman terhadap objek dakwah, yakni masyarakat. Dalam dunia digital, masyarakat disebut dengan netizen. Masalah muncul karena tidak semua da’i mampu memahami dengan baik karakteristik netizen, situasi ini bisa memicu menjauhnya netizen dari seruan dakwah.

Realitas sosial netizen tidak serupa dengan realitas sosial masyarakat biasa. Minimal ada dua ciri mendasar masyarakat digital. Pertama, penggunaan berbagai layanan teknologi digital dalam semua kehidupan sehari-hari. Kedua, memiliki kebutuhan tinggi terhadap informasi.

Para da’i harus mampu memahami dan menganalisis kedua ciri tersebut. Ciri pertama, menuntut respon para da’i atau penyuluh agama agar akrab dan menguasai teknologi digital minimal yang dianggap penting untuk mendukung kelancaran dakwah. Sementara ciri kedua, menuntut para da’i agar mampu membuat konten dakwah yang menarik dan informatif.

Konten dakwah yang disampaikan harus mengandung informasi yang mampu menarik netizen untuk membaca dan mengetahui lebih jauh tentang Islam, misalnya membuat infografis, meme, atau video pendek yang kreatif tentang cara beriman kepada Allah SWT.

Kehidupan masyarakat di era digital yang jauh dari ajaran Islam boleh jadi karena mereka memang tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang ajaran Islam. Fenomena seperti ini banyak dijumpai di daerah urban di mana mereka disibukkan dengan pekerjaan hingga lalai belajar dan menanamkan nilai-nilai agama. Hal ini menjadikan mereka dahaga akan informasi keagamaan.

Kebutuhan yang tinggi terhadap informasi keagamaan merupakan jalan masuk bagi para da’i dan penyuluh agama untuk menyampaikan konten dakwah yang menarik kepada mereka, disebarluaskan melalui platform digital, seperti Instagram, Tiktok, Facebook, dan Youtube, sehingga  informasi  agama bisa mereka akses  dengan mudah.

Bagi para da’i, penyuluh agama, dan Muballigh kunci utama berhasil tidaknya adalah bagaimana menyampaikan informasi tersebut dengan komunikasi yang efektif dan efisien. Komunikasi yang efektif diistilahkan Al-Quran dengan istilah yang berbeda-beda, namun muatan dan substansinya sama. Istilah-Istilah tersebut memberikan isyarat tentang pentingnya berdakwah dengan mempertimbangkan prinsip komunikasi efektif terhadap sasaran dakwah (audience atau mustami’).

Diantara istilah-istilah yang digunakan Al-Quran tentang komunikasi yang efektif yaitu: qaulan layyina artinya ucapan yang lembut (Thaha (20):44), qaulan ma’rufa yakni ucapan yang dikenali hati, (al-Baqarah (2): 263), qaulan baligha yakni ucapan yang memiliki ketinggian nilai sastra, (an Nisa (4):63), qaulan maisura yakni ucapan yang mudah dan memudahkan, (al-Isra (17):28).

Istilah-istilah tersebut mengisyaratkan bahwa seorang da’i, penyuluh agama ketika berdakwah hendaklah pandai-pandai memilih ungkapan yang baik, benar, tegas, santun dan lemah lembut dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip komunikasi efektif agar pesan dakwah yang disampaikannya membekas pada jiwa para audience atau mustami’.

Demikian juga, ketika seorang da’i memilih media dakwah dengan tulisan (da’wah bil qalam) seperti: koran, jurnal, majalah, bulletin, internet, maklumat, stiker, dan spanduk; hendaklah senantiasa menyadari untuk memilih diksi, pilihan kata, yang benar, santun dan lemah lembut agar pesan dakwah yang disampaikannya membekas pada jiwa para pembacanya. Waallahu A’lam. (ed.fw)