MUI-BOGOR.ORG – Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan semua umat muslim yang beriman berlomba-lomba untuk mendapatkan lailatul Qadar. Ada yang melakukan itikaf di masjid terdekat hingga masjid terjauh yang dianggap bisa lebih khusyu’
Belakangan di media sosial, ramai beritikaf di sebuah masjid dan sibuk memasang tenda dalam mesjid. Masjid dipenuhi dengan tenda, mungkin kebutuhan untuk berganti baju dan istirahat. Sehingga punya batasan dan tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan. Tapi penulis sendiri tidak setuju dengan membawa tenda ke masjid, seolah kapling-kapling batasan antara kepemilikan satu dengan pemilik yang lain. Padahal masjid sendiri adalah tanah wakaf yang dapat dinikmati bersama.
Baru saja penulis melihat masjidil harom puncaknya dipenuhi oleh jamaah yang mengejar lailatul qodar. Begitu mengesankan dan membuat orang yang belum memiliki kesempatan ke baitullah makin terdiam karna hanya bisa menyaksikan dengan mudahnya sebagian orang pulang dan pergi ke Mekkah. Menggapai lailatul qadar dengan versi masing-masing, kemampuan ekonominya. Menjemput lailatul qadar zaman Nabi dengan kita pastinya berbeda cara ‘itikafnya.
Tapi bagi penulis yang fokus di Filantropi, hanya terpikir, kenapa kita tidak mencoba mengisi dengan hal yang bisa dinikmati bersama? Seperti malam-malam yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khatab. Berkeliling ke lingkungan rumah kita untuk sekedar memastikan tetangga kita tidak ada yang kelaparan dan kedinginan. Tidak banyak yang diharapkan atas pemberian kita, tapi sangat berharga bagi mereka. Bukan sekarung beras, hanya bisa bertahan hidup dengan makan di hari itu saja sudah alhamdulillah
Pemilik surga bukan hanya yang ekonominya baik, Sejahtera. Memiliki tempat tinggal untuk ibadah dengan baik, memiliki atap, persediaan makan cukup, sehingga tidak sibuk memikirkan besok makan apa, anak-anak memakai baju lebaran apa. Menjadi tanda tanya memahami lailatul qadar yang benar seperti apa, sehingga Allah janjikan sama dengan 1000 bulan QS.Al-Qadar/97:3, begitupun Nabi pertegas dengan ganjaran menghapus atas dosa-dosa yang telah diperbuat.
خْبَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ قَالَ هِيَ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ فِى الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ لَيْلَةَ اِحْدَيْ وَعِشْرِيْنَ اَوْثَلَثَةٍ وَعِشْرِيْنَ اَوْسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ اَوْ تِسْعٍ وَعِشْرِيْنَ اَوْ اَخِرِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ مَنْ قَامَهَا اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مِنْ ذَنْبِهِ مَا تَقَدَّمَ وَمَا تَأَخَّرّ . رواه احمد
Dunia flexing menjadi budaya, sebuah eksistensi di dunia medsos sebagai standar kesuksesan seseorang, trend ini menjadikan seseorang siap membeli barang yg dianggap bakal viral, berapapun harganya akan disanggupi. Ketika dengan bangganya memamerkan barang ternama, padahal tetangganya banyak yg menahan lapar.
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائْعٌ إِلٰى جَنْبِهِ
Kembali ke lailatul Qodar menurut Gus Baha, setiap malam dari bulan Ramadhan, bukan hanya di 10 terakhir. Menurutnya jika kita memahami hanya dimalam-malam tertentu, maka setelah malam ganjil terlewati, ya sudah pagi / hari-harinya kembali biasa saja, manambahkan apakah pemaknaan 84 tahun hanya biasa setelahnya. Hakikatnya setiap orang berhak mendapati malam lailatul qadar. Maka ibadah atau memperbanyak itikaf ya dilakukan setiap malam tidak terkurung oleh satu isyarat bahwa hanya dengan berkhalwat.
Memberi makan pada fakir miskin, memastikan tetangga tertutup selimut tidak kedinginan, memastikan anak-anak yatim terpenuhi kebutuhannya untuk makan dan keseharian. Tidak betpuas diri hanya dengan memberi zakat fitrah dan maal secukupnya, seolah kewajiban si kaya tuntas. Jika melihat langsung dan mendatangi ke masing-masing tetangga yang membutuhkan, pastinya kita akan lebih tau sejauh mana kebutuhan mereka. Dan kita pun akan tergugah untuk memenuhi kebutuhannya.
Semoga Ramadhan ini kita dikelilingi oleh rahmat Allah untuk menginplementasikan anugerah Allah yg telah diberi dan dibagikan kepada sesama. Aamiin

Sebelumnya:
Pendaftaran PKU Angkatan XVIII Masih DibukaBerikutnya:
Langkah Awal di Bulan Syawal