MUI-BOGOR.ORG – Puasa bukan hanya tentang menahan dari lapar dan haus, tetapi juga memberi kesempatan bagi sistem pencernaan untuk beristirahat total. Banyak yang mengira bahwa memasukkan sejumlah kecil makanan, tidak akan berpengaruh besar. Namun, kenyataannya, sekecil apa pun asupan yang masuk ke lambung, itu akan membangunkan kembali sistem pencernaan yang seharusnya beristirahat. Oleh karena itu, dalam puasa yang benar, bahkan sebutir nasi pun tidak boleh masuk ke lambung.
Kajian menunjukkan terdapatnya hubungan dua arah antara glukosa darah dan pengosongan lambung (National Institute of Health. 2021). Penjelasannya dapat diperinci saat seseorang berpuasa, kadar glukosa darah menurun, yang berdampak pada perlambatan fungsi lambung. Jika makanan masuk, meskipun hanya sebutir nasi, tubuh akan langsung merespons dengan mengaktifkan kembali sistem pencernaan. Ini artinya enzim akan diproduksi dan hormon pencernaan akan dilepaskan. Hal ini dapat mengganggu proses adaptasi alami tubuh dalam puasa.
Selain itu, menurut dr. Angela C. Ardhianie dari Healthy Choice Detox Center & Medical Store dalam health.detik.com (2009), lambung akan mengecil dan produksi enzim pencernaan akan berkurang selama puasa. Itulah sebabnya ketika ada makanan masuk, tubuh tidak siap untuk mencernanya secara optimal karena jumlah enzim yang tersedia sangat terbatas. Ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan, seperti perut terasa berat atau kembung.
Banyak yang mengira bahwa dengan memasukkan sedikit makanan, sistem pencernaan tetap akan “tidur”. Padahal, sebaliknya, usus akan tetap bekerja begitu mendeteksi adanya makanan, berapa pun jumlahnya. Logisnya, begitu makanan mencapai usus, produksi enzim akan mulai kembali, sistem pencernaan akan aktif, dan puasa secara fisiologis pun menjadi terganggu. Oleh karena itu, meskipun hanya sebiji kacang yang masuk, tubuh tidak lagi dalam keadaan puasa penuh. Sesuatu hal yang juga diingatkan kajian fiqh demi kesempurnaan puasa.
Di luar cerita mekanisme sistem pencernaan yang terjadi saat puasa, menahan diri agar tidak ada makanan yang masuk sama sekali selama puasa memiliki banyak manfaat kesehatan, seperti ; regenerasi sel pencernaan, mengurangi beban pencernaan, mendorong proses autofagi atau mengontrol insulin dalam darah. Penjelasan sains, khususnya dalam bidang kesehatan segaris lurus dengan justifikasi fiqh yang menetapkan ketentuan rigid (ketat) tentang syarat sahnya puasa.
Dalam ajaran Islam, pentingnya menjaga keutuhan puasa ditegaskan dalam hadis dari sahabat sebagaimana terdapat dalam Musannaf Ibn Abi Syaibah. Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata, “Tidak masalah apabila seseorang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak masuk kerongkongan/memakannya.” Berdasarkan qaul ini, mayoritas ulama Syafi’i berpendapat bahwa masuknya rasa makanan yang tersisa dari bekas makanan tidaklah masalah, selama tidak ada benda yang benar-benar masuk ke dalam rongga tubuh.
Puasa bukan hanya soal menghindari makanan dalam jumlah besar, tetapi juga memastikan tidak ada satu pun makanan yang masuk ke lambung, termasuk makanan paling mikro sekalipun. Sekali makanan masuk, tubuh akan beralih dari mode puasa ke mode pencernaan, sehingga manfaat istirahat total bagi sistem pencernaan hilang. Sungguh, ketentuan ini tidak hanya memiliki dasar keimanan, tetapi juga dapat dijelaskan secara ilmiah, yang kembali menegaskan kebijaksanaan sangat teliti dalam amalan puasa.
Wallahu a’lam bish shawab
