Pemimpin Bogor yang Masagi dalam Pandangan Ulama, Budayawan, Akademisi, dan Politisi

Pemimpin Bogor yang Masagi dalam Pandangan Ulama, Budayawan, Akademisi, dan Politisi

MUI-BOGOR.ORG – Pelantikan Sri Baduga Maharaja, alias Prabu Siliwangi, sebagai Raja Sunda Pakuan Pajajaran pada 3 Juni 1482 dilaksanakan selama sembilan hari dalam ucapara “kedhabhakti”, dihitung sebagai hari kelahiran Bogor. Tahun 2024 ini, usia Bogor sudah memasuki usia 542 tahun.

Di tahun ini juga, Bogor akan mengadakan pemilihan Kepala Daerah yang akan berlangsung pada 27 November mendatang. Seperti apakah sosok pemimpin yang mampu membawa Bogor kembali meraih kejayaannya? Seperti apa sosok pemimpin Bogor itu? Kalam Ulama mencoba mencari jawaban tersebut berdasarkan pandangan para ulama, budayawan, akademisi dan politisi.  

Ketua MUI Kabupaten Bogor Bidang Hubungan Luar Negeri, Dr. KH. Agus Mulyana, MA. Foto: SINDOnews.com

Ketua MUI Kabupaten Bogor Bidang Hubungan Luar Negeri, Dr. KH. Agus Mulyana, MA., memberi pandangan bahwa pemimpin Bogor adalah mereka yang bisa bersinergi dengan ulama. Karena “Kabupaten Bogor bisa tampil menjadi contoh padu serasinya umara – ulama dalam menghadapi problematika keumatan dan masyarakat. Sinergitas yang harmonis menjadi modal kuat untuk menjalankan program-program pemerintahan”, ujar Pengasuh Ponpes Algebra International Islamic Boarding School (IIBS) ini.

Kiai Agus mengutip perkataan Imam Abu Hamid al Ghazali dalam buku “Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk” mengatakan: الدين والملك توأمان. مثل اخوين. ولدا من بطن واحد, artinya: “Agama dan negara bagaikan saudara kembar. Keduanya lahir dari satu sumber”

Dan juga Imam Al Mawardi dalam karyanya yang terkenal “Adab al-Dunya wa al-Din” mengutip pernyataan Abd Allah al Mu’taz mengatakan : الْمُلْكُ بِالدِّينِ يَبْقَى، وَالدِّينُ بِالْمُلْكِ يَقْوَى. Artinya: “Kekuasaan atau negara yang ditopang oleh agama, akan abadi (bertahan), dan Agama yang ditopang oleh kekuasaan, akan kuat.”.

“Walhasil siapa saja yang menjadi pemimpin pemerintahan ketika berkolaborasi dengan ulama insya Allah akan jadi ideal, sukses barakah. Pemerintahan Kabupaten Bogor dan Majelis Ulamanya on the track menuju nilai-nilai mulia itu dan terus memupuk  untuk kualitas yang lebih baik lagi”, jelasnya.

Ketua MUI Kabupaten Bogor Bidang Fatwa, KH. Cucun Sunan Nasa’i. Foto: Youtube Alkhidmah Studio.

Hal senada juga diutarakan oleh Ketua MUI Kabupaten Bogor Bidang Fatwa, KH. Cucun Sunan Nasa’i. “Menjadi pemimpin Bogor harus memenuhi lima syarat, yaitu: 1). Beriman dan bertaqwa; 2) Amanah, jujur, adil, dan benar; 3). Berjiwa besar, lapang dada, bisa menyelami hati rakyat; 4). Merasa memiliki Bogor; dan  5). Mempertahankan gema tradisi dan nilai positif melalui ke’arifan lokal sebagai wujud nyata melestarikan budaya bangsa”, terang pimpinan Pondok Pesantren Daarul Fikri Al Andalusy tersebut.

Pernyataan di atas diperkuat oleh Ketua Umum MUI Kabupaten Bogor, Prof. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA., MH., yang menegaskan bahwa selain memiliki integritas moral pemimpin Bogor juga harus memiliki pemahaman yang utuh tentang kebogoran, kejawabaratan, dan keindonesiaan. Oleh sebab itu Kiai Mukri menambahkan pemimpin Bogor harus selaras dengan ulama untuk memastikan kepemimpinan politik berlandaskan prinsip-prinsip ilahiyyah.

Ketua Umum MUI Kabupaten Bogor Prof. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA., MH. Foto: Istimewa

Begitupun sebaliknya, para alim ulama di Kabupaten Bogor juga harus meyakini bahwa salah satu peran pokok ulama adalah menjaga negara atau himayatuddaulah, “sejarah sudah berbicara panjang tentang peran ulama dalam mempertahankan bangsa dan negara, dan semangat ini harus ditumbuhkan kembali.” Tegas guru besar ilmu Fiqih ini kepada Kalam Ulama.

Sementara itu, Budayawan Bogor, Jatnika Nanggamiharja, menegaskan bahwa seorang pemimpin Bogor harus memahami dua konsepsi besar, yaitu Pamadegan Tatar Sunda dan Tatar Sunda Sapamadegan. Maksud dari pamadegan ialah pendirian atau karakter, Tatar Sunda artinya wilayah Sunda, yang isinya “Kiwari ngancik bihari ayeuna sampeureun jaga, jaga pajajaran anyar bakal hudang, hudangna ku obahna jaman, ulah ngabendung gunturna waktu, ulah nyaatan talaga mangsa, ulah mungpung jalan papasten sumur haur pamunjungan tajug haur pangsujudan, dulur ngajugjug dulur baraya nyarang baraya” ucap pendiri Yayasan Pengrajin Bambu Indonesia ini kepada Kalam Ulama.

Budayawan Sunda, Jatnika Nanggamiharja. Foto: rmol.id

Arti dari pamadegan itu, lanjut Jatnika, adalah saatnya kita peduli untuk menjaga generasi Pajajaran baru yang akan segera bangkit, bangkitnya karena perubahan jaman, jangan berhenti karena gemuruh waktu, jangan takut akan masa depan, jangan berhenti di tengah jalan, semua tempat di muka bumi adalah masjid, sesama saudara saling memberi hormat.

Sementara itu, maksud dari Tatar Sunda Sapamadegan artinya satu wilayah Sunda harus memiliki satu pendirian yang sama, yakni: Sadulur – sageutih – sasarakan – sakahirupan – sapamadegan (satu saudara, satu darah, sebagai teman, seumur hidup). Selain itu, pendiri Padepokan Pencak Silat Sangsaka Buana Indonesia ini juga mendeskripsikan sosok pemimpin Bogor harus memiliki hikmah dan kebijaksanaan berupa silih Asah – Asih – Asuh.

Sehingga harapannya Bogor ke depan menjadi “Lembur matuh dayeuh maneuh banjar karang pamidangan”, artinya Bogor akan menjadi daerah yang ajeg, tumaninah, aman, damai, sejahtera, karena memiliki daya tarik, kharisma, wibawa, sehingga orang-orang dari berbagai pelosok negeri akan silih ganti berdatangan.

Budayawan Sunda, Agus Pranamulya. Foto: Istimewa

Senada dengan Abah Jatnika, budayawan Agus Pranamulya melihat pemimpin Bogor itu harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan sehat secara jasmani dan rohani. “Tekad, ucap jeung dan lampah na sesuai dengan ajaran Allah SWT”, terang pendiri Yayasan Rasaning Rasa Caringin ini kepada Kalam Ulama. Selain itu, ia menyebut pemimpin Bogor harus visioner, berorientasi ke masa depan dengan tidak melupakan sejarah dan budayanya.

“Dinu Kiwari ngancik bihari ayeuna sampeureun jaga. Visi, misi, tujuan dan strategi Bogor didasarkan pada analisa dengan pendekatan yang multidisipliner (masagi) dengan tetap mengacu kepada kekuatan, kelemahan, tantangan dan ancaman warga Bogor dan sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat dan propinsi Jawa Barat”, bebernya.

Lebih jauh, Ki Agus mengatakan, kriteria pemimpin Bogor itu harus adil kepada semua pihak. “Jeung ari adil teh ulah adil ka para mitra; tapi adil ka palamarta. Ulah eudeuk ilik buluwan hanteuna. Najan somah cacah malarat ku euweuh kagableg bolenang cara cangkang ondog oge, ulah inyana dibeda-bedakeun ti menak jajambulan ku kabeungharan, ti pangkat-pangkat anu jajabrigan tina kakawasaan. Adil teh ulah ngan ka anu sabangsa bae”, tukasnya.

Seorang pemimpin Bogor juga harus bekerja secara harmonis, saling menghargai dan tolong menolong.  “Silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan sadulur, sageutih, sasarakan, sakahirupan dan sapamadegan untuk membangun Bogor”, tegasnya.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan Bogor, Dr. Henny Suharyati, M.Si. Foto: headlinebogor.com

Lalu bagaimana para akademisi melihat kriteria para pemimpin Bogor? Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan Bogor, Dr. Henny Suharyati, M.Si., memberikan pandangan sosok pemimpin ideal ialah yang memiliki keterampilan dalam segala aspek, yaitu: 1). Terampil dalam mengelola ekonomi; 2) Memiliki kematangan secara politik; 3) Terampil dalam mengelola aspek sosial; 4) Memiliki pemahaman yang mendalam dalam aspek budaya; 5) Terampil dalam mengelola organisasi. Dengan demikian, ia menyimpulkan sosok dan kriteria kepemimpinan yang tepat untuk Kabupaten Bogor adalah seorang yang memiliki keterampilan multi talent dalam mengelola berbagai aspek.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Djuanda Bogor, Dr. Aep Saepudin Muhtar, M.Sos. Foto: Istimewa

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Djuanda Bogor Dr. Aep Saepudin Muhtar, M.Sos., memberikan pandangan sedikit berbeda. Ia menjelaskan bahwa beberapa kriteria atau syarat minimal menjadi pemimpin Bogor ada tiga, yaitu: Pertama, memahami Bogor masa lalu, artinya seorang pemimpin tidak boleh ahistoris, sebab pada Bogor masa lalu memiliki banyak nilai luhur yang harus dipegang erat dan dilestarikan. Jangan sampai Bogor menjadi peradaban yang ahistoris. Kedua, menguasai Bogor masa kini, artinya seorang pemimpin Bogor harus menguasai segala permasalahannya, peluang dan tantangannya, berikut potensinya. Dan ketiga, memiliki ide dan gagasan untuk membangun Bogor di masa depan.

“Terlepas dari ketiga hal itu, pemimpin Bogor harus memiliki leadership yang baik, ditunjukkan dengan memiliki kemampuan konsepsi yang bagus dan mampu merealisasikan konsep tersebut. Serta yang terakhir yaitu seorang pemimpin harus memiliki integritas yang kuat”, jelasnya.

Politisi Partai Nasdem/Anggota DPR RI Dapil V Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya. Foto: bogorupdate.com

Di sisi lain, pandangan mengenai pemimpin Bogor yang masagi juga dikemukakan oleh politisi Asep Wahyuwijaya. Kepada Kalam Ulama, ia mengatakan bahwa dirinya merindukan sosok pemimpin Bogor yang kosmopolit namun tetap membumi. “Pemimpin yang kosmopolit adalah pemimpin yang memiliki pengetahuan dan pikiran yang luas. Pikirannya terbuka, imajinasinya tak terbatas, penghargaan kepada keragaman pun tinggi. Itulah figur kosmopolit”, terang Kang AW, sapaan akrabnya.

Menurut Kang AW, pemimpin kosmopolit adalah keniscayaan sosok yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin di Kabupaten Bogor. Konektivitas pemikiran antara melihat persoalan di dalam (inward looking) dengan membaca dan memanfaatkan peluang di luar (outward looking) harus terjalin kuat.

“Kendala keterbatasan fiskal dengan mengoptimalkan potensi pendapatan asli daerah dan sumber bantuan anggaran lainnya; mesin & karakter birokrasi yang harus terus diperbaiki; pemberesan infrastruktur pendidikan, kesehatan dan ekonomi termasuk pertanian; optimalisasi peran UMKM dan kreativitas kaum muda adalah beberapa agenda issu yang mutlak untuk dipetakan dan dikerjakan sesuai skala prioritasnya. Semuanya harus dikoneksikan dengan tantangan untuk masuk ke dalam ruang percaturan pembangunan yang lebih besar: aglomerasi, dan seterusnya”, pungkasnya. (Tim Redaksi Majalah Kalam Ulama)

Sumber: Majalah Kalam Ulama Edisi ke 26.