Penampakan Amal Menurut Ghozali

Penampakan Amal Menurut Ghozali

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam dunia tanpa sekat sekarang, citra diri begitu mudah ditampakkan. Lewat unggahan foto, video, bahkan status, seseorang bisa dengan mudah mem be ri tahu apa yang dia lakukan kepada para pengikutnya (follower).

Tak jarang, posting-an yang dikirimkan berupa aktivitas amal ibadah. Shalat, zikir, haji, umrah, hingga bersedekah menjadi salah satu pilihan penampakan yang di-posting di akun-akun media sosial.

Untuk membahas penampakan amal ini, Syeikh Jamaluddin Al Qasimi dalam Saripati Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali menjelaskan faedah dalam menampakkan amal dan menyembunyikannya.

Menurut dia, ada faedah dalam merahasiakan amal. Manfaat tersebut berupa keselamatan dari riya. Di sisi lain, untuk menampakkan amal juga ada faedah yang bisa didapatkan. Itu merupakan keteladan an dan penggugahan orang lain dalam kebajikan.

Imam Hasan RA berkata, “Sesungguh nya merahasiakan amal melindungi orangorang yang melakukannya. Namun, dalam menampakkan amal juga terdapat faedah. Karena itu, Allah Ta’ala memuji amal yang rahasia dan amal yang terang-terangan.” Ini sesuai dengan apa yang tercantum da lam Alquran. “Jika kalian menampakkan sedekah itu adalah baik sekali dan jika kalian menyembunyikannya serta memberikannya kepada orang-orang fakir, itu adalah lebih baik bagi kalian” (QS al- Baqarah [2]: 271).

Ada dua macam amal yang ditampakkan. Pertama, menampakkan amal itu sendiri. Kedua, membicarakan amal yang telah dilakukan. Menampakkan amal seperti bersedekah di depan banyak orang supaya mereka tergugah untuk bersedekah. Ini sebagaimana diriwayatkan dari salah seorang sahabat Anshar yang datang de ngan membawa sekantong uang. Kemudian, orang-orang turut memberi karena melihatnya memberi.

Nabi SAW pun bersabda, “Barang siapa melakukan sebuah kebiasaan (baik) lalu orang-orang mengamalkan kebiasaan itu, niscaya ia mendapatkan pahala kebiasaan yang dilakukannya serta pahala orangorang yang mengikutinya.”

Seluruh amal yang lain pun berlaku demikian. Contohnya ketika kita melakukan shalat, puasa, haji, ikut berperang di jalan Allah dan sebagainya. Namun, keteladanan dalam bersedekah biasanya berlaku lebih umum. Karena itu, melakukan amal secara rahasia lebih utama daripada melakukan amal terang-terangan tanpa unsur keteladanan di dalamnya.

Adapun beramal terang-terangan un tuk memberi keteladanan lebih utama daripada diam-diam. Ini menunjukkan bahwa Allah Azza Wajalla memerintahkan para nabi untuk menampakkan amal supaya diteladani. Rasulullah SAW bersabda, “Ia mendapatkan pahalanya serta pahala orang yang mengamalkannya pula.”

Orang yang menampakkan amal punya dua tugas. Pertama, ia menampakkan amal apabila ia mengetahui jika perbuatannya akan diikuti. Hanya orang alim terkenal yang perbuatannya diikuti manusia. Kare na itu, apabila selain orang alim menunjukkan ketaatan dengan bersandar pada riya dan kemunafikan, orang-orang akan mencela dan tidak mengikutinya.

Kedua, dia mesti mengawasi hati. Mungkin saja, hatinya itu memiliki kecintaan terhadap riya yang masih samar-samar. Riya itu pun mengajaknya untuk menampakkan amal dengan alasan keteladanan. Padahal, keinginannya adalah berhias diri dengan amal serta dengan ke adaan yang diikuti.

Tak pelak lagi, seseorang harus waspada dengan tipuan nafsu. Dia itu penipu. Tidaklah seseorang menukar keselamatan amalnya dengan sesuatu. Keselamatan amal terdapat dalam penyembunyiannya. Sementara, dalam penampakan, begitu banyak bahaya yang tidak mampu diatasi manusia biasa.

Penampakan kedua, yakni membicara kan amal setelah amal itu diselesaikan. Hukum perbuatan ini sama dengan hukum menampakkan amal itu sendiri. Namun, bahayanya lebih besar. Meluncurnya ucapan amatlah ringan bagi lidah. Dalam penyampaian cerita, terkadang lidah melebih-lebihkan dan nafsu merasakan kelezatan yang besar dalam mengemukakan pengakuannya.

Hanya, seandainya riya menimpanya, itu tidak akan berpengaruh dalam merusak keabsahan ibadah yang telah lalu dan telah selesai. Dari sisi ini, perbuatan tersebut lebih ringan daripada yang pertama.

Imam Al Ghazali menghukumi barang siapa kuat hatinya, sempurna keikhlasannya, manusia kecil dalam pandangannya, pujian dan celaan sama saja.

Penyebutan amal di hadapan orang dapat diharapkan akan mengikutinya dan dapat menjadi kesenangan dalam berbuat baik. Jika itu yang dijadikan landasan, diperbolehkan baginya, bahkan disunahkan jika memang niatnya bersih karena perbuatannya itu menjadi pendorong dalam kebaikan bagi orang lain.

Takut terhadap riya juga terkadang menimbulkan efek psikologis bagi seseorang hingga takut menjalankan ibadah. Ini jelas merupakan kekeliruan bahkan sesuai dengan ajakan setan.

Selama kita menemukan dorongan agama untuk suatu amal, jangan ting gal kan amal itu dan perangilah lintasan riya. Tetapkan hati dengan rasa malu kepada Allah. Tekankan pada hati apabila nafsu mengajak untuk mengganti pujian Allah SWT dengan pujian makhluk, Dia Maha Melihat Isi Hati. Jika setan tetap berkata kita bersikap riya, dia telah berbohong dan menipu dengan dalih takut kepada riya.