Oleh: Dr. M. Taufik Hidayatulloh, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kab. Bogor/Dosen UIN Jakarta)
“Sekiranya pohon zaitun mengenal tangan yang menanamnya, niscaya minyaknya akan menjadi air mata.” (Mahmoud Darwish)
Sebagaimana kita ketahui bahwa pohon zaitun disebutkan 7 kali dalam Al Qur’an sebagai tanaman yang terhubung baik langsung maupun tidak dengan tanah suci Palestina. Di tempat inilah para sejarawan percaya bahwa masyarakat pertanian pertama dimulai berkat dekatnya dengan titik awal kemunculan peradaban di dunia (sekitaran kawasan Ethiopia sebagaimana rilis hasil penelitian genetika manusia terbaru).
Dalam perjalanan sejarahnya selama ribuan tahun sejak zaman Herodes (Raja dari Kerajaan Yerusalem abad 1 SM), pohon zaitun telah membuktikan diri bukan sekedar tanaman biasa di wilayah mediteranian yang strategis itu, tetapi sudah menjelma menjadi identitas bangsa Palestina sebagai penduduk aslinya.
Ketika kita perhatikan bagaimana panen zaitun yang digelar setiap tahun dapat dianggap sebagai manifestasi sumud, sebagai sifat melekat dalam jiwa bangsa Palestina berupa ketabahan ketika mereka hidup di bawah represi atau tirani. Hal ini menandakan bahwa panen zaitun seolah menyuarakan kisah keberanian dari setiap buah yang dihasilkan ke segala penjuru dunia. Seolah menyuarakan penolakan rakyat untuk dipindahkan atau digenosida.
Tidak sesederhana sebagaimana pendapat beberapa kalangan yang menganggap bahwa pohon zaitun lebih terlihat dari sisi budaya mewakili representasi identitas bangsa, tetapi sebenarnya di sisi lain dapat dilihat sebagai penopang hidup lebih dari ratusan ribu keluarga Palestina, yang menandakan kontribusi pohon zaitun terhadap sektor ekonomi bangsa.
Mereka mendapat tempat di hati sebagian besar warga Palestina. Oleh sebab itu, Israel sebagai negeri parasit secara terstruktur dan sistematis berupaya menahan, atau bahkan bila memungkinkan berusaha menghancurkan ladang pohon zaitun dan cara hidup yang mereka dukung (baca: sektor ekonomi) sebagai bagian dari negeri inang yang tumbuh bagaimanapun caranya.
Mereka dengan terang-terangan dan bahkan tanpa malu-malu melakukan berbagai tindakan seperti menyita tanah lahan subur untuk perluasan daerah zona penyangga, mencuri sumber daya air dengan cara membangun pemukiman ilegal, sampai kepada menebang atau membakar pohon zaitun dengan alasan keamanan.
Hal mana sebenarnya dilakukan Israel sebagai upaya logis untuk melemahkan ekonomi yang berpotensi besar akan menjadi sumber penopang ketahanan perjuangan rakyat Palestina dalam jangka panjang. Angka-angka yang menggambarkan deskripsi di atas, yang sebenarnya merupakan akumulasi dari berbagai dinamikanya, meliputi: pohon zaitun pernah mencakup 40% (2016) dan 47% (2017) lahan pertanian di Palestina, namun hanya memberikan 18% pendapatan dari produksi pertanian (The Ecologist.org.2016 dan Urusan Kemanusiaan OCHA-UN. 2018).
Satu hal yang dilupakan pihak angkara, utamanya tentang eksistensi “keabadian” pohon zaitun yang sedemikian rupa itu mencerminkan keteguhan perjuangan bangsa Palestina hingga saat ini. Sekalipun kemudian dihadapkan pada keadaan ekonomi sulit tak terkira, rakyat Palestina tetap memiliki kesadaran kolektif bangsa (istilah yang diperkenalkan Emile Durkheim, seorang pencetus sosiologi modern), terhadap pohon zaitun sebagai pohon harapan sekaligus cita ideal masa depan bangsa.
Pohon zaitunpun kemudian tampil sebagai sumber inspirasi yang memenuhi tekad perlawanan karena pangan adalah garda terdepan pertahanan. Berkat bentuk kesadaran tersebut, rakyat Palestina akhirnya menjelma menjadi pejuang tangguh tak tergoyahkan yang menolak tunduk pada tekanan ekonomi demi meruntuhkan gelora semangat pembebasan mereka.
Bangsa Palestina yang terhubung dengan pohon zaitun ini baik sebagai komoditas berharga, warisan budaya, maupun simbol harapan, tidak saja menciptakan resistensi terhadap segala bentuk penjajahan, tetapi juga berusaha untuk membangun fondasi kemandirian ekonomi melalui agro-resistance (sebuah istilah merujuk pada gagasan Ted Robert Gurr, seorang ilmuwan politik di Amerika dengan ajuan teori Relative Deprivation-nya (perampasan relatif).
Pohon zaitun yang menjadi jangkar ketabahan itu selanjutnya teruji dan terbukti berkontribusi terhadap kemandirian pangan bangsa Palestina. Di sini kita mendapati suatu kenyataan selama kurun waktu ribuan tahun lamanya (diperkirakan sejak 8.000 sampai 6.000 tahun lalu hasil penelusuran genetika sebagaimana dilansir Live Science.2023 ), pohon zaitun menjadi mata rantai dari tekad baja suatu bangsa yang tidak pernah menyerah.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan keberkahan terhadap perjuangan bangsa Palestina menuju kemerdekaannya. Aamiin.
Wallahu a’lam bi as-shawab