Qurban dan Pemuliaan Manusia

Qurban dan Pemuliaan Manusia

MUI-BOGOR.ORG – Rangkaian ibadah haji sangat berkaitan dengan teladan Nabi Ibrahim AS beserta keluarganya dalam memainkan sebuah drama ketuhanan sekaligus kemanusiaan yang luar biasa. Episode yang dimulai dari perjuangan mencari Tuhan, menghadapi tirani Namruz, berhadapan dengan kaumnya yang musyrik, menghadapi pengusiran ayahnya, menjalani hukuman dibakar hidup-hidup, belum mendapatkan keturunan di usia tua, mendapat perintah meninggalkan istri dan anaknya (Ibunda Hajar dan Nabi Ismail AS) di Bakkah (yang kini kita kenal dengan nama Mekah), diperintahkan menyembelih anaknya, sampai kepada membangun Ka’bah sebagai rumah ibadah pertama.

Kesuksesannya menjalani berbagai cobaan hidup ini diabadikan Al Qur’an dalam Surat Al Baqarah ayat 124: “(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”

Kisah hidupnya senantiasa dipenuhi keteladanan dalam menegakkan kebenaran untuk kemaslahatan ummat, membuktikan diri untuk berani berkorban demi kepentingan sesama, kebijaksanaan dalam berdakwah, pembangun keluarga yang sakinah, semuanya dilakukan dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip tauhid. Prestasi Nabi Ibrahim AS dapat dilihat dari berbagai gelar yang diberikan Allah SWT kepadanya, beberapa di antaranya yaitu ; nabi yang hanif, pemimpin umat manusia, uswah hasanah, muhsinin, pembina rumah ibadah pertama, bapak para nabi dan berbagai gelar lainnya. Pantas saja bila Allah SWT kemudian menjadikan Nabi Ibrahim AS ini sebagai pemimpin bagi seluruh umat manusia.

Salah satu syariat yang sampai kepada kita dalam kaitannya dengan Nabi Ibrahim AS adalah ibadah qurban. Ibadah qurban bukan hanya terkait dengan peristiwa ‘mengorbankan Nabi Ismail’, melainkan meluas kepada contoh teladan yang disematkan kepada bapak para nabi ini di sepanjang kisah hidupnya. Salah satu hal menarik tersebut terletak pada sisi pengabadian peran seorang istri—Ibunda Hajar dan pelibatan emosi putranya—Nabi Ismail AS.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Ibunda Hajar merupakan budak wanita yang berasal dari Mesir. Sosok yang selalu diluputkan dari perhatian masyarakat dalam konteks sejarah sosial patriarkhis atau sejarah yang menomorsatukan garis keturunan laki-laki, sekaligus menonjolkan simbol insan yang tidak berdaya dalam identitas sosial, budaya maupun politik. Sebagaimana diketahui bahwa Ibunda Hajar merupakan wanita berkulit hitam, budak yang secara otomatis menempati kasta terendah dari yang paling terendah. Gambaran kelemahan Ibunda Hajar lainnya tercermin dari tingkat penderitaan, keterasingan dan keterbuangan dari masyarakatnya.

Timbul kemudian pertanyaan, mengapa Allah SWT memilih sosok seperti Ibunda Hajar? Di sinilah letak hikmah ajaran Tauhid bahwa Allah SWT melakukan pembelaan terhadap manusia yang tidak berdaya, tercampakkan, terbuang dan sejumlah identitas lain yang menggambarkan ketidakberuntungan dan ketidakberdayaan. Melalui sosok Ibunda Hajar inilah Allah SWT mengkritik sistem sosial budaya yang mengacuhkan penderitaan manusia, sekaligus Allah SWT juga hendak mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk mulia, yang membedakannya satu sama lain hanyalah taqwa semata. Kini, peran Ibunda Hajar yang diabadikan itu menjadi bagian dari ritual haji yang bernama sa’i (berjalan kaki dan berlari-lari kecil di antara kedua bukit Shafa dan Marwah, sebanyak tujuh kali (bolak-balik) dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah dan sebaliknya).

Selain itu, Nabi Ismail AS menjadi bagian yang tidak kecil peran keteladanannya. Ia mengikhlaskan dirinya untuk disembelih sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah SWT, sekaligus menunjukkan tingkat emosi dengan kadar spiritualitas tinggi. Saat Nabi Ibrahim AS telah menyempurnakan perintah mengorbankan putranya Ismail (Nabi Ismail AS), kemudian Allah SWT segera menggantinya dengan kibas. Hal ini jelas menunjukkan suatu pertanda, bahwa tidak boleh ada seorang manusiapun yang merendahkan manusia lain karena dari fitrahnya (asal kejadiannya), manusia dilahirkan dalam kondisi setara dan sederajat.

Peristiwa penggantian kibas juga merupakan bentuk penolakan terhadap upaya mempersembahkan manusia sebagai bagian dari sesaji dan tumbal yang biasa dilakukan saat itu (terlebih di zaman kuno). Ini menunjukan betapa tinggi nilai nyawa manusia di mata Allah SWT. Kedua simbol dalam peristiwa qurban tersebut—melalui peran Ibunda Hajar dan pengorbanan Nabi Ismail—sekali lagi merupakan suatu bentuk pemuliaan manusia. Manusia dengan demikian adalah makhluk yang istimewa. Tidak saja dikagumi makhluk bumi, namun juga makhluk langit. (*)

Wallahu a’lam bi as shawab

Penulis: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor/Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)