Rajab: Saatnya Muhasabah dan Menata Hati Menyambut Ramadhan

Rajab: Saatnya Muhasabah dan Menata Hati Menyambut Ramadhan

MUI-BOGOR.ORG – Bulan Rajab merupakan salah satu dari empat bulan haram yang dimuliakan Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi; di antaranya ada empat bulan haram.” (QS. At-Taubah [9]: 36).

Para mufasir seperti Imam ath-Thabari dan Ibnu Katsir menjelaskan bahwa empat bulan haram tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Disebut “haram” karena kemuliaannya, di mana dosa dilipatgandakan keburukannya dan amal saleh dilipatgandakan pahalanya. Namun realitas hari ini menunjukkan bahwa Rajab sering diperlakukan sama seperti bulan lainnya, tanpa kesadaran spiritual yang mendalam.

Dalam tradisi ulama salaf, Rajab dipahami sebagai fase awal persiapan ruhani menuju Ramadhan. Abu Bakr al-Balkhi menyatakan Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban bulan menyiram, dan Ramadhan bulan memanen.

Pernyataan tersebut dikutip oleh Imam Ibn Rajab al-Hanbali dalam kitab Latha’if al-Ma’arif, sebuah kitab klasik yang secara khusus membahas keutamaan waktu-waktu mulia.

Filosofi ini menunjukkan bahwa kesungguhan ibadah di Ramadhan sangat ditentukan oleh keseriusan seseorang dalam mempersiapkan diri sejak Rajab.

Keistimewaan Rajab juga berkaitan erat dengan peristiwa besar Isra Mi’raj, peristiwa yang menegaskan kewajiban shalat lima waktu.

Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian diwajibkanlah shalat lima puluh waktu, lalu dikurangi hingga menjadi lima waktu, dan itulah lima puluh (dalam pahala)” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dalam konteks umat Islam hari ini, shalat sering kali kehilangan ruhnya dikerjakan cepat, tanpa kekhusyuan, dan tidak membekas dalam akhlak. Padahal shalat merupakan tolok ukur kualitas keimanan seorang Muslim.

Rajab seharusnya menjadi momentum evaluasi serius terhadap shalat, bukan hanya dari sisi fikih, tetapi juga dari sisi penghayatan dan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.

Terkait amalan khusus di bulan Rajab, para ulama Ahlus Sunnah menegaskan pentingnya sikap ilmiah dan moderat. Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab Tabyin al-Ajab bima Warada fi Faḍli Rajab menjelaskan bahwa tidak terdapat hadits sahih yang secara khusus menetapkan ibadah tertentu di bulan Rajab, seperti puasa Rajab secara penuh atau shalat tertentu dengan tata cara khusus.

Namun demikian, memperbanyak amal saleh secara umum tetap sangat dianjurkan, karena Rajab termasuk bulan haram. Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu menegaskan bahwa puasa sunnah, istighfar, sedekah, dan amal kebaikan lainnya dianjurkan di setiap waktu, terlebih di bulan-bulan mulia.

Dengan demikian, menghidupkan bulan Rajab bukanlah dengan ritual tanpa dasar, melainkan dengan memperkuat kesadaran ruhani, memperbaiki shalat, memperbanyak taubat, dan menata niat hidup.

Rajab adalah pintu awal perubahan, bukan sekadar pengantar Ramadhan yang berlalu begitu saja. Jika Rajab dimaknai dengan benar, maka Ramadhan akan datang bukan sebagai tamu yang mengejutkan, melainkan sebagai bulan yang disambut dengan kesiapan iman dan kedewasaan spiritual. Wallahu a’lam bi ash-showab.

Referensi:

  • Al-Qur’an al-Karim, QS. At-Taubah [9]: 36;
  • Kitab Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayyi Al-Qur’an;
  • Kitab Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Aẓim;
  • Kitab Latha’if al-Ma’arif;
  • Kitab Tabyin al-Ajab bima Warada fi Faḍli Rajab;
  • Kitab al-Majmu Syarḥ al-Muhadzdzab;
  • HR. al-Bukhari dan Muslim tentang Isra Mi’raj dan kewajiban shalat.
Penulis: Arman Nadziri, M.Pd. (Dosen STEMBI Bandung/Mahasiswa PKU MUI Kabupaten Bogor Angkatan XIX)
Penulis: Arman Nadziri, M.Pd. (Dosen STEMBI Bandung/Kader PKU Angkatan XIX)