Teologi Lingkungan: Belajar dari Ciliwung dan Kecacatan Menakjubkan

Teologi Lingkungan: Belajar dari Ciliwung dan Kecacatan Menakjubkan

MUI-BOGOR.ORG – Kita semakin menemukan sebuah pola dengan cara pengisahan dan pemberitaan Sungai Ciliwung, dari waktu ke waktu, sejak zaman dahulu sampai sekarang. Mulai dari puisi Rendra, sang penyair, yang terkenal menceritakan nostalgia keindahan Ciliwung, sampai kepada kritik sosial terhadap penanganan sungai oleh Benyamin Sueb dengan lagu berjudul Kompor Mleduk. Belakangan, kondisi sungai itu semakin memprihatinkan saja.

Salah satu potret pilu Ciliwung, kalau tidak kita gunakan kata “memalukan”, diwakili oleh sebuah buku terbitan Kompas berjudul “Ekspedisi Ciliwung, Laporan Jurnalistik Kompas: Mata Air, Air Mata” yang terbit tahun 2009. Sungai Ciliwung dalam buku tersebut diceritakan penuh dengan keprihatinan. Betapa tidak, buku itu menggambarkan transformasi negatif dari Ciliwung yang menjadi sumber bahagia di masa lalu, menjadi sumber nestapa di masa kini. Sungai yang tadinya sumber mata air menjadi sumber air mata bagi warga yang berada disekitarannya.

Meskipun demikian, Goenawan Muhammad, seorang budayawan, masih menemukan dua sisi dalam sungai yang sama. Di satu sisi ia melihat burung dan kupu-kupu beterbangan dengan warna-warni indahnya di bantaran sungai yang tak sedap dipandang mata. Di sisi lain, Ciliwung terlihat busuk dan rusak, seperti terkutuk.

Kehadiran burung, kupu-kupu serta makhluk kecil lainnya di sana beserta detail keanekaragaman makhluk renik tersebut, sudah barang tentu membuat takjub para ornitolog, entomolog dan para ahli lainnya. Orang alim akan menyebut itu sebagai tanda kepiawaian Tuhan yang tak terpermanai.

Hingga sampailah pada sebuah kesimpulan bahwa Allah SWT menciptakannya demikian sebagai petunjuk keberesan alam semesta ini. Namun kebusukan Ciliwung menimbulkan pertanyaan dalam hatinya: bagaimana mungkin ini bagian dari desain yang pandai di balik dunia yang menakjubkan ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memperluas sudut pandang melalui sebuah ciptaan dari Sang Maha Pencipta yang dikategorikan “cacat”, untuk diperbandingkan secara vis a vis dengan ciptaan yang terkategori “normal”. Kita ambil saja sebuah cacat yang mewujud dalam rupa lesung pipi [satu permisalan cacat dari yang tak terhitung banyaknya].

Secara sederhana, lesung pipi adalah cacat anatomis yang terjadi pada otot-otot wajah. Saat seseorang tersenyum, otot akan menarik kulit ke dalam, memperlihatkan lubang di tengahnya. Itulah sebabnya lesung pipi akan tampak saat seseorang tersenyum. Dalam budaya di banyak belahan dunia, termasuk juga di negara kita, lesung pipi dianggap sebagai kecantikan, keberuntungan dan atribut lainnya yang mengesankan istimewa bagi yang memilikinya.

Dari hal itu lah asal sebuah pepatah terkenal berbunyi, “Ketidaksempurnaan pada dasarnya mewakili keindahan yang unik”. Sebuah desain kecacatan saja dari Sang Maha Pencipta begitu mengagumkan, apalagi dari ciptaan yang normal.

Demikianlah, desain yang pandai itu bahkan menakjubkan saat mencipta sebuah kecacatan sekalipun (QS. Ali Imran : 191). Sehingga apabila disandingkan dengan fenomena Ciliwung yang menyedihkan, katakanlah terbilang cacat, apakah dapat diterima akal bila dinisbahkan kepadaNya? Tentu saja tidak logis menurut ukuran rasionalitas, bukan?

Lantas, apa makna kebusukan di Ciliwung? Bagaimana bisa manusia banyak berkontribusi di dalamnya? Lagi-lagi Goenawan Muhammad memaknainya sebagai simptom dari kota yang tak becus (kompeten), bukti ketidakmampuan, ketak acuhan masyarakat atau bahkan wujud durjana korupsi (Segaris lurus dengan QS. Ar Rum : 41) .

Padahal sebelumnya, sungai ini pernah membuat kagum Tome Pires, seorang penjelajah asal Portugal di abad ke 16 saat berkunjung ke Dayo (Nama ibu kota Kerajaan Pajajaran). Belakangan para pakar lingkungan di dunia melihat hal serupa dalam berbagai kasus kerusakan lingkungan, semisal Hariadi Kartodiharjo (mewakili berbagai pendapat pakar serupa), seorang profesor kebijakan kehutanan IPB University. Ia menyebut adanya sunk cost fallacy yaitu pembiaran kerusakan oleh pembuat keputusan akibat suatu proyek investasi dengan dalih agar waktu dan sumber daya yang telanjur diinvestasikan tidak sia-sia.

Melihat perkembangan Ciliwung dahulu dan sekarang, kita mendapatkan benang merah, betapa sungai Ciliwung telah menjadi indikator keberhasilan atau kegagalan pengelolaan lingkungan. Sayangnya, sungai hanya dijadikan sebagai sebuah gimmick, sesuatu yang tidak memiliki nilai tambah, bukannya sebagai kesempatan merancang keberlanjutan kehidupan, menjadi legacy untuk anak dan cucu.

Wallahu a’lam bi as shawab

Penulis: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor/Dosen Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)