Kecuali Satu Hal; In Memoriam Imam Ahmad bin Hanbal

Kecuali Satu Hal; In Memoriam Imam Ahmad bin Hanbal

MUI-BOGOR.ORG – Sejarah Islam dipenuhi oleh kisah para tokoh yang hebat. Tak dapat disangsikan bahwa nama Imam Ahmad bin Hanbal merupakan salah satu Imam Mazhab Fikih yang dikenal luas umat Islam, telah sukses menorehkan jejak sejarah yang tak terbantahkan. Pemikiran dan perjuangan yang ditunjukkan sepanjang hidupnya tak hanya membawa pengaruh yang mendalam dalam perkembangan agama Islam, namun juga telah mengilhami jutaan orang di seluruh dunia, bahkan hingga hari ini.

Ada dua peristiwa yang memiliki kaitan erat dengan memori kolektif umat Islam terhadap Imam mazhab yang satu ini. Pertama, berkaitan dengan datangnya fitnah (ujian) tentang “kemakhlukan Al Quran”. Pada peristiwa ini, ia menghadapi penganiayaan dan merasakan kengerian penjara akibat penolakannya terhadap pemahaman bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Kekuatan moralnya yang luar biasa itu telah mengilhami umat Muslim untuk menolak berkompromi terhadap hal-hal yang mendasar. Atas peristiwa itu telah menjadikannya sebagai icon keteguhan iman sekaligus keberanian.

Kedua, berkenaan dengan banyaknya pelayat saat kewafatannya yang mencapai 1,3 juta orang, sebagaimana penuturan Imam Adz-Zahabi. Dengan jumlah pelayat yang sangat fantastis itu, menjadikan peristiwa pelayat terbanyak pada masanya (mungkin juga untuk masa-masa sebelum dan setelahnya).

Tentu dua peristiwa di atas menggambarkan betapa terkenal dan dicintainya Imam Ahmad oleh umat Islam. Kepergiannya menjadi momen kesedihan bagi banyak orang. Ia meninggalkan kekosongan yang dirasakan oleh banyak orang, berupa kehilangan sosok pemimpin spiritual dan pemilik otoritas agama yang disegani. Namun demikian, keharuman namanya justru semakin tersebar luas, teristimewa dengan perilakunya semasa hidup yang menunjukkan kemuliaan akhlak.

Salah satu keteladanan yang masih diingat dan menjadi buah bibir dari generasi ke generasi hingga hari ini, terkait satu peristiwa ketika Imam Ahmad melakukan sebuah rihlah ke Syam. Dalam perjalanan mendekati malam, ia berhenti sejenak untuk beristirahat di sebuah masjid, tak berselang lama datanglah penjaga masjid yang tidak mengizinkannya untuk beristirahat di dalamnya, dengan alasan masjid sudah tutup.

Imam Ahmad tidak tahu harus berbuat apa, sampai penjaga masjid itu memegang kaki Imam Ahmad dan menyeretnya ke tengah jalan. Ia pun akhirnya terpaksa mengalah dan segera keluar dari masjid.  Andai saja tak ada tukang roti yang menolongnya di tengah jalan (dengan menawari bermalam di rumahnya) niscaya ia akan kebingungan. Ia segera beranjak pergi ke rumah tukang roti itu untuk bermalam, dan secara tidak sengaja melihat tukang roti itu dalam pekerjaannya selalu berdzikir kepada Allah SWT.

Imam Ahmad terheran, bibir tukang roti itu selalu basah karena dzikir kepada Allah SWT. Ia kemudian bertanya, “Sudah berapa lama anda melakukan tasbih tersebut?”, “Aku sudah melakukannya seumur hidup”, kata tukang roti. Imam Ahmad lanjut bertanya, “Apa yang Allah SWT berikan dari semua dzikir itu?”. Tukang roti menjawab, “Apa saja yang aku minta semua sudah dikabulkan-Nya, kecuali satu hal”, Imam Ahmad semakin penasaran lalu berkata, “Apa itu?”, tukang roti pun menjawab, “Saya ingin bertemu dengan Imam Ahmad.”

Mendengar jawaban tersebut, sontak membuat Imam Ahmad tak kuat menahan haru, ia menangis tersedu kemudian memeluk orang tersebut sambil berkata, “Subhanallah!! Allah telah membawamu, Ahmad. Allah menyeret kaki Ahmad ke toko roti anda. Kalau bukan untuk anda, saya bisa tidur dengan tenang di masjid.”

Peristiwa pertemuan Imam Ahmad dengan tukang roti itu, secara filosofis dimaknai sebagai bentuk kerendahhatian dan ketawaduannya sebagai seorang ulama dengan tingkat pengetahuan yang dalam, tidak mau menunjukkan identitasnya kepada penjaga masjid. Ketawadhuannya juga menunjukkan pentingnya menjauhi riya, yaitu demi mencari pujian atau pengakuan dari orang lain. Berkat keluhuran akhlaknya ini meninggalkan jejak keteladanan yang abadi.

Seakan Imam Ahmad terngiang dengan apa yang dikatakan Wuhaib bin Wird (salah seorang ulama tabi’in yang dikenal sebagai syekhnya para ahli ibadah yang wafat 10 tahun sebelum Imam Ahmad lahir) kepada seorang saudaranya, “… Pengetahuanmu itu telah mencapai derajat yang tinggi, sehingga menjadikanmu terhormat di mata orang-orang. Oleh karena itu, gapailah ridha Allah SWT melalui derajat yang lebih tinggi, dengan menyembunyikan perbuatan baikmu. Ketahuilah bahwa ke dua derajat itu (di mata manusia dan ridha Allah SWT) adalah dua sisi yang berbeda.” (ed.fw)

Wallahu a’lam bi as-shawab

Penulis: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si. (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor/Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)