MUI-BOGOR.ORG – Perbedaan mazhab dalam Islam sejatinya bukan alasan untuk berpecah, melainkan wujud rahmat Allah SWT yang memperkaya khazanah pemikiran umat. Keragaman itu lahir dari beragam faktor, mulai dari cara memahami dalil, penilaian terhadap hadis, metode istinbat hukum, hingga pengaruh kondisi sosial dan budaya para ulama pada masanya.
Pernyataan itu disampaikan oleh Dr. Abdul Wafi Muhaimin, M.IRKH., pada pertemuan kesebelas Pendidikan Kader Ulama (PKU) angkatan XIX yang berlangsung di Aula Dharmais, Kecamatan Sukaraja, Sabtu (27/9/2025).
Menurut Gus Wafi, ayat dan hadis dalam Al-Qur’an terkadang bersifat umum, khusus, mutlak, atau muqayyad, sehingga memunculkan ragam interpretasi. Ia mencontohkan kata “lamastumun-nisā” dalam QS. An-Nisā ayat 43 yang dipahami berbeda oleh para imam mazhab. Imam Syafi’i menafsirkannya sebagai “menyentuh perempuan” yang membatalkan wudhu, sementara Imam Hanafi memahaminya sebagai jima‘ (berhubungan badan).
Selain itu, tidak semua ulama menilai hadis dengan standar yang sama. Ada hadis yang diterima Imam Syafi’i, namun tidak dipakai oleh Imam Abu Hanifah, seperti hadis qunut Subuh. Begitu juga dalam metode istinbat hukum, Imam Malik lebih banyak menggunakan praktik masyarakat Madinah, Imam Abu Hanifah mengedepankan qiyas, sementara Imam Syafi’i ketat berpegang pada hadis sahih.
Faktor sosial dan budaya juga turut memengaruhi. Ulama Irak seperti Imam Abu Hanifah menghadapi banyak persoalan baru karena Irak adalah pusat peradaban, sehingga sering menggunakan ra’yu atau qiyas. Sedangkan Imam Malik yang hidup di Madinah lebih bertumpu pada tradisi sahabat.
Dr. Abdul Wafi juga mencontohkan perbedaan pemahaman sahabat pada perang Ahzab ketika Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah kalian melaksanakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Sebagian sahabat memahaminya secara maknawi, sehingga melaksanakan Ashar di perjalanan. Sebagian lain memahami secara tekstual dan hanya melaksanakan Ashar setelah tiba di Bani Quraizhah. “Keduanya tetap benar karena sama-sama dalam rangka taat kepada Nabi ﷺ,” jelasnya.
Ia juga mengangkat kasus hukum pada masa Khalifah Umar bin Khattab tentang pembunuhan yang dilakukan sekelompok orang terhadap satu orang. Umar memutuskan semua pelaku dihukum mati, meski tidak ada nash yang secara eksplisit menyebutkan hal itu. Putusan tersebut kemudian disepakati para sahabat besar seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, dan sejumlah fuqaha setelah mereka.
Lebih jauh, Dr. Abdul Wafi mengulas tentang perintah dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak selalu bermakna kewajiban, melainkan bisa bersifat sunnah, musytarak (mengandung kemungkinan), atau waqf (ditangguhkan maknanya). Contohnya perintah menulis utang-piutang, membaca basmalah ketika makan, menikah bagi yang mampu, serta menggauli istri setelah haid.
“Perbedaan mazhab adalah wajar, bahkan menjadi rahmat yang memperkaya khazanah Islam. Tugas kita bukan untuk memperdebatkan siapa yang benar dan salah, melainkan mengambil hikmah dari keluasan pandangan para ulama,” pungkasnya.
Penulis: M. Fadhil Ismayana
Editor: Faisal
Berikutnya:
Kemenhaj: Biaya Haji 2026 Turun