Mengulas Isra’iliyyat dalam Penafsiran Al-Qur’an

Mengulas Isra’iliyyat dalam Penafsiran Al-Qur’an Gambar Ilustrasi. By. AI

MUI-BOGOR.ORG – Apakah kisah-kisah para nabi yang kita kenal selama ini benar adanya, atau sebagian hanya cerita turun-temurun yang tak bersumber dari wahyu? Pertanyaan kritis ini mengemuka dalam perkuliahan Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI Kabupaten Bogor angkatan XIX bersama Dr. KH. Aim Zaimuddin, M.A., yang mengupas secara mendalam tentang Isra’iliyyat — kisah-kisah yang bersumber dari tradisi Yahudi dan Nasrani yang menyusup dalam penafsiran Al-Qur’an.

Pada pertemuan ke-11 PKU MUI Kabupaten Bogor, Minggu (28/9/2025), Kiai Aim Zaimuddin membuka tabir rahasia di balik kisah-kisah Isra’iliyyat yang sering kali beredar di kalangan umat Islam. Pimpinan Pesantren Lansia Darun Naim itu menegaskan, tidak semua riwayat Isra’iliyyat dapat ditolak mentah-mentah, namun juga tidak boleh diterima tanpa dasar.

Wakil Ketua MUI Kabupaten Bogor, Dr. KH. Aim Zaimuddin, MA., saat menyampaikan materi Ulumul Qur'an. Foto: Tim Digi MUI Kab. Bogor
Wakil Ketua MUI Kabupaten Bogor, Dr. KH. Aim Zaimuddin, MA., saat menyampaikan materi Ulumul Qur’an. Foto: Tim Digi MUI Kab. Bogor

Ia  memaparkan tiga kategori dalam menyikapi riwayat-riwayat Isra’iliyyat: Pertama, riwayat yang dapat diterima (Ṣaḥīḥ), yaitu yang memiliki bukti kebenaran dari syariat Islam, baik melalui penukilan Nabi Muhammad ﷺ maupun adanya syāhid (pendukung) yang menguatkannya.

Kedua, riwayat yang ditolak (Kādhib), yaitu yang jelas diketahui kedustaannya atau bertentangan dengan ajaran Islam.

Ketiga, riwayat yang didiamkan (Maskūt ‘Anhu), yakni yang kebenarannya tidak dapat dipastikan. Riwayat jenis ini tidak dibenarkan dan tidak pula didustakan, namun boleh diceritakan sebatas informasi. Sebagian besar dari kategori ini tidak mengandung manfaat yang berkaitan dengan masalah agama.

Lebih jauh, Kiai Aim juga menyoroti sejumlah kisah yang kerap diperluas melalui riwayat Isra’iliyyat tanpa sanad yang sahih, di antaranya:

Pertama, misteri pohon Nabi Adam di surga. Al-Qur’an hanya menyebutkan larangan untuk mendekati “pohon ini”, tanpa menjelaskan jenis pohonnya (QS. Al-Baqarah: 35, Al-A‘rāf: 19–22, Ṭāhā: 120). Namun, dalam riwayat Isra’iliyyat dikatakan bahwa pohon itu adalah gandum, anggur, atau tin.
K.H. Aim mengutip Imam Fakhruddīn ar-Rāzī dan Ibnu Jarīr ath-Thabarī yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang jenis pohon tersebut tidak memberi manfaat bagi umat dan tidak dijelaskan oleh Allah maupun Rasulullah ﷺ.

Kedua, kisah Yusuf dan Zulaikhā. Banyak ahli tafsir dan sejarawan berpendapat bahwa Nabi Yusuf A.S. menikah dengan Zulaikhā setelah kematian suaminya. Namun, sebagian besar pendapat ini bersumber dari kitab-kitab Ahlul Kitab (Isra’iliyyat). Ibnu Katsīr dan Al-Qurthubī menegaskan bahwa kisah tersebut tidak memiliki dasar kuat.

“Jika ada manfaat bagi kita dalam mengetahuinya, niscaya Allah telah menceritakannya,” ujar K.H. Aim mengutip penjelasan para ulama tafsir.

Ketiga, riwayat tentang Nabi Dāwud A.S. Beberapa riwayat Isra’iliyyat menodai kehormatan Nabi Dāwud dengan tuduhan yang tidak berdasar, seperti kisah Dāwud yang terpikat wanita bersuami hingga menyebabkan kematian sang suami.

Kiai Aim menegaskan, tidak ada satu pun hadis sahih yang mendukung kisah ini. Ia mengingatkan agar para kader ulama berhati-hati dan membatasi tafsir pada ayat-ayat Al-Qur’an (QS. Ṣād: 21–25) yang hanya menggambarkan ujian dan taubat Nabi Dāwud tanpa detail skandal.

Menutup pemaparan, Kiai Aim Zaimuddin menekankan pentingnya sikap tabayyun (klarifikasi) dalam memahami kisah-kisah tafsir.

“Jika mengkaji tafsir, jangan jadikan cerita-cerita Isra’iliyyat sebagai hujjah. Seharusnya kita tabayyun terlebih dahulu,” tegasnya.

Dengan pemahaman yang benar terhadap Isra’iliyyat, para kader ulama diharapkan mampu menjaga kemurnian tafsir Al-Qur’an dari kisah-kisah yang tak bersumber dari wahyu, sekaligus menumbuhkan tradisi ilmiah dalam membaca kitab suci dengan penuh tanggung jawab.

Penulis: Siti Masitoh
Editor: Faisal