Meneguhkan Peran Ulama dalam Membentengi NKRI dengan Aswaja

Meneguhkan Peran Ulama dalam Membentengi NKRI dengan Aswaja

MUI-BOGOR.ORG – Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) merupakan sistem keislaman yang utuh dan menyeluruh, mencakup tiga pilar utama, yaitu sistem keyakinan (system of believe and ritual), sistem pengetahuan (system of thought), dan sistem ideologi (system of ideology). Sistematika Aswaja bersumber dari Rasulullah SAW, kemudian diwariskan kepada Abu Musa Al-Asy’ari sebagai tata nilai, disusun secara sistematis oleh Abul Hasan Al-Asy’ari, dan dipraktikkan secara nyata oleh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, dalam bidang agama, sosial, politik, epistemologi, dan ekonomi.

Demikian diterangkan oleh Instruktur Nasional PKPNU, KH. Abdul Mun’im DZ, pada pertemuan kelima Pendidikan Kader Ulama (PKU) angkatan XIX MUI Kabupaten Bogor di Aula Balai Diklat Dharmais, Kecamatan Sukaraja, Ahad (3/8/2025). KH. Abdul Mun’im menyampaikan materi bertajuk “Strategi Ulama Nusantara dalam Memperjuangkan Ahlussunnah wal Jama’ah dan NKRI.”

KH. Abdul Mun’im DZ saat mengisi materi PKU angkatan XIX. Foto: Istimewa

Kiai Mun’im menambahkan, bahwa dalam bidang politik, terutama relasi antara agama dan negara seperti saudara kembar, agama sebagai pondasi, negara sebagai pelindung. Dalam konteks ini, agama tidak dapat dijalankan secara sempurna tanpa adanya negara yang menjamin kebebasan dan keamanan umat Islam. Ia mengutip pendapat Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Ghozali:

ٱلْمُلْكُ وَٱلدِّينُ تَوْءمَانِ فَٱلدِّينُ أَصْلٌ وَٱلْمُلْكُ حَارِسٌ

Artinya: Negara dan agama seperti dua sisi mata uang, agama sebagai pondasi dan negara sebagai pelindung.

Karena itulah, dalam Islam terdapat konsep Maqashid Syari’ah yang sangat relevan, yakni lima prinsip dasar syariat Islam yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu: menjaga agama (hifdzud dīn), menjaga jiwa (hifdzun nafs), menjaga harta (hifdzul māl), menjaga akal (hifdzul ‘aql), dan menjaga keturunan (hifdzun nasl).

Penulis buku “Benturan NU & PKI 1948-1965” tersebut, kemudian menjelaskan peran ulama dalam menghadapi tantangan zaman. “Ulama tidak cukup hanya menguasai ilmu keislaman, namun harus memiliki kedalaman spiritual, penjaga moral, memahami tradisi dan budaya lokal, dan memiliki kecakapan geopolitik,” terangnya.

Suasana perkuliahan PKU angkatan XIX. Foto: Tim Digital MUI Kab. Bogor

Dihadapan para peserta PKU angkatan XIX, Kiai Mun’im menekankan, bahwa seorang ulama harus memiliki sibghah atau karakter kuat, yang tercermin dalam keteguhan pendirian, kelenturan sikap, ketegasan tindakan, keberanian menanggung risiko, serta tanggung jawab atas kepemimpinan.

“Dengan karakter demikian, ulama akan mampu menghadapi lima tantangan utama zaman ini, yaitu ketegangan antar agama, benturan ideologi, pertarungan politik, persaingan ekonomi, dan pertarungan budaya. Untuk menjawab lima tantangan tersebut, ulama harus mengembangkan strategi melalui tiga pendekatan fikih, yaitu Fiqhul Ahkam (pendekatan normatif yang mengikat ke dalam), Fiqhud Dakwah (pendekatan dakwah persuasif yang merangkul pihak luar), dan Fiqhus Siyasi (pendekatan politik untuk mempengaruhi arah kebijakan),” beber penulis Fragmen Sejarah NU tersebut.

Suasana perkuliahan PKU angkatan XIX. Foto: Tim Digital MUI Kab. Bogor

Di samping itu, ia juga mengingatkan para kader ulama, bahwa bentuk penjajahan modern kini tidak lagi berupa senjata atau invasi militer, melainkan dalam bentuk informasi, opini, dan narasi global yang sering kali dijadikan alat untuk membelokkan arah perjuangan umat Islam. Bahkan, menurutnya, ada gejala umat Islam secara tidak sadar justru mempromosikan narasi yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti propaganda LGBT dan pluralisme yang membingungkan.

“Agar tidak terjebak ke dalam isu-isu seperti itu, saya merekomendasikan tiga langkah penting. Pertama, Ashlul Masā’il yaitu menelusuri asal-usul masalah dan siapa aktor di baliknya. Kedua, Tahlīlul Masā’il yakni menganalisis motif, tujuan, manfaat dan mudaratnya bagi umat dan bangsa. Ketiga, Baḥtsul Masā’il atau pembahasan secara hukum, budaya, dan politik. Dengan proses ini, para ulama akan memiliki landasan kuat dalam menyikapi persoalan kontemporer dan dapat menentukan apakah suatu isu layak dibahas atau justru dihindari,” jelas mantan Wasekjen PBNU tersebut. (sahrul-ed.anwr)