MUI-BOGOR.ORG – Hellenisme merupakan fase perkembangan peradaban dan filsafat Yunani setelah masa kejayaan polis, dimulai sejak wafatnya Aleksander Agung pada 323 SM hingga awal kekuasaan Romawi. Periode ini terbagi dalam tiga fase: masa kebebasan dan kekacauan pasca-Aleksander, masa dominasi Makedonia yang berakhir dengan penaklukan Romawi, dan masa kekuasaan Romawi yang ditandai keteraturan politik.
Penjelasan ini disampaikan Sekretaris Umum MUI Kabupaten Bogor, H. Irfan Awaluddin, M.Si., pada pertemuan keenam perkuliahan Pendidikan Kader Ulama (PKU) Angkatan XIX di Aula Balai Diklat Dharmais, Kecamatan Sukaraja, Sabtu (9/8/2025). Gus Irfan, sapaan akrabnya, mengenalkan materi kajian Filsafat Barat bertema Hellenisme.

Menurutnya, Hellenisme adalah masa ketika pemikiran Yunani berpadu dengan budaya Timur, melahirkan pandangan hidup yang menekankan kebahagiaan dan etika personal di tengah perubahan politik. Ia memaparkan tiga aliran filsafat utama yang berkembang pada periode ini, yaitu Epikureanisme, Stoisisme, dan Skeptisisme.
Epikureanisme
Aliran filsafat yang didirikan oleh Epicurus pada abad ke-4 SM ini mengajarkan pencapaian kebahagiaan melalui kesenangan yang bersifat internal dan tenang, seperti atarxia (ketenangan jiwa) dan aponia (kebebasan dari rasa sakit).
Epicurus berpendapat bahwa segala sesuatu di alam semesta ini terdiri dari atom-atom yang bersifat material yang bergerak dalam ruang kosong. Pemahaman ini membantu menghilangkan ketakutan akan campur tangan dewa atau takdir.
Bagi Epicurus, keinginan manusia terbagi menjadi tiga:
- Keinginan alamiah dan perlu, seperti makan.
- Keinginan alamiah dan tidak perlu, seperti hubungan seksual.
- Keinginan tidak alamiah dan tidak perlu, seperti kemewahan dan popularitas.
“Epicurus menekankan bahwa kesenangan sejati adalah ketenangan batin, dicapai dengan mengurangi keinginan, mengatasi ketakutan yang tidak perlu, dan menikmati kesenangan pikiran,” terang Gus Irfan.
Prinsip-prinsip Epicurus tersebut masih relevan hingga kini, bahwa ketenangan jiwa, pengendalian diri, dan pentingnya hubungan sosial dapat membantu mengatasi stres dan tekanan hidup di dunia modern.
Stoisisme
Aliran filsafat ini mengajarkan manusia tentang pengendalian diri dan ketenangan batin (penerimaan takdir). Pertama kali diajarkan oleh Zeno dari Citium (334–262 SM), aliran ini berkembang pesat melalui tokoh-tokoh seperti Cicero, Epictetus, Seneca, dan Kaisar Marcus Aurelius. Berbeda dengan Epikureanisme, Stoisisme mencari kebahagiaan melalui kebijaksanaan moral.
Beberapa contoh penerapan Stoisisme di kehidupan modern, diantaranya: tidak marah atau mengeluh saat hujan atau cuaca buruk. Tidak terpengaruh oleh komentar negatif, bersyukur atas hal-hal kecil, dan berpikir logis sebelum bereaksi.
Skeptisisme
Aliran filsafat ini dipelopori oleh Pyrro dari Elis (361–270 SM). Berasal dari kata Yunani skeptikoi yang berarti “pencari” atau “penyelidik”. Para skeptis meragukan klaim kebenaran dari Plato, Aristoteles, maupun aliran lainnya, dan berupaya mencapai hidup yang tenang.
Prinsip dalam filsafat ini mendorong kita untuk bersikap intelektual – kritis, ditandai dengan kecenderungan untuk mempertanyakan dan mencari bukti sebelum menerima sesuatu sebagai kebenaran.
Gus Irfan menekankan bahwa meskipun Filsafat Hellenisme berasal dari tradisi kuno yang non-Islam, nilai-nilai positifnya relevan dengan tradisi Islam, dan bisa kita terapkan di dunia modern.
“Kita bisa mengambil pelajaran seperti disiplin diri, pengendalian emosi, pengelolaan hawa nafsu, dan pencarian makna hidup, lalu memadukannya dengan nilai-nilai Islam sehingga menjadi kekuatan moral di era modern,” pungkasnya. (fadhil-ed.fw)






