MUI dan Sertifikasi Produk Halal, Refleksi Milad ke-48

MUI dan Sertifikasi Produk Halal, Refleksi Milad ke-48

Oleh: KH Sholahudin Al Aiyub, Ketua MUI Pusat Bidang Ekonomi Syariah dan Halal

Di benak umat Islam Indonesia, sertifikasi produk halal identik dengan MUI. Konotasi itu tidak muncul begitu saja. Penyebabnya, karena MUI-lah yang menginisiasi dan memulai sertifikasi produk halal, semenjak akhir 1980-an.

Saat itu, bergelombang cemoohan dan ejekan dari berbagai pihak kepada MUI. Di antaranya di Indonesia umat Islam merupakan mayoritas, kok dilakukan sertifikasi produk halal. Harusnya produk haram yang disertifikasi. Jangan-jangan itu hanya akal-akalan MUI saja untuk mencari peluang bisnis. Begitu kurang lebih tuduhan miring itu.

Tapi MUI tetap bergeming. Karena ada satu tujuan yang hendak dicapai, yaitu melindungi umat Islam //(himayatul ummah)// agar tidak mengonsumsi barang haram, atau diragukan kehalalannya. Dan sekaligus mendakwahkan pentingnya memastikan kehalalan produk yang akan dikonsumsi umat Islam.

Saat itu, para ulama di MUI sudah pada kesimpulan bahwa produk yang beredar di masyarakat banyak yang tidak diketahui kehalalannya. Penyebabnya karena bahan dan proses produksinya sulit diketahui. Diyakini, kondisi seperti itu akan terus terjadi, dan bahkan lebih parah, di masa-masa selanjutnya.

Bahan baku produk pangan di Indonesia banyak diimpor dari negara lain, yang belum tentu mengenal aturan halal-haram. Bahkan diduga kuat //(ghalabatuz zhan)// bahan tersebut tidak halal.

Misalnya gelatin yang banyak digunakan untuk memproduksi produk olahan. Bahan baku utamanya berasal dari tulang. Indonesia belum mampu memproduksi gelatin sendiri. Bukan karena kapasitas SDM anak bangsa yang belum mampu.

Lebih disebabkan tidak mencukupinya bahan baku pembuatan gelatin. Di Indonesia tulang sapi lebih banyak digunakan untuk bahan baku sop sehingga lebih efisien mengimpor dalam bentuk yang sudah jadi.

Di negara produsen gelatin, yang banyak digunakan untuk bahan gelatin adalah tulang babi. Karena selain alasan ekonomis, juga paling bagus untuk bahan baku gelatin. Jika pun menggunakan tulang sapi, besar kemungkinan tidak melalui penyembelihan secara syar’i sehingga gelatin yang dihasilkan diyakini tidak halal.

Jika gelatin ini digunakan sebagai bahan baku sebuah produk, maka produk tersebut menjadi tidak halal. Dan jika produk itu dikonsumsi umat Islam, maka dia telah mengonsumsi sesuatu yang haram.

Selain itu, proses produksi juga penting diketahui untuk menilai halal atau tidaknya sebuah produk. Lazimnya, yang tertera di kemasan adalah ingridien produk. Proses produksi tidak tercantum di kemasan, sehingga konsumen tidak mengetahuinya. Proses produksi termasuk kritis dari sisi kehalalan produk. Terutama bagi produk yang bahannya pernah tercemar najis //(mutanajjis)// dan harus dicuci secara syar’i.

Sekalipun bahan baku sebuah produk diyakini halal, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur, menggunakan, atau bersentuhan dengan bahan-bahan yang tidak suci atau tercampur dengan bahan haram. Dalam kondisi seperti itu, walaupun semua bahannya merupakan bahan yang halal dan suci, tapi karena proses produksinya tercampur atau bersentuhan dengan barang yang najis, dan tidak ada proses pensucian secara syar’i pada proses selanjutnya, maka produk tersebut tetap tidak halal dan haram dikonsumsi oleh orang Islam.

Misalnya kopi luwak. Yaitu kopi yang dimakan luwak dan kemudian biji kopi tersebut keluar bersama fesesnya. Kopi yang seperti itu bukan najis, sebagaimana feses luwak. Tapi //mutanajjis// (barang suci yang terkena najis) yang menjadi suci kembali setelah dilakukan pencucian secara syar’i. Pencucian ini merupakan proses produksi yang tidak akan diketahui konsumen. Padahal sangat penting untuk kehalalan kopi tersebut.

Kopi luwak seperti itu yang tidak melewati proses pencucian secara syar’i hukumnya haram, karena mutanajjis. Maka syarat kehalalan kopi luwak, selain harus tetap utuh, juga dalam proses produksi harus dicuci secara syar’i. Di sinilah pentingnya mengetahui proses produksi sebuah produk.

Produsen juga harus mematuhi standar mutu produksinya. Artinya selama memegang lisensi halal, produsen harus menggunakan bahan baku dan proses produksi yang sama. Jika ada perubahan, harus dilaporkan untuk dipastikan ulang kehalalannya.

Maka semenjak akhir 1980-an itu MUI mengambil tanggung jawab untuk mensertifikasi produk halal. Tujuannya tidak lain adalah untuk melindungi konsumen Muslim agar punya kepastian kehalalan produk yang akan dikonsumsi. Tanda halal yang ada di kemasan produk menjadi jaminan kehalalan produk tersebut, karena telah melewati serangkaian pemeriksaan kehalalan bahan baku dan proses produksinya.

Sertifikasi produk haram

Tuntutan agar sertifikasi dilakukan pada produk haram, bukan produk halal, sulit diterima nalar sehat. Anggapan bahwa dengan sertifikasi produk haram akan lebih simple, dengan asumsi produk yang haram jauh lebih sedikit dibanding produk halal, merupakan perkataan orang yang tidak faham fakta di lapangan.

Bagaimana mungkin mengetahui suatu produk itu haram atau halal tanpa pengujian bahan baku dan proses produksinya? Untuk menuruti jalan pikiran seperti itu harus dilakukan pengujian semua produk yang beredar di masyarakat. Lalu yang terbukti haram diberi tanda haram, sedang produk lain yang halal tidak diberi tanda sehingga produk yang beredar semuanya halal, meskipun tanpa ada tanda halal. Hanya produk tidak halal yang diberi tanda di labelnya.

Masalahnya, pengujian semua produk itu tentu membutuhkan biaya yang sangat besar. Siapa yang akan membiayainya? Apakah produsen mau membiayai pengujian produknya yang kemudian produknya itu dilabeli haram, karena ternyata terkategori haram. Oleh karenanya, jalan pikiran seperti itu sangat tidak logis. Lebih-lebih jika mengingat saat itu sertifikasi produk masih bersifat sukarela.

Urgensi sertifikasi halal

Sebagaimana disinggung di bagian sebelumnya, saat ini teknologi pembuatan produk pangan sudah sangat maju. Tidak banyak produk yang saat ini beredar cara memproduksinya menggunakan cara tradisional. Hampir semua produk pangan yang beredar di masyarakat saat ini diproduksi menggunakan teknologi canggih.

Tidak sedikit yang merupakan hasil reaksi kimiawi dengan kode-kode tertentu, sebagaimana lazim digunakan di laboratorium. Misalnya, untuk menambah rasa atau aroma tertentu pada produk pangan tidak harus menambahkan bahan sesungguhnya. Cukup ditambahkan bahan perasa (flavour) di dalamnya. Di kemasan, bahan flavour ini umumnya ditulis dengan kode tertentu. Tentu saja hal ini hampir mustahil difahami oleh konsumen awam. Oleh karena itu, sertifikasi produk halal menjadi sangat penting.

Sertifikasi halal ada alur proses tersendiri. Dimulai pendaftaran dengan menyertakan semua informasi terkait bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, dan proses produksi. Dokumen tersebut kemudian diperiksa oleh seorang ahli apakah informasi tersebut telah lengkap dan sesuai secara saintifik. Informasi dokumen tersebut menjadi dasar dilakukan verifikasi di lapangan. Auditor halal kemudian melakukan pemeriksaan secara detail dan teliti di lapangan.

Hasil pemeriksaan dilaporkan dalam sebuah berita acara, yang akan menjadi bahan pembahasan di komisi fatwa. Jika komisi fatwa menganggap bahwa produk tersebut, baik bahan ataupun proses, telah sesuai dengan kriteria halal, maka produk tersebut ditetapkan halal. Jika tidak memenuhi kriteria halal maka dikembalikan pada lembaga pemeriksa. Atas dasar ketetapan komisi fatwa ini dikeluarkan sertifikat halal.

Ekosistem halal

MUI telah mengambil tanggung jawab untuk melakukan sertifikasi halal, sebagai upaya //himayatul ummah//(melindungi umat) dari mengonsumsi pangan tidak halal. Secara teknis MUI membentuk ekosistem sertifikasi produk halal, yaitu dengan membentuk Lembaga yang bertugas melakukan pemeriksaan (yaitu LPPOM MUI) dan Lembaga yang menetapkan fatwa halal (yaitu komisi fatwa). Dua Lembaga ini dibentuk dari tingkat pusat sampai dengan tingkat kabupaten/kota.

Dua Lembaga ini memiliki otonomi dan independensi dalam menjalankan tugasnya. Tidak ada pihak manapun yang bisa mengintervensi keduanya, bahkan pimpinan MUI sendiri. Hal itulah yang menjadi landasan penting kepercayaan masyarakat pada sertifikat halal yang merupakan output dari proses sertifikasi produk halal.

Dua Lembaga yang punya kemandirian masing-masing seperti ini penting untuk dibentuk, karena pada kenyataannya sulit ditemukan orang yang ahli dalam bidang teknologi pangan dan di waktu yang sama juga seorang ulama yang paham secara mendalam tentang syariah Islamiyah. Begitu juga sebailknya. Karena itu diperlukan dua kelompok orang yang masing-masing mempunyai kepakaran di bidangnya. Kedua kelompok ahli tersebut saling membantu dalam menerbitkan sertifikat halal suatu produk.

Dalam menjalankan tupoksinya, LPPOM menerapkan Halal Insurance System (HAS). Yaitu standard system pemeriksaan bahan dan proses produksi, yang selalu diperbaharui (terakhir HAS 23000). Standar tersebut menjadi acuan LPPOM dalam menjalankan tugas pemeriksaan bahan dan proses produksi. Standar ini mengikat bagi LPPOM di seluruh Indonesia untuk menjalankan auditing. Pada perkembangannya, HAS 23000 telah dipakai oleh banyak lembaga sertifikasi halal di luar negeri.

Hal yang sama juga terjadi di Komisi Fatwa. Dalam penetapan fatwa, Komisi Fatwa menerapkan sistem dan prosedur penetapan fatwa //(manhaj al ifta),// yang mengikat bagi komisi fatwa se Indonesia dalam menetapkan fatwa halal. Yaitu prinsip menggunakan pendapat keagamaan yang lebih hati-hati (al-akhzhu bil-ahwath) dan keluar dari perbedaan pendapat di antara para ulama (al-khuruj min al-khilaf).

Sertifikasi produk halal saat ini

Apa yang telah diperjuangkan MUI semenjak akhir tahun 1980an sebagaimana dijelaskan di muka, ternyata menggelinding sedemikian rupa. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya sertifikasi halal semakin baik dari waktu ke waktu. Seiring dengan perubahan perilaku muslim yang peduli terhadap kehalalan produk yang dikonsumsinya.

Hal itu dengan sendirinya menaikkan permintaan (demand) produk halal, dan pada gilirannya “memaksa” para produsen untuk memenuhinya. Hingga pada akhirnya halal menjadi //positive advantage// bagi sebuah produk.

Kondisi tersebut semakin menguat, sehingga dipandang perlu keterlibatan Pemerintah dalam memfasilitasi proses sertifikasi halal. Maka lahirlah UU NO 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). UU ini merupakan babak baru dalam perjalanan sertifikasi halal di Indonesia.

Secara garis besar UU ini mengatur tentang kewajiban (mandatory) secara bertahap, keterlibatan pemerintah dalam fasilitasi administrasi, dilibatkan unsur masyarakat dalam mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal, pengawasan, dan penetapan kehalalan.

Kewajiban (mandatory) sertifikasi halal merupakan perubahan yang paling krusial dari UU JPH tersebut, menggantikan ketentuan sebelumnya yang bersifat sukarela (voulentary). Ketentuan wajib sertifikasi ini yang menjadi landasan argument pentingnya Pemerintah ikut “cawe-cawe” dalam proses sertifikasi halal. Harapannya bisa menjadi penguatan terhadap perlindungan konsumen Muslim dalam kehalalan produk.

Sedangkan dibukanya partisipasi masyarakat dalam pendirian LPH, dimaksudkan untuk memperkuat fungsi pemeriksaan yang melibatkan Perguruan Tinggi dan Ormas Islam. Sedangkan penetapan fatwa halal masih tetap di MUI dimaksudkan untuk adanya kepastian hukum dan keberterimaan yang lebih kuat sertifikat halal.

Membuka peluang fatwa halal di luar MUI diyakini akan membuka kotak pandora ketidakpastian hukum dan instabilitas. Sebab spektrum perbedaan pandangan keagamaan di Indonesia relative terbuka lebar.

Jika produk A dipandang halal oleh ormas B sedangkan ormas C atau lainnya menyatakan haram, maka akan terjadi kegaduhan. Sebab sertifikat halal yang dikeluarkan Pemerintah harus berdasar fatwa halal. MUI yang didalamnya ada pimpinan unsur semua ormas, bisa mempunyai daya terima yang lebih tinggi.

Di UU No 33 tentang JPH MUI mempunyai peran di tiga hal yaitu pertama sertifikasi auditor halal. Kedua, penetapan kehalalan. Dan ketiga, akreditasi LPH.

Namun perkembangannya, kewenangan tersebut disunat melalui UU Ciptakerja hanya tinggal satu peran saja, yaitu penetapan kehalalan produk. Di UU Ciptaker ini ada satu perubahan yang substansial, yaitu dibukanya mekanisme //self declare. //

Yaitu proses sertifikasi halal yang tidak melalui jalur regular, yang diperuntukkan bagi produk yang semua bahannya sudah memiliki sertifikat halal atau masuk dalam kategori positif list. Proses sertifikasinya tidak melalui tahap pemeriksaan di LPH, tapi oleh pendamping halal langsung dibawa ke Komisi Fatwa untuk ditetapkan fatwa.

Kemudian peran MUI yang tinggal satu tersebut dikurangi lagi melalui Perpu, yang menetapkan adanya Lembaga Fatwa di bahwah Kemenag. Lembaga ini menetapkan fatwa halal untuk produk //self declare// dan produk reguler yang penetapan halalnya di komisi fatwa MUI melewati waktu yang ditetapkan, yaitu tiga hari.

Hal yang subastansial lagi di Perpu adalah masa berlaku sertifikat halal yang tidak dibatasi. Artinya berlaku selamanya, selagi tidak ada perubahan bahan dan proses produksi. Selain berubahnya logo halal baru yang sampai dengan 2026 menjadi opsi pilihan selain logo yang lama.

Penutup

Dari uraian di atas terlihat bahwa upaya MUI untuk melakukan perlindungan umat (himayatul umah) agar tidak mengonsumsi produk haram atau syubhat bisa dibilang berhasil. Inisiatif MUI pada akhir 1980 dalam mengkampanyekan dan mendakwahkan pentingnya produk halal, dapat diterima masyarkat dan terus menguat dari waktu ke waktu.

Masuknya Pemerintah untuk memperkuat proses sertifikasi halal semakin mempertegas keberhasilan itu. Namun demikian tidak dimungkiri bahwa perubahan UU No 33 tahun 2014 tentang JPH melalui UU Cipataker dan Perpu dipahami sebagai upaya sistematis dari Pemerintah untuk mengambil alih kewenangan sertifikasi halal dari MUI.

Apa yang terjadi memang paradoks dengan upaya demokratisasi di negeri ini, yang di antara cirinya adalah mengurangi peran Pemerintah dalam urusan publik. Pemerintah berperan sebagai regulator saja. Kesan pengambil alihan kewenangan ini tidak bisa dielakkan, terlihat dari bunyi UU yang telah disebut di atas.

Yang lebih aneh adalah dibentuknya Lembaga Fatwa keagamaan di dalam Pemerintah. Ini babak baru dalam diskursus hubungan negara dan agama. Selama ini Pemerintah meyakinkan ormas Islam bahwa negara ini bukan negara agama. Buktinya negara tidak masuk ke wilayah substansi agama. Negara masuk dalam rangka fasilitasi dan administrasi. Tapi keputusan Perpu mementahkan begitu saja apa yang telah dibangun Pemerintah selama ini. Bisa saja ini hasil kekurang cermatan dalam menyiapkan substansi isi perpu.

Yang menjadi perhatian MUI adalah bahwa proses sertifikasi halal jangan sampai mengurangi substansi kehalalan. Jangan sampai ditarik ke ranah administratif saja sehingga outputnya benar-benar halal, bukan “halal-halalan”. Sebab jika itu terjadi maka kepercayaan masyarakat terhadap sertifikat halal bisa menurun dan bahkan hilang.

Di luar itu semua, MUI merasa apa yang telah diupayakan mulai akhir 1980-an, saat ini telah berhasil dengan sangat baik. Dan dalam konteks sertifikasi produk halal, MUI telah terbukti sebagai pionir; melahirkan, menumbuh kembangkan, lalu kemudian direlakan untuk diambil alih Pemerintah.

Di usia MUI ke-48 tahun, apa yang terjadi di sektor produk halal ini bisa menjadi bahan muhasabah, khususnya menginisiasi gerakan //himayatul ummah// (perlindungan umat) dan //taqwiyatul ummah// (pemberdayaan umat) sehingga di masa mendatang peran MUI bisa lebih dirasakan langsung oleh masyarakat. Wallahu a’lam

Papua, pertengahan Juli 2023

Sumber: https://mui.or.id/berita/55104/mui-dan-sertifikasi-produk-halal-refleksi-milad-ke-48/