MUI-BOGOR.ORG, Sukaraja – Berbicara tentang penyebaran Islam di Tatar Sunda, bahwa Cirebon lah pertama kali masuk ke pangkuan Islam yang terpengaruh oleh ajaran Sunan Gunung Djati dari Kerajaan Demak sekitar abad ke 14 akhir atau awal abad ke 15 Masehi. Dari Cirebon Islam menyebar ke seluruh Jawa Barat, seperti ke Banten tahun 1522 dan ke Sunda Kalapa tahun 1527. Penyebaran Islam terus meluas sampai ke pesisir pantai utara lalu ke daerah Jawa Tengah, hingga mulai masuk ke daerah pedalaman, dari utara ke selatan, sampai akhirnya masuk ke Bogor.
Pernyataan itu disampaikan oleh Sejarawan Bogor, Hendra M. Astari, pada pekan ke-9 Pendidikan Kader Ulama (PKU) Angkatan ke 18, di Aula Wisma Dharmais Sukaraja, Sabtu (29/9/2024).
Kang Hendra menambahkan, hal itu bisa dibuktikan karena tidak ditemukannya jejak atau peninggalan Islam pada masa Kerajaan Pakuan Pajajaran hingga runtuhnya tahun 1579, sekalipun dalam naskah Carita Parahyangan disebutkan, bahwa keruntuhan Kerajaan Pakuan Pajajaran salah satunya disebabkan karena banyaknya penduduk yang sudah memeluk Islam.
Saat Kerajaan Banten berhadapan dengan VOC, lanjut Kang Hendra, salah satu Raja yang paling berani berperang melawan VOC ialah Sultan Ageng Tirtayasa, hingga ia tertangkap dan menyerah tahun 1682. Kemudian pada 17 April 1684 dibuatlah perjanjian baru dengan VOC, dimana salah satu poin perjanjiannya ialah wilayah Cisadane sebelah Timur dikuasai VOC, sementara Cisadane sebelah Barat masih milik Kerajaan Banten. Setelah perjanjian itu disepakati, tahun 1687 VOC melakukan ekspedisi pertama dari Batavia ke Bogor terus ke wilayah selatan yang dipimpin oleh Sersan Schipio.
Kang Hendra mengatakan, bahwa Islam mulai ada di Bogor ketika dibangun pemukiman pertama di Kampung Baru (kini Tanah Baru) tahun 1690 yang didirikan oleh seorang Letnan beragama Islam bernama Tanujiwa yang berasal dari Sumedang. Lebih jauh ia menjelaskan, ketika Sultan Ageng Tirtayasa menyerah kepada VOC, putra-putranya masih terus berjuang, diantaranya ialah Pangeran Purbaya dan Pangeran Sake.
“Pangeran Purbaya ialah anak keduanya yang melakukan gerilya ke Citeureup, Cikeas, hingga ke Gunung Gede sampai akhirnya menyerah kepada VOC. Sementara Pangeran Sake (nama aslinya Muhammad Shoheh) ialah putra keduanya sebelum terakhir (pangais bungsu) yang menetap di Citereup hingga wafatnya, bahkan makam/kuburannya juga ada di Citereup sampai sekarang, dan keturunannya banyak menyebar,” beber Kang Hendra.
Ia melanjutkan, bahwa sosok Pangeran Sake adalah pangeran yang berani melawan VOC bahkan sampai ditangkap lalu dibuang ke Sri Lanka tahun 1740, lalu dikembalikan lagi ke Citeureup.
“Pangeran Sake kemudian merubah jalan perjuangannya tidak dengan mengangkat senjata lagi, tapi lebih kepada dakwah Islam. Ia sosok yang luar biasa, perannya di Bogor begitu dominan, masyhur tidak hanya oleh orang Islam, namun juga oleh kalangan umat Tionghoa, saking dihormatinya umat Tionghoa membuat altar khusus Pangeran Sake di klentengnya,” terang Kang Hendra.
Dalam banyak cerita yang beredar, Kang Hendra menceritakan, bahwa Pangeran Sake dihormati dan disegani oleh umat Tionghoa karena ia melindungi orang-orang Tionghoa saat terjadi insiden “Geger China” sekitar tahun 1740, yaitu aksi pembunuhan masal (genosida) di Batavia oleh orang-orang Belanda yang jumlah korbannya ribuan, bahkan mayatnya dibuang ke Sungai Bangke (kini disebut Kali Angke, Jakarta). Saat itu terjadi eksodus orang-orang Tionghoa dari Batavia ke wilayah Bogor, seperti ke Cileungsi, Ciampea, dan Citeureup.
Setelah berdirinya Kota Bogor, termasuk dibangun Istana Bogor tahun 1744, kemudian di tahun 1745 dibentuklah distrik-distrik seperti Dramaga, Caringin, Kampung Baru, Balugur, sampai Cisarua yang dipimpin seorang Demang. Pada tahun 1745 inilah menjadi cikal bakal Kampung Baru berubah menjadi Kabupaten Bogor.
“Pada awalnya jabatan Demang diberikan kepada keluarga Letnan Tanujiwa dari Sumedang, namun VOC menganggap kurang kompeten, akhirnya dipilih dari keturunan keluarga Wiratanudatar II berasal dari Cianjur, yang bernama Eyang Wiranata,” tutur Kang Hendra.
Agama Islam di Bogor kemudian berkembang semakin besar, dan berkembang juga coraknya, pertama dari Banten (Pangeran Sake), lalu Sumedang (Letnan Tanujiwa), ditambah corak dari Cianjur (Wiratanudatar).
“Para keturunannya akhirnya berkawin mawin menjadi kaum priyayinya Bogor. Islam semakin berkembang lagi saat berdatangan para ulama dari Banten, seperti Mama Falaq, dan Mama Bakom, serta pemerintahan pindah dari Kampung Baru ke Sukahati (kini Empang) tahun 1761. Di Empang inilah syiar Islam semakin maju, diantaranya dengan didirikannya Masjid At-Thohiriyah yang berlokasi di Jalan Raden Aria Wiranata, Kelurahan Empang, Kota Bogor,” pungkas Kang Hendra. (fw)