
Oleh : Dr. M. Taufik Hidayatulloh, M.Si (Sekretaris Komisi Penelitian MUI Kab. Bogor/Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Peristiwa Ashhabul Ukhdud merupakan sebuah kejadian nyata yang terjadi di Najran Yaman, jauh sebelum kelahiran Rasulullah SAW, terjadi kira-kira pada 523 Masehi. Memberikan kita pandangan mengerikan genosida terhadap 20.000 orang berdasar pendapat Wahbah Az Zuhaili, yang diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Al Buruj, ayat 4-9.
Para pembantainya, mewakili ambisi raja kerajaan Himyar bernama Yusuf bin Syarhabiil yang bergelar Dzu Nuwas. Kata “dzu” dalam bahasa Arab berarti ‘pemilik’, sedangkan “nuwaas” adalah sebutan khas Yahudi ortodoks. Sang raja memberikan dua pilihan pada kaum mukminin (beragama Nasrani): memeluk Yahudi atau menghadapi kematian dalam parit yang dipenuhi lautan api.
Seluruhnya, baik lelaki maupun perempuan, dewasa maupun bayi, dimasukkan satu per satu untuk dibakar. Buya Hamka dalam Tafsir Al Azharnya menggambarkan kekejaman ini sebagai bentuk penghancuran iman seseorang.
Peristiwa tragis di masa lalu tersebut demikian dahsyat sehingga banyak yang menganggap kecil kemungkinan untuk terjadi kembali di masa selanjutnya. Namun tak dinyana, peristiwa baru-baru ini membuka pintu untuk membandingkan keadaan konflik ke masa modern di Gaza sejak 7 Oktober 2023.
Kisah paralel yang mencuatkan rasa kekhawatiran tingkat tinggi ketika melihat pemerintah Zionis Israel mengurung rakyat Palestina di Jalur Gaza dengan tembok (pemisah benteng modern), kemudian menyerang mereka dengan roket, rudal, dan bom fosfor tanpa pandang bulu.
Istimewanya peristiwa ini terjadi di sebuah lokasi bernama ‘ukhdud’. Ini diartikan berlainan di antara ahli tafsir, ada yang mengatakan parit (Ibnu Katsir), ada yang menyebutkan lubang (Quraish Shihab). Sedang mufasir lain (Al Qurtubi) mengartikannya sebagai celah besar memanjang di tanah seperti parit.
Namun demikian, terdapat banyak persamaan kisah tersebut, dahulu (di Yaman) dengan sekarang (di Palestina), yaitu sama-sama terjadi di celah besar sebuah wilayah yang lebih dikenal sebagai “jalur” Gaza, menghadapi genosida dengan hujan api (saat ini melalui bom fosfor), serta disaksikan dengan suka cita pihak angkara, sebagaimana raja Dzu Nuwas yang merayakan penghancuran tersebut dengan suka cita dan rasa bangga. Menyajikan kembali dalam format kekinian sebuah lakon genosida serupa di masa sekarang yang tadinya jauh dari bayangan dalam sebuah tempat bernama ukhdud.
Dalam konteks ini, kita perlu bertanya, seperti raja Dzu Nawas yang menenggelamkan dirinya bersama sang kuda ke laut, apakah nasib Zionis Israel akan berada pada jalur menghancurkan dirinya sendiri? Sejarah selalu menunjukkan bahwa kekejaman apapun atau penindasan di manapun, pasti akan mendapatkan berbagai tanggapan.
Kini semua orang akan menjadi saksi, apakah tanggapan terhadap penindasan Zionis akan seperti yang dialami oleh Dzu Nuwas yang dihancurkan oleh pasukan (operasi perang Kerajaan Habasyah) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hisyam atau diluluhlantakkan oleh sebab yang lain?
Sambil menimbang untuk melakukan tindakan yang dapat segera dilakukan, peristiwa Ashhabul Ukhdud dan konteks konflik modern memberikan kita pelajaran berharga tentang bahaya kekejaman dan kekejian. Dalam hal di mana nilai kemanusiaan sering diabaikan, penting bagi kita semua untuk bersuara menentang kebrutalan dan menuntut pertanggungjawaban.
Wallahu a’lam bi ash-shawab