MUI-BOGOR.ORG – Dalam khazanah keilmuan Ushul Fikih, penetapan hukum Islam merujuk pada lima sumber pokok kaidah universal yang telah disepakati para ulama. Salah satunya kaidah “al-umuuru bimaqaashidihaa” yang berarti setiap perkara itu bergantung pada maksud (niat) nya.
Kaidah ini bersumber dari sabda Nabi Muhammad ﷺ: “Innamal a‘mālu binniyyāt, wa innamā likulli imri’in mā nawā” “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kaidah tersebut menjelaskan bahwa niat menjadi penentu nilai hukum perbuatan, nilai pahala dan pembeda antara ibadah dan ‘aadat (kebiasaan) dari amal perbuatan yang dilakukan oleh umat islam. Misalnya, aktivitas mandi dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk menghilangkan hadats besar, namun dianggap ´aadat (kebiasaan) jika hanya diniatkan untuk menyegarkan badan.
Sebelum membahas contoh dan kasus untuk penerapan kaidah ini lebih jauh, terlebih dulu sebaiknya pembahasan ini diawali dengan definisi niat itu sendiri. Dalam kajian Ushul Fikih yang disampaikan pada Pendidikan Kader Ulama Angkatan ke-19, Wakil Ketua Umum MUI Kabupaten Bogor, KH. Ahmad Ibnu Athoilah memaparkan dua definisi tentang niat.

Pertama, niat adalah قصد العمل و إرادته والبعاس النفس إليه (Niat melakukan suatu tindakan, kemauan untuk melakukannya, dan motivasi untuk melakukannya). Kedua, niat adalah قصد الشيء مقترنا بفعله (Bermaksud akan sesuatu disertai dengan melakukannya).
Dalam fikih, niat diwajibkan kepastiannya pada perkara-perkara yang tasyabbuh (mirip)antara ibadah dan ‘aadat seperti pada contoh aktivitas mandi di atas, menjadi ibadah atau hanya ‘aadat tergantung pada niatnya.
Imam al-Ghazālī dalam Kitab Ihya Uluumuddin menyebut niat sebagai ruh amal. Amal tanpa niat bagaikan jasad tanpa jiwa. Sedangkan Imam Nawawi menegaskan dalam Kitab al-Majmū‘ bahwa tidak ada ibadah yang sah tanpa niat. Imam Subki menambahkan bahwa niat berfungsi untuk “membedakan antara ibadah dan adat, serta antara satu ibadah dan ibadah lain.”
Artinya, niat menjadi titik tolak dalam setiap penetapan hukum syar‘i. Menurut Imam Syuyuthi separuh urusan ibadah kembali pada kaidah al-umuuru bimaqaashidiha. Masalah-masalah fikih selalu dikembalikan kepada kaidah ini.
Lalu bagaimana penerapan kaidah ini dalam perkara ibadah dan keseharian umat islam? Seperti dalam persoalan bagaimana hukum membaca Al-Qur’an bagi wanita haid/nifas atau seseorang dalam keadaan hadats besar?
Dalam Kitab Syarah al Mahalli dan Kitab al Minhaj dihalalkan bagi wanita haid/nifas membaca alquran dengan tujuan dzikir. Keterangan tersebut berbunyi “ ينتحلّ اذكاره لا بقصد قرآن” atau halal dzikirnya dengan catatan tidak bermaksud sebagai bacaan Al-Qur’an.
Hal ini menegaskan bahwa penilaian suatu amal kembali kepada niatnya karena beberapa bacaan dzikir dan doa berasal dari ayat Al-Qur’an seperti lafadz Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun yang diucapkan ketika mendapat suatu musibah atau bacaan ayat kursi yang seringkali dibaca umat islam dalam keadaan takut yang juga berasal dari Al-Qur’an. Keduanya boleh diucapkan dengan niat dzikir oleh wanita haid/nifas namun tidak diperbolehkan jika diniatkan membaca Al-Qur’an.
Maka dari uraian kaidah dan definisi niat diatas dapat disimpulkan bahwa niat adalah ruuh suatu amal, fondasi hukum dan spiritual bagi umat Islam. Amal yang kecil dapat bernilai besar dan berpahala jika disertai niat yang benar, dan amal baik bisa saja gugur bila niatnya salah/rusak.
Dengan demikian, setiap umat Islam dituntut untuk menyadari dan menata niat dalam setiap perbuatannya, agar seluruh aktivitas hidupnya bernilai ibadah di sisi Allah Ta‘ala. Wallahu a’lam bis shawab.
Referensi:
- Kitab Ihya Uluum ad-Din
- Kitab Al-Majmū
- Kitab Syarah Al Mahalli
- Kitab Al Minhaj
Editor: Faisal Penulis: Nur Indah Sumber: YouTube MUI Kabupaten Bogor






