Salam Nabi Ibrahim dan Filosofi Jempol

Salam Nabi Ibrahim dan Filosofi Jempol

MUI-BOGOR.ORG – Dunia semakin kompetitif, relasi antar manusia sering kali menyusut menjadi sekadar pertukaran informasi atau uang. Ini menandakan interaksi sosial menjadi transaksional, alih-alih personal. Namun, jika kita menengok kembali ke akar tradisi agama sejak zaman dahulu kala menetes menjadi budaya lokal, kita akan semakin menemukan bahwa nilai-nilai yang luhur tersebut tetap relevan untuk membangun relasi yang lebih bermartabat.

Akar tradisi agama dimaksud tergambar jelas dalam Al Qur’an, saat Nabi Ibrahim AS kedatangan tamu. Dalam QS. Adz Dzariyat ayat 24 sampai ayat 26, disebutkan bahwa para malaikat datang menyapa Nabi Ibrahim AS dengan salam, dengan redaksi tulisan “Salaman”. Sang nabi pun tidak hanya membalas dengan ucapan salam yang lebih baik (dalam redaksi “Salamun”), tetapi juga menyambut mereka dengan jamuan terbaik berupa daging anak sapi yang gemuk.

Dari berbagai tafsir para mufassir, di antaranya Ibnu Katsir dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah ditemukan bahwa balasan salam Nabi Ibrahim AS menggunakan bentuk jumlah ismiyyah (kalimat nominal), yang bermakna lebih langgeng dan penuh penghormatan, dibanding salam tamu yang menggunakan jumlah fi’liyah (kalimat verbal). Hal ini mengajarkan bahwa penghormatan tidak cukup hanya dengan ucapan, tetapi perlu ditunjukkan melalui tindakan nyata yang penuh penghargaan. Dan Islam telah mengajarkan bahwa membalas penghormatan dengan yang lebih baik adalah keutamaan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An Nisa ayat 86, “Jika kalian mendapatkan teguran (baik), balaslah dengan tegur sapa yang lebih baik”

Nilai-nilai luhur semacam ini tidak hanya hidup dalam kitab suci, tetapi juga mewujud dalam praktik sosial masyarakat kita melalui berbagai simbol dan gesturnya. Menariknya, nilai-nilai luhur ini tidak berhenti sebagai ajaran teologis semata. Ia bertransformasi menjadi budaya dalam bentuk gestur sekecil jempol yang menjadi ciri khas masyarakatnya. Dalam masyarakat Jawa, Sunda dan beberapa daerah lain di Indonesia, menunjuk dengan telunjuk dianggap kasar. Sebagai gantinya, masyarakat menggunakan jempol untuk menunjuk arah atau dalam mempersilakan orang lain.

Jempol dalam tradisi pada umumnya di Indonesia ketika digunakan sebagai alat tunjuk adalah simbol kesantunan. Ia tidak hanya menggantikan telunjuk yang menusuk, tapi juga melambangkan penghargaan. Sejatinya tradisi yang melambangkan sikap batin masyarakat yang tidak ingin merendahkan orang lain.

Dalam konteks global, jempol dikenal sebagai simbol universal untuk sesuatu yang “berkualitas”, namun dalam budaya Nusantara, maknanya lebih halus dan menghormati. Jempol yang ada di depan mata kita selalu mengingatkan akan pentingnya kualitas input, proses, output dan outcome dalam pekerjaan. Dalam konteks lokal, ia adalah bagian dari budaya turun temurun dari sebuah tradisi sosial yang menjunjung tinggi rasa hormat antar sesama. Dengan kata lain, penggunaan jempol ini memiliki makna yang lebih dalam karena terkait erat dengan budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia.

Simbol-simbol berupa salam dan jempol, sebenarnya mengajarkan satu nilai penting bahwa memuliakan orang lain adalah fondasi relasi yang sehat. Kiai Masyhuri Syahid, seorang tokoh yang dikisahkan Gus Dur sebagai “Kiai Dolar”, bahkan menafsirkan kata tahiyyah (penghormatan) dalam QS. An Nisa ayat 86 sebagai bentuk pelayanan dalam bisnis. Menurutnya, pelanggan yang membeli produk kita adalah tamu yang harus disambut bukan hanya dengan senyum, tapi juga dengan pengalaman terbaik. Penghormatan bukan slogan, tapi service excellence. Di sini service excellence bukan sekedar memberikan pelayanan yang baik, tetapi lebih jauh memberikan pelayanan yang melebihi standar yang ada.

Gagasan ini sejalan dengan pendapat Ron Kaufman, konsultan layanan global terkemuka, di mana kliennya merupakan perusahaan global seperti Singapore Airlines, Marina Bay Sands, Canon, Federal Express, Citibank, Johnson & Johnson, Microsoft, Panasonic, dan ExxonMobil menyebutkan bahwa service excellence adalah bentuk “meninggikan pengalaman pelanggan hingga menyentuh aspek emosional dan spiritual”. Dalam bukunya Uplifting Service (2015), Kaufman menyebut pelayanan unggul adalah seni memperlakukan orang lain seakan mereka adalah mitra kehormatan, bukan sekadar konsumen semata. Pelanggan bukan objek, tetapi stakeholder yang dimuliakan.

Salam Nabi Ibrahim AS dan filosofi jempol dalam budaya Nusantara bukan sekadar kebiasaan, tapi cerminan nilai luhur untuk memuliakan orang lain. Dalam kehidupan sosial dan ekonomi, ini berarti menempatkan semua pengguna jasanya seperti pelanggan, pemasok, dealer, mitra, bahkan pesaing diberikan sebuah pengalaman untuk merasakan pelayanan terbaik. Jika nilai “jempolan” ini menjadi dasar sikap kita, maka pelayanan tidak lagi sekadar tugas, melainkan wujud ketulusan yang akan menumbuhkan keberkahan semua pihak. Semoga. Wallahu a’lam bi as shawab

Dr. M. Taufik Hidayatulloh, M.Si
Penulis: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor/Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)