Dunia Pendidikan Gusar: Kontroversi Legalitas Alat Kontrasepsi bagi Remaja

Dunia Pendidikan Gusar: Kontroversi Legalitas Alat Kontrasepsi bagi Remaja

MUI-BOGOR.ORG – Sepekan terakhir, insan pendidikan Indonesia sedang gusar dan geram dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaaan Undang Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Saat ditelusuri lebih detail, terdapat pasal yang meresahkan, yaitu pasal 103 ayat (4) poin (e) tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi anak sekolah dan remaja.

Substansi yang diatur dalam PP Nomor 28 tahun 2024 di antaranya berkaitan dengan upaya kesehatan sistem reproduksi pada usia sekolah dan remaja. Pada Pasal 103 ayat (4) dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi  yang diberikan untuk anak usia sekolah dan remaja paling sedikit meliputi : a. deteksi dini penyakit atau scrining; b. pengobatan; c. rehabilitasi; d. konseling; dan e. penyediaan alat kontrasepsi. Pasal inilah yang menimbulkan pertentangan di masyarakat luas karena berpotensi membuka ruang pergaulan bebas di kalangan pelajar dan remaja.

Pemerintah ‘Kecolongan’

Penyediaan alat kontrasepsi kepada anak usia sekolah dan remaja merupakan bentuk ‘kecolongan’ pemerintah terhadap upaya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam melegalkan pergaulan bebas di luar nikah dengan dalih kesehatan reproduksi.

Bentuk-bentuk pergaulan bebas tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa dan nilai—nilai agama yang dianut bangsa ini. Terlebih, pelanggaran terhadap pergaulan bebas juga diancam hukuman pidana karena melanggar UU KUHP tentang Tindak Pidana Kesusilaan.

Penyusunan PP Nomor 28 tahun 2024 pastinya melibatkan banyak pihak, sehingga tidak mungkin klausul penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja itu muncul secara tiba-tiba. Alih-alih pemerintah menguatkan pendidikan karakter, dengan masuknya klausul ini justru akan mendegradasi pendidikan karakter di lingkungan sekolah, kalangan pelajar dan remaja.

Dengan masuknya klausul ‘menyesatkan’ ini patut dicurigai ada penyusup yang dengan sengaja ingin merusak generasi bangsa Indonesia. Seharusnya negara tidak tersandera dan terjebak oleh berbagai manuver pihak-pihak pendukung ideologi free-sex yang menyusup ke pemerintah. Negara dan pemerintah harus menjadi benteng kokoh dalam menjaga generasi muda agar tidak terkontaminasi berbagai ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Dunia Pendidikan Gusar

Dunia pendidikan merasakan kegusaran bahkan keprihatinan yang mendalam, dengan respon dari berbagai pihak atas terbitnya PP ini. Berbagai kalangan insan pendidikan Indonesia menilai jika PP ini diberlakukan maka akan mengancam runtuhnya nilai-nilai budaya dan agama yang selama ini dibangun dan dikuatkan. Dunia pendidikan kita memang memiliki pekerjaan rumah yang berat dalam mencegah perilaku hubungan bebas di kalangan pelajar.

Tahun 2022 Dinas Pendidikan Kota Bandung pernah merilis hasil survey perilaku pergaulan bebas kepada pelajar. Dari 60 responden 56 persen penyatakan pernah melakukan hubungan badan (sumber: Repubika, 07/07/2022). Selain data tersebut, fenomena pergaulan bebas di kalangan pelajar dan remaja bagaikan gunung es, yang nampak terlihat sedikit tapi realitasnya begitu banyak, apalagi terjadi di kota-kota besar termasuk Bogor sebagai kota penyangga ibu kota.

Kehadiran PP Nomor 28 tahun 2024 menjembatani pelegalan hubungan bebas di kalangan pelajar. Karena yang dipahami dari klausul pada Pasal 103 bahwa penyediaan alat kontrasepsi menjadi bentuk edukasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama.

Model edukasi dengan memberikan alat kontrasepsi ini seyogyanya mengadopsi bentuk-bentuk yang dilakukan oleh dunia Barat yaitu bentuk CSE (Comprehensive Sex Education), dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur budaya dan agama.

Perbaiki Regulasi, Perkuat Pendidikan Agama dan Budi Pekerti

Penanganan pergaulan bebas di kalangan anak usia sekolah dan remaja ini menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun masyarakat. Oleh karena itu, kemunculan klausul yang memfasilitasi pemberian alat kontrasepsi sangat tidak mendukung upaya di atas, justru akan memperparah kondisi pendidikan dan pergaulan anak bangsa. Sehingga, kami menuntut dengan tegas kepada pemerintah untuk menghapus dan merevisi PP Nomor 28 tahun 2024 khususnya Pasal 103.

Penghapusan klausul tersebut merupakan bagian dari mengilangkan kemudharatan yang akan ditimbulkan. Dalam perspektif hukum Islam terdapat  kaidah fiqhiyah “Adh-Dhararu Yuzaal” yang artinya kemudharatan harus dihilangkan.

Pemberian alat kontrasepsi kepada anak usia sekolah dan remaja jelas-jelas akan banyak menimbulkan kemudharatan jangka panjang, terutama merusak tatanan pergaulan. Sementara itu, Islam sendiri memiliki batasan-batasan pergaulan terutama antara lawan jenis, terlebih pergaulan yang mengarah pada pergaulan bebas seperti praktik perzinaan dengan peringatan yang sangat tegas dalam firman-Nya:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra : 32)

Ide dan tuntutan penghapusan klausul pada Pasal 103 PP Nomor 28 Tahun 2024 sudah sangat tepat dan menjadi upaya mengantisipasi kerusakan yang akan ditimbulkan di masa yang akan datang, terutama kerusakan moral dan tatanan kehidupan sosial, nilai budaya dan nilai agama.

Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap masalah ini telah disampaikan oleh KH. M. Cholil Nafis, Ph.D. sebagai Ketua MUI Pusat yang menyangkan munculnya klausul pada aturan tersebut, sehingga meminta pemerintah untuk merevisi atau bahkan mencabut.

Penghapusan klausul pada Pasal 103 PP Nomor 28 Tahun 2024 hanya satu langkah antisipatif. Selanjutnya, menguatkan sinergi peran pendidikan antara rumah dan institusi pendidikan tidak bisa dipisahkan. Institusi pendidikan yang dimaksud bisa berbentuk sekolah, madrasah ataupun pondok pesantren,  bukanlah tempat penitipan anak.

Institusi merupakan mitra orang tua dalam mendidik anak, sehingga peran orang tua tetap besar, bukan hanya sekedar peran finansial. Sehingga, sangat penting kiranya membangun kesadaran dan pembagian peran pendidikan antara institusi pendidikan dan orang tua dengan berbagai kegiatan kolaborasi.

Indonesia sebagai bangsa berketuhanan menjadikan nilai-nilai agama dan budi pekerti sebagai dasar dalam kehidupan sebagaimana termaktub dalam sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Mendidik dalam menanamkan pondasi pendidikan agama dan budi pekerti menjadi kebutuhan dan harus mendapatkan porsi yang besar, baik di institusi pendidikan maupun di rumah.

Jika kita melihat amanat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mari kita bahu membahu dalam menyelamatkan generasi bangsa ini dengan memberikan pendidikan yang baik, memberikan teladan yang baik, dan juga melahirkan regulasi yang aman. Kita memiliki harapan besar terhadap anak-anak usia sekolah dan remaja kita bisa tumbuh, berkembang dan selamat dari berbagai penyakit yang merusak masa depan mereka, termasuk terbebas dari penyakit pergaulan bebas. Amiin. (ed.fw)

Penulis: Dr. Suhandi Herman, M.Pd.I. (Sekretaris MUI Kecamatan Kemang/Alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) Angkatan V)