Surat Rahasia Seorang Pejuang Badr

Surat Rahasia Seorang Pejuang Badr

MUI-BOGOR.ORG Para sahabat Nabi bagai bintang di langit, menerangi semesta. Meski demikian, sahabat juga merupakan manusia biasa seperti kebanyakan orang yang tak luput dari berbuat salah. Salah satu contoh sahabat yang akan kita bahas adalah Hathib bin Abi Balta’ah.

Hathib bukanlah sosok sahabat Nabi yang memiliki keutamaan seperti Abu Bakar dalam sedekah, atau keberanian seperti Umar, tetapi ia dikenal karena kejujurannya, pengorbanannya, dan pelajaran besar yang bisa kita petik dari kisahnya. Berkat keimanan dan kesadaran yang mendalam, alih-alih terjerumus ke dalam kesalahan fatal yang menjauhkannya dari rahmat Allah dan RasulNya, malahan membuatnya menjadi sahabat yang diabadikan dalam sejarah Islam.

Salah satu peristiwa paling terkenal dalam hidup Hathib terjadi menjelang Fathu Makkah. Ia merupakan angkatan Muhajirin (orang yang berhijrah dari Mekah ke Madinah). Sebagai seorang Muhajirin yang keluarganya masih berada di Mekah tanpa perlindungan, Hathib merasa khawatir akan keselamatan mereka.

Dalam tekanan tersebut, ia menulis surat rahasia kepada Kaum Quraisy, sebuah upaya yang bahkan dilarang keras Rasulullah SAW. Meski demikian, Hathib tetap menginformasikan rencana penyerangan terhadap Mekah tersebut. Surat itu rencanannya disampaikan melalui seorang wanita yang hendak berangkat ke Mekah. Namun, Allah SWT mengungkapkan perbuatannya kepada Rasulullah SAW sebelum surat tersebut lolos ke luar wilayah Madinah.

Hathib pun segera dipanggil dan dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Umar bin Khattab RA, yang terkenal tegas, segera meminta izin untuk menghukum Hathib karena dianggap telah mengkhianati Islam. Namun, Nabi menahan Umar bin Khattab RA. Beliau selanjutnya mendengarkan alasan Hathib dengan seksama. Informasi hasil interogasi berhasil diperoleh bahwa tindakan Hathib bukanlah karena ia ingin mengkhianati agama atau Rasulullah SAW, melainkan demi melindungi keluarganya yang tak berdaya di Mekah.

Rasulullah SAW kemudian bersabda kepada Umar, “Dia telah ikut dalam Perang Badr. Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah berfirman kepada para peserta Perang Badar: ‘Lakukanlah apa yang kalian suka, Aku telah mengampuni kalian.’ ”Dengan pengampunan itu, menunjukkan tiga hal, yaitu:

Pertama, menunjukkan kebijaksanaan dan kasih sayang yang luar biasa dari Rasulullah SAW yang memaklumi kemungkinan kesalahan manusia (bersifat ijtihadi) bahkan setingkat sahabat. Seperti disebutkan HR. Muslim bahwa para sahabat tentu saja melakukan dosa, tetapi mereka mempunyai banyak keutamaan yang menghapus keburukan itu.

Kedua, Hathib pada dasarnya termasuk mujahidin Perang Badr di mana ketika terjadi kesalahan, maka Allah SWT menghapusnya dengan berbagai kebaikan dari perjuangan jihad yang tidak ada bandingannya dengan amalan orang sesudah mereka. Para mujahidin ini dijanjikan pahala surga, sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan bahwa mereka yang ikut serta dalam Perang Badar tidak akan masuk neraka.

Ketiga, kedudukan sahabat semisal Hathib demikian istimewa di sisi Allah SWT, meski melakukan kesalahan besar namun diampuni Nya. Hal tersebut terlihat dengan turunnya QS. Mumtahanah ayat 1 sebagai jawaban dari peristiwa “surat rahasia” yang intinya mengampuni Hathib.

Hathib mungkin bukan seorang sahabat yang dikenal karena kehebatan fisiknya, kedalaman ilmunya atau kekayaan duniawinya. Namun, pengabdiannya dalam Islam membuatnya menjadi contoh nyata tentang pentingnya niat yang lurus, serta mengharapkan rahmat dan ampunan Allah SWT yang luas. Dari peristiwa inilah terkait erat dengan–setidaknya menjadi contoh–dari hikmah ke-50 dari hikmah Ibnu Athaillah As-Sakandari.

Dalam hikmah tersebut disebutkan: “Tidak ada dosa yang kecil jika Allah memandangmu dengan sifat adil-Nya, dan tidak ada dosa yang besar jika Allah memandangmu dengan pandangan kasih-Nya.” Semoga kita dapat meneladaninya terutama untuk terus melakukan pengabdian dalam Islam dengan berbuat kebaikan demi mendapat ridha Allah SWT. Aamiin ya Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lam bi as-shawab

Penulis: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si
Penulis: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor/Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)