JAKARTA – Queer Advocacy Week atau pertemuan para pelaku dan pendukung Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) se ASEAN di Jakarta pada bulan Juli ini akhirnya batal digelar. Rencana pertemuan itu mendapatkan kecaman luas dari publik, salah satunya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Penyelenggara Pekan Advokasi Queer ASEAN memutuskan untuk merelokasi tempat pertemuan di luar Indonesia, setelah mendapat serangkaian ancaman keamanan dari berbagai kalangan,” kata Ketua Panitia Sogie Caucus dalam rilisnya Rabu (12/7/2023).
Terkait batalnya acara tersebut, Wakil Ketua Umum MUI Pusat KH. Anwar Abbas meminta agar pemerintah tidak memberikan izin terhadap agenda pertemuan para kaum sodom dan pendukungnya.
“MUI mengingatkan dan mengimbau pihak pemerintah agar jangan memperkenankan dan memberi izin terhadap diselenggarakannya acara tersebut,” katanya, Selasa (11/7/2023).
Ketua Komisi Perempuan Remaja dan Keluarga MUI Pusat, Dr. Hj. Siti Ma’rifah Ma’ruf Amin, dalam pernyataannya, Rabu (12/7/2023), mengingatkan lima dampak berbahaya dari perilaku LGBT.

Pertama, dampak kesehatan. Penelitian mengungkapkan bahwa pelaku LGBT yang melakukan hubungan sejenis, berisiko terkena penyakit kelamin menular. Lebih dari 70 persen pasangan homoseksual sangat rentan terkena penyakit kelamin menular.
Karenanya perilaku LGBT dari sisi kesehatan tidak dapat dibenarkan, perilaku ini akan memicu meningkatnya angka penyakit di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, dampak sosial. Kiranya dampak sosial sebagai akibat perilaku LGBT cukup mengerikan. Terungkap bahwa seorang gay memiliki pasangan antara 20-106 orang per tahun. Bandingkan dengan seseorang yang mempunyai pasangan zina yang “hanya” 8 orang seumur hidup.
Lebih jauh, 43 persen dari kelompok gay yang berhasil didata dan diteliti menyatakan bahwa selama hidupnya, mereka melakukan hubungan sesama jenis dengan lebih dari 500 orang. Bahkan 28 persen melakukannya dengan 1000 orang. Hal ini tentu akan mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat.
Ketiga, dampak pendidikan. Akibat mudahnya akses informasi dari luar, paham kebebasan tanpa aturan atau norma semakin mudah menjangkiti generasi penerus bangsa.
Tidak terkecuali paham LGBT. Data menunjukkan tidak sedikit anak yang telah terlibat kegiatan LGBT. Bahkan tren saat ini pelakunya tidak hanya yang telah berusia 18 tahun, anak usia 11, 12, dan 13 tahun pun sudah belajar bagaimana berhubungan sesama jenis.
“Saat ini, banyak kita jumpai tergabungnya anak-anak atau pelajar dalam sebuah grup LGBT di media sosial. Ini perlu menjadi perhatian khusus kita bersama, sangat disayangkan jika anak-anak sebagai penerus bangsa tertanamkan nilai kebebasan yang berlebihan dan terlibat dalam perilaku menyimpang,” kata dia.
Keempat, dampak keamanan. Di Amerika Serikat terdapat fakta mencengangkan di mana kelompok homoseksual berperan dalam terjadinya 33 persen pelecehan seksual pada anak-anak. Padahal jumlah populasi mereka hanya 2 persen dari keseluruhan penduduk Amerika.
Hal ini dapat berarti 1 dari 20 kasus homoseksual adalah pelecehan terhadap anak-anak. Tentunya hal mengerikan seperti ini harus kita cegah bersama agar tidak terjadi di negara kita tercinta.
Kelima, dampak generasi. Seperti kita ketahui bersama, aktivitas LGBT tentunya akan mengancam keberlangsungan generasi penerus.
Aktivitas seks sesama jenis tidak memungkinkan untuk melahirkan generasi baru. Oleh karenanya, aktivitas LGBT dapat dikatakan mengingkari hakikat makhluk hidup yang salah satunya memiliki ciri bereproduksi.
Sumber: https://mui.or.id/berita/54893/temu-lgbt-se-asean-batal-kprk-mui-ingatkan-5-bahaya-lgbt/