SUKARAJA, mui-bogor.org – Indonesia adalah negara yang bermasyarakat religius dan majemuk. Meskipun bukan negara agama, masyarakat lekat dengan kehidupan beragama dan kemerdekaan beragama dijamin oleh konstitusi. Menjaga keseimbangan antara hak beragama dan komitmen kebangsaan menjadi tantangan bagi setiap warga negara.
Hal itu disampaikan H. Dedi Slamet Riyadi, M.Ag., Kepala Sub Direktorat Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Kementerian Agama RI dalam Bahtsul Masail Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Kabupaten Bogor bersama Mahasiswa/I Pendidikan Kader Ulama (PKU) angkatan XVII di Wisma Dharmais, Sukaraja, Sabtu (16/9).
Ia menjelaskan, bahwa untuk menerapkan konsep moderasi beragama di Indonesia tantangannya berat, hal ini dilihat dari peta konflik keagamaan tahun 2019-2022, hasil kerja sama Kemenag RI dan PBNU pada tahun 2022.

“Dari 86 konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia, 57 kasus atau 66 persennya adalah kasus intra agama dan 29 kasus atau 34 persennya kasus antar agama. Adapun pemicu konflik antar agama dari 29 kasus, 16 atau 55 persennya adalah konflik rumah ibadah, 11 kasus atau 38 persennya pembatasan ekspresi keagamaan, dan 2 kasus atau 7 persennya pemaksaan atribut keagamaan. Sementara pemicu konflik intra agama, yaitu dari 57 kasus, 30 kasus atau 53 persennya pemberian label sesat, 15 kasus atau 26 persennya pembatasan aktivitas, 11 kasus atau 19 persennya rumah ibadah, dan 1 kasus atau 2 persennya terorisme”, beber H. Dedi.
Lebih jauh ia menambahkan, bahwa berbagai sumber konflik yang terjadi tersebut disebabkan oleh perbedaan dan keragaman tafsir atas sumber hukum Islam, perbedaan prinsip-prinsip keyakinan, dan eksklusivitas kelompok paham keagamaan.

Oleh karena itu, H. Dedi menegaskan, bahwa moderasi beragama merupakan perekat antara semangat beragama dan komitmen berbangsa. Di Indonesia, beragama pada hakikatnya adalah ber-Indonesia dan ber-Indonesia itu pada hakikatnya adalah beragama.
Ia juga menjelaskan tentang pentingnya gagasan dan konsep moderasi beragama, yaitu memperkuat esensi ajaran agama, dan kehidupan masyarakat, mengelola keragaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan merawat keindonesiaan.
“Sehingga diharapkan akan membentuk masyarakat yang toleran, harmonis, dan damai”, pungkasnya. (ed.fw)