SUKARAJA (29/7/2023) Mengapa harus ada Pendidikan Kader Ulama? Mengapa kalian harus bertahan selama empat bulan disini sebagai peserta PKU angkatan XVII? Pertanyaan menggelitik ini disampaikan Sekretaris Umum MUI Kabupaten Bogor Ust. H. Irfan Awaludin, M.Si pada perkuliahan perdana PKU angkatan XVII di Wisma Dharmais, Sukaraja, Sabtu (29/7/2023)
Gus Irfan begitu sapaan akrabnya, memulai perkuliahan dengan menceritakan kisah perjuangan pergerakan seorang Pahlawan nasional Indonesia bernama Bendara Raden Mas Mustahar yang terkenal dengan sebutan Pangeran Diponegoro (11 November 1785 – 8 Januari 1855) saat memimpin Perang Jawa selama lima tahun (1825 – 1830) melawan Belanda di bawah Jenderal Hendrik Merkus de Kock.
“Ada satu peperangan yang saat itu mampu membangkrutkan Belanda hanya dalam tempo lima tahun yang disebut Perang Jawa atau Perang Sabil. Perang ini dipelopori oleh seorang ulama ahli toriqoh, seorang anak kesultanan dari Keraton Yogyakarta, sejak umur tujuh tahun dididik oleh neneknya Nyai Ageng Tegalrejo yang bertoriqoh Syatariyah,” kata Gus Irfan.

Gus Irfan menjabarkan, saat itu Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda pada usia 40 tahun, dimana 20 tahun sebelumnya ia telah melakukan kaderisasi keliling Indonesia dengan menyatukan barisan kekuatan para Ulama, Bangsawan, Pendekar, dan Rakyat. Hingga kemudian berhasil mengumpulkan pasukan inti sebesar 100 ribu orang. Selama lima tahun Perang Jawa itu, Belanda mengalami kerugian sebesar 20 Juta Gulden. Perang itu lalu dikenal dengan sebutan Perang Semesta, karena mampu menyatukan seluruh unsur masyarakat.
“Perlu anda ketahui, efek perlawanan Diponegoro ini mampu membebaskan negara jajahan Belanda seperti Belgia, karena Belanda mengalami kebangkrutan,” papar Gus Irfan.
Lalu muncul satu pertanyaan, mengapa Diponegoro saat itu begitu kuat? Karena memiliki kader/pasukan yang sangat kuat. Diantaranya kader beliau yang paling muda saat itu sepupunya sendiri bernama Pangeran Sentot Prawirodirjo yang dikenal dalam Perang Jawa dengan sebutan Sentot Alibasya seorang Panglima Perang Diponegoro yang memimpin pasukan pada usia 17 tahun.
“Diponegoro ditipu/dikhianati oleh Pangeran De Kock. Karena saat itu Hari Raya Idul Fitri ia diundang ke markas Belanda untuk bersilaturahmi, namun ia tidak membawa senjata dan pasukan. Saat di dalam ia langsung diringkus oleh Pangeran De Kock. Di ujung perjuangan beliau memang kalah sampai diasingkan lalu meninggal dunia dan di makamkan di Makasar,” ujar Gus Irfan.
Dari Pangeran Diponegoro inilah kemudian muncul berbagai Pondok Pesantren di Indonesia, dari keturunannya dan juga dari murid-muridnya lahir Ulama yang mendirikan Pesantren, seperti di Tebuireng ia memiliki murid bernama KH. Abdus Salam yang merupakan Buyut KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU).
Beliau juga punya sahabat, seorang Wali di Jawa Barat yang makamnya dekat Goa Safarwadi di Pamijahan, Tasikmalaya, yaitu Syeikh Abdul Muhyi yang sanad toriqohnya bersambung pada Ulama Aceh, yaitu Syeikh Abdur Rauf as-Singkili (1615 M – 1693 M).
“Artinya bahwa tidak mungkin Pangeran Diponegoro membuat perjuangan yang begitu kuat tanpa beliau melakukan kaderisasi. Jadi, kuncinya ada di Pendidikan Kaderisasi,” pungkasnya. (ed.fw)