
BOGOR – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor melalui Lembaga Pengkajian Keagamaan dan Pemberdayaan Ummat (LPKPU) selenggarakan webinar Halaqah Bulanan dengan tema “Pergeseran Metode Bermazhab dalam NU” pada Minggu (16/07/2023).
Mengawali webinar, ketua LPKPU Ust. Ahmad Zulfiqor menyampaikan bahwa kegiatan tersebut akan dilaksanakan secara rutin setiap bulan dua kali.
“Webinar ini akan rutin kita laksanakan setiap bulannya dua kali dengan membedah karya ilmiah atau tesis dan disertasi yang telah dibuat oleh alumni PKU. Dan pada malam hari ini, sebagai pembuka kita akan membedah disertasi alumni PKU 10, Dr. Abdul Wafi”, ujarnya.
Ketua Umum MUI Kabupaten Bogor, Prof Dr KH Ahmad Mukri Aji, MA., MH. dalam sambutannya mengapresiasi atas terselenggaranya kegiatan ini. Ia juga mengapresiasi atas karya ilmiah yang dihasilkan oleh para alumni PKU.

Guru besar Ilmu Fiqih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga berpesan agar umat Islam konsisten dalam bermazhab.
“Semenjak tahun 1926 sampai 2023 ini banyak fase yang berbeda, namun tentunya kita harus tetap konsisten dalam bermazhab, dengan sumber hukum awalnya adalah Al-Qur’an, awas jangan sampai mengikuti ajaran sesat Panji Gumilang (pimpinan ponpes al-zaitun) yang menyebut Al-Qur’an bukan Kalamullah, namun sebagai Kalamun Nabi (ucapan nabi)”, ujar Kyai Mukri.
Di dalam paparannya, Dr. Abdul Wafi menyampaikan pergeseran metode bermazhab dalam NU secara metodologis dimulai pada tahun 1992 atau saat musyawarah nasional (Munas) di Badar Lampung.
“Pra Munas Lampung, pola bermazhab NU yakni pakai pola Qowli, apapun masalahnya selalu berujuk pada kitab-kitab imam mazhab khususnya Syafi’i,” kata Alumni PKU 10 itu.
Ia juga menjelaskan perbandingan antara metode yang digunakan oleh NU dalam Bahtsul Masail antara sebelum 1992 Lampung dengan setelah 1992.
“Sebelum tahun 1992, metode yang digunakan adalah qowli yakni merujuk kepada ucapan para ulama terdahulu yang diambil dari kitab-kitab para ulama. Sementara itu, setelah tahun 1992, penggunaan metode qowli banyak bergeser kepada metode manhaji, yaitu mengambil keputusan dengan merujuk kepada kaidah ushulnya, karena banyak persoalan yang tidak dibahas oleh para ulama terdahulu”, ungkapnya.
Ia pun menegaskan bahwa dalam penelitiannya terdapat perubahan dalam pengambilan qowli (ucapan) para ulama terdahulu.
“Sebelum 1992, 90 persen qowli rujukan diambil dari ulama Mazhab Syafi’i. Namun setelah 1992 terjadi penurunan sebanyak 28 persen dan terjadi kenaikan dalam persentase pengambilan rujukan dari mazhab yang lainnya bahkan rujukan non mazhab”, katanya.
Setelah 1992, bermunculan metode-metode lain dalam membahas sejumlah mazhab dalam menyelesaikan permasalahan keagamaan dan kebangsaan yang dilakukan Ulama NU.
Ulama-ulama NU setelah 1992 bergeser ke Semi Manhaji dengan metode Taqrir dan Ilhaq. Kemudian bergeser ke Manhaji dengan metode Bayani, Qiyasi, dan Maqasidi.
Selanjutnya di tahun 2004, dalam muktamar NU ke-31 di Solo, pola bermazhab kembali dibahas dengan munculnya metode Hermeneutika. Namun, metode tersebut ditolak oleh mayoritas ulama NU saat itu.
Tak sampai di situ, Munas di Surabaya tahun 2006, kembali dibahas metode bermazhab NU dan dirumuskan ke Fikrah Nahdiyah untuk mengunci adanya pemahaman radikal pada NU. “Memang di tahun ini Fikrah nahdliyah ini untuk menjaga NU agar tetap Washatiyah,” paparnya.
Kemudian di tahun 2015 saat Muktamar NU ke-33 di Jombang, salah satu pembahasan adalah Istinbath al-Ahkam dengan metode bayani, Qiyasi, dan Istilahi/Maqasidi. Lalu pada muktamar tahun 2017 membahas Taqrir Jamai dan Ilhaqul Masail.
Lalu pada Pra Munas di Pagentongan tahun 2020-2021, NU kembali membahas pola bermazhab dengan pembahasan Istinbath Maqasidi.
Ia menyimpulkan, penggunaan metode qaulī secara persentase trennya mengalami penurunan sebesar 22 persen, yaitu sebelum Munas Bandar Lampung 1992 (1926-1989) digunakan sebesar 75 persen menjadi 53 persen pasca Munas Bandar Lampung (1992-2019). Sebaliknya, metode manhajī mengalami kenaikan sebesar 20 persen, yaitu yang awalnya 2 persen (1926-1989) menjadi 22 persen (1992-2019).
“Oleh karena itu, melihat dari tren ini, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa NU sedang mengalami reformasi dari bermazhab secara qaulī menuju bermazhab secara manhajī,” pungkas Dr. Wafi.