Jejak Kesedihan Mengenang Ramadhan

Jejak Kesedihan Mengenang Ramadhan

MUI-BOGOR.ORG – Sejak Idul Fitri sepekan kemarin, lini masa, termasuk dalam hal ini adalah media sosial ramai dengan status orang-orang yang menyatakan kesedihannya atas berakhirnya Ramadhan. Ini merupakan respon yang setara ketika para sahabat dan salafus shalih di masa lalu ditinggal Ramadhan. Kesedihan mereka ini karena teringat sabda Rasulullah SAW.

Suatu ketika Rasulullah pernah berkata, apabila malam terakhir bulan Ramadhan tiba, maka menangislah langit, bumi, dan para malaikat karena musibah menimpa umat Muhammad SAW. Kemudian sahabat bertanya tentang musibah apa yang akan menimpa mereka. Rasulullah menjawab: “Perginya bulan Ramadhan, karena di bulan Ramadhan itu semua diijabah, semua sedekah diterima, semua kebaikan dilipatgandakan pahalanya dan siksa ditolak (dihentikan),” (Diriwayatkan dari Jabir).

Atas pemahamannya yang mendalam, seorang ulama besar Wuhaib bin Ward (hidup pada abad ke 2 Hijriah) alih-alih merasa senang telah selesai diwisuda Ramadhan, ia lebih fokus pada kesedihan mendalam yang disebabkannya. Hal tersebut terlihat dari komentarnya ketika melihat beberapa orang yang tertawa-tawa (tanda bersukacita) di hari raya.

Kemudian, beliau berkata, “Andaikan puasa mereka diterima maka bukan seperti ini perbuatan yang selayaknya dilakukan orang yang bersyukur. Sebaliknya, andaikan puasa mereka tidak diterima maka bukan seperti ini sikap yang selayaknya dilakukan orang yang takut (amalnya tidak diterima).” “Alangkah baiknya jika aku tahu siapa saja yang diterima amalnya, sehingga aku pun mengucapkan selamat kepadanya. Dan siapa saja yang tertolak amalnya, aku turut berbela sungkawa kepadanya.”

Mengapa umat sebelumnya (para sahabat dan orang-orang salafus shalih) dan umat kemudian bersedih ketika Ramadhan berakhir? Setidaknya, ada empat alasan mengemuka, yaitu ; Merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Selanjutnya, merasa khawatir amalan-amalannya tidak diterima. Merasa dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Terakhir, merasa berduka karena boleh jadi tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.

Selanjutnya ada sebuah pertanyaan menggelitik muncul. Apakah ada kesedihan lain selain yang empat itu? Ternyata bisa saja ada, yaitu sedih karena tidak merasakah kesedihan itu sama sekali. Sebuah sikap yang merasa biasa saja dengan berakhirnya bulan Ramadhan tersebut, sikap yang sama seperti berakhirnya hari-hari biasa. Lalu kita termasuk yang mana? Dan apakah kesedihan tersebut masih dalam batas kewajarannya?

Jawaban dari pertanyaan tersebut setidaknya dapat kita peroleh dari insight (pencerahan) sabda Rasulullah SAW, “Sekiranya umatku ini mengetahui apa-apa (kebaikan) di dalam bulan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar tahun semuanya itu menjadi Ramadhan,” (Diriwayatkan dari Ibnu Abbas). Hadis ini menjelaskan, tingkat kesadaran umat secara keseluruhan akan istimewanya bulan Ramadhan terdiri atas berbagai tingkatan.

Kesedihan karena tidak merasa sedih dalam hal ini setara dengan tingkat pengetahuan minimal kebanyakan umat akan kebaikan di bulan Ramadhan. Dalam konteks ini, kesedihan karena tidak merasakan kesedihan atas berakhirnya Ramadhan bisa dilihat sebagai indikasi bahwa di satu sisi pengetahuan tentang nilai spiritual Ramadan masih perlu ditingkatkan, namun di sisi lain telah terjadi peningkatan sikap (kesadaran) spiritual.

Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa kesedihan atas berakhirnya Ramadhan bukanlah semata-mata tentang kerinduan akan bulan suci tersebut, tetapi juga tentang kesadaran akan kekurangan dalam memanfaatkan setiap kesempatan yang diberikan Allah SWT di bulan tersebut. Oleh sebab itu, mari kita gunakan kesedihan tersebut sebagai motivasi untuk terus meningkatkan kualitas ibadah (minimal semangat beribadah) kita di luar Ramadhan.

Kesedihan atas berakhirnya Ramadhan bukanlah akhir dari perjalanan spiritual, tetapi justru menjadi awal dari komitmen yang lebih kuat untuk menjadi pribadi yang lebih baik setiap hari. Sama halnya dengan para sahabat Nabi SAW yang memahami bahwa bulan Ramadhan hanyalah awal dari perjalanan spiritual yang panjang. Meskipun berpisah dengan bulan suci ini, mereka yakin bahwa Allah SWT selalu memberikan kesempatan dan rahmat-Nya kepada hamba-Nya yang taat. Aamiin. Wallahu a’lam bi as shawab

Penulis: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor/Dosen Fakultas Dakwah UIN Jakarta)