Jubah Keteladanan

Jubah Keteladanan
H. Asep Rahmat, Lc., M.Ag

Oleh: H. Asep Rahmat, Lc., M.Ag. (Komisi Hubungan Luar Negeri MUI Kabupaten Bogor/Alumni PKU Angkatan IV)

Pada suatu hari, Senin 7 Nopember 2005, saya berangkat kuliah ke kampus Al-Azhar pukul 07.00 pagi. Seperti biasa, pagi adalah jam sibuk, tak heran di bus pasti berdesakan, bahkan kalau rezeki kurang bagus saya bergelantungan di pintu bus. Bau keringat bercampur dengan bau asap polusi menambah nikmatnya perjalanan pagi itu.

Namun, ada satu pemandangan yang membuat saya takjub, terpukau bahkan membuat hati saya berdesir. Ada apa gerangan? tak lain adalah seorang kakek yang terlihat ‘alim berpakaian jubah, menenteng tas yang saya yakini berisi buku-buku bermutu. Ia berdiri berdesakan bersama para penumpang lainnya. Di bibirnya terucap kalimat toyyibah atau shalawat dan tidak jarang menyunggingkan senyum, saya mengenalnya Al-Ustadz Ad-Duktur, Prof. Dr. (demi privasi saya tidak sebutkan namanya).

Orang itu terlihat begitu bersahaja, kebetulan beliau tinggal di Kota Gomroh, tidak jauh dengan asrama mahasiswa dan dekat dengan tempat tinggal saya. Jadi, setiap hari saya selalu saling menyapa bahkan tidak jarang naik bus bersama ke kampus Al-Azhar. Walau bergelar Profesor Ilmu Hadits beliau tidak merasa risih naik bus umum ketika pulang dan pergi mengajar.

Pemandangan seperti ini tidaklah sulit saya temukan, banyak ulama-ulama kaliber dunia yang hidup sangat sederhana dan mengajarkan tentang qona’ah dan rasa puas atas rezeki yang ada. Hidup mereka bukan dihiasi oleh silaunya duniawi, tetapi justru dihiasi oleh kesederhanaan dan apa adanya. Kehidupannya tidak menonjolkan gelimang harta duniawi, tetapi justru dihiasi oleh keilmuan dan keteladanan.

Walaupun sudah berkeliling dunia, mengisi ceramah dan seminar-seminar keagamaan, bahkan diakui dan dikagumi oleh para ulama dan pakar seluruh dunia, para profesor Azhari tetaplah hidup sederhana, ia tetap menjadi manusia yang memberi teladan bagi masyarakatnya. Mereka bukan tidak mampu hidup mewah dan bergelimang harta, tetapi mereka memilih jalan hidup sederhana.

Dalam beberapa literatur sejarah Islam, juga dikenal sosok pemimpin yang sederhana. Contohnya adalah Umar bin Abdul Aziz dari dinasti Bani Umayyah. Meski masa kepemimpinannya singkat, namun khalifah yang satu ini berhasil menciptakan masyarakat madani yang sejahtera.

Selama kurang lebih tiga tahun masa kepemimpinannya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya mendapat gaji sebanyak 2 dirham per hari atau 60 dirham per bulan. Beliau juga enggan menggunakan fasilitas negara, beliau memilih gaya hidup ala kadarnya. Mulai dari penampilan, makanan, hingga kendaraan yang ditungganginya.

Abdurrahman Asy-Syarqawi dalam buku  Muhammad Sang Teladan  menjelaskan, Rasulullah SAW merupakan pribadi yang sederhana, namun bukan berarti miskin. Rasulullah merupakan hamba Allah yang paling dermawan yang memperoleh hartanya dengan cara-cara yang halal. Meski demikian, beliau tidak pernah  hidup secara berlebih-lebihan (Asy-Syarqawi, 2017).

Semasa hidupnya, Rasulullah SAW senantiasa menerapkan pola hidup yang sederhana. Mulai dari cara memenuhi kebutuhan harian, cara berpakaian, hingga tempat tidur Nabi SAW.

Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi, Rasulullah SAW tidak pernah memiliki banyak makanan dalam kesehariannya kecuali saat menjamu tamu. Dari Malik bin Dinar ra. dia berkata: “Rasulullah SAW  tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang)” (HR. Tirmidzi)

Bahkan, Rasulullah SAW dalam do’anya meminta rezeki kepada Allah SWT sesuai kebutuhan pokok secukupnya saja. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW berdoa: “Ya Allah, jadikan rezeki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya” (HR. Muslim). Dua hadits tersebut memperkuat gambaran kesederhanaan kehidupan yang dijalani Rasulullah SAW.

Dalam buku karya Buya Hamka yang berjudul Falsafah Hidup, disebutkan mengenai hidup sederhana, sikap sederhana merupakan pengendalian keinginan dan nafsu duniawi. Buya Hamka menegaskan bahwa sesungguhnya manusia itu sama, namun yang menjadi pembeda adalah kemauan dan hawa nafsunya. Ketika seseorang semakin menuruti hawa nafsu atau keinginannya, maka hal itu tidak akan ada habisnya. “Binatang apabila telah kenyang perutnya, akan beranjak tidur, kemudian istirahat. Tetapi manusia, walaupun telah kaya, bertambah kaya, bertambah tidak senang hidupnya. Bahkan bertambah tamak, bertambah sayang akan kehilangan dengan hartanya.” Begitu ujarnya.

Lebih lanjut, Buya Hamka menuturkan bahwa manusia pada hakikatnya bisa menjadi lebih baik dari malaikat atau lebih buruk daripada hewan ketika berurusan dengan hawa nafsu. Oleh sebab itu, untuk mengendalikan hawa nafsu, maka diperlukan hidup sederhana. (Falsafah Hidup, 2020)

Bangsa Indonesia membutuhkan teladan pemimpin yang sederhana. Pemimpin-pemimpin yang berjubah emas, dengan silau harta benda yang dipamerkan, bukanlah warisan keteladanan. Menjadi kaya raya bukanlah kesalahan, namun mewariskan kesederhanaan menjadi satu keteladanan yang mulia. Wallahu A’lam Bisshawab