
Oleh: Dr. M. Taufik Hidayatulloh, M.Si
Secara kebetulan atau tidak, ketika berselancar di dunia maya, tidak disangka bertemulah saya dengan sebuah judul tulisan kolom di sebuah portal berita nasional berjudul “kisah sebuah mimbar : renungan 1 Muharam 1444 H” yang ditulis oleh sosiolog bernama Akmal Nasery Basral, persis setahun lalu.
Pada awalnya saya tidak memiliki ekspektasi apapun dengan tulisan ini selain tertarik membaca karena keunikan judulnya. Namun setelah dibaca, maka nampaklah dalam tulisan tersebut sebuah kisah yang mencerahkan dan menggugah, yang menjadikannya melebihi ekspektasi baca.
Hal itulah yang membulatkan niat saya untuk menulis ulang kisah tersebut dalam rangka membagikan percikan semangat menginspirasi sebagaimana sumber cerita itu juga yang berasal dari versi visual kisah inspiratif. Kisah tersebut juga mungkin pernah kita tonton pada serial Dirilis: Ertugrul (Inggris: Resurrection: Ertugrul) pada musim tayang (season) 1 episode 14. Sebagaimana sumbernya, saya tuliskan kisahnya sama persis.
“Di Baghdad hidup seorang tukang kayu ulung. Dia membuat sebuah mimbar dari kayu walnut terbaik dan dipercantik dengan mutiara terindah. Orang-orang di Baghdad berebut ingin membeli mimbar itu untuk dipasang di masjid mereka,” ujar Ibnu Arabi memulai kisah kepada para murid yang mengelilinginya. “Tetapi tukang kayu itu menolak menjual berapa pun harga yang akan dibayarkan. Mimbar ini, ujar tukang kayu itu, saya buat untuk dipasang di Masjidil Aqsha, Yerusalem.”
“Publik terkejut dan mengatakan bukankah Yerusalem sedang diduduki Tentara Salib? Bagaimana mungkin mimbarmu ini bisa dipasang di Masjidil Aqsha? Tukang kayu itu menjawab dengan tenang dan yakin. Dia bilang nanti akan muncul seorang prajurit terbaik yang bisa merebut Yerusalem. Pada saat itulah mimbar ini akan dipasang di Masjidil Aqsha.”
“Hari berganti hari, kabar tentang keindahan mimbar itu semakin luas tersiar, bahkan sampai keluar kota Baghdad. Semakin banyak orang yang membicarakan. Mereka yang melihat langsung mimbar itu begitu terpesona. Namun berapa pun tingginya harga yang mereka tawarkan, semua ditolak sang tukang kayu. Akhirnya kabar tentang mimbar istimewa itu terdengar juga oleh seorang anak lelaki berusia 7-8 tahun yang tinggal jauh dari Baghdad.”
“Namun tak seperti orang-orang lain yang terpukau pada kisah keindahan mimbar, anak lelaki itu memusatkan perhatian pada perkataan tukang kayu tentang akan munculnya seorang prajurit terbaik yang bisa merebut Yerusalem. Sekitar 40 tahun kemudian, perkataan tukang kayu itu terbukti. Yerusalem jatuh ke tangan pasukan muslim yang dipimpin oleh Shalahuddin Al Ayyubi, sang anak lelaki yang terinspirasi dari kisah tukang kayu.”
“Tugas kita semua adalah membuat mimbar terbaik seperti dilakukan tukang kayu Baghdad itu,” simpul Ibnu Arabi seraya menatap serius para murid. “Seorang pemimpin akan muncul di saat yang tepat.”
Kisah tersebut sekali lagi bukanlah legenda atau dongeng. Ini adalah kisah nyata tentang keyakinan untuk berubah. Sang tukang kayu mengajarkan kita tentang pentingnya memiliki tujuan yang mulia. Tidak peduli betapapun banyak yang meragukan bahkan tak sedikit menganggapnya mustahil. Nyatanya ia telah menanamkan nilai hijrah dalam hati seorang anak laki-laki dan mengilhami menuju perubahan yang diharapkan.
Di saat kita merayakan pergantian tahun hijriah, kisah tukang kayu ini memiliki relevansi yang sangat erat, khususnya mengawali tahun dengan bulan Muharam yang banyak keutamaannya. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa bulan Muharam menjadi momen penting untuk merenung tentang hijrahnya umat Islam dari Makkah ke Madinah. Peristiwa hijrah ini secara filosofis menandai titik awal perubahan lebensraum (ruang hidup) Muslim. Sementara itu secara administratif peristiwa hijrah juga menjadi dasar pembentukan kalender Hijriyah.
Semangat hijrah mengajarkan kita tentang arti pembaruan dan perubahan. Dalam konteks ini di mana secara bersamaan kita memasuki tahun baru Hijriah, cerita tukang kayu mengingatkan kita akan pentingnya hijrah dalam hidup ini. Perubahan tersebut bukanlah sebuah perjalanan yang ringan dan mudah, namun sebuah perjalanan yang berat dan sukar.
Ketika kita fokus pada mimbar dalam kisah, sesungguhnya mimbar indah yang dibuat oleh tukang kayu tersebut merepresentasikan simbol dari cita-cita luhur yang harus dikejar oleh setiap muslim. Meskipun saat itu sebagaimana kisah, Masjidil Aqsha (baca: Palestina) mungkin belum sepenuhnya dalam genggaman umat Islam, umat Islam harus tetap bersemangat dan percaya bahwa suatu hari, mimbar indah itu akan benar-benar dipasang di tanah suci tersebut.
Sementara itu, sang tukang kayu telah berusaha menanamkan visi besar dalam karya ciptanya. Hal tersebut mengingatkan kepada kita untuk memiliki pandangan jauh ke depan. Sebuah visi kuat untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan, baik itu sebagai pribadi maupun sebagai khalayak umum.
Setelah itu marilah kita tarik kisah tersebut ke dalam kondisi dunia kita dewasa ini, maka sungguh telah ditemukan relevansi kurang lebihnya. Maka dari itu marilah kita menyambut tahun baru Hijriah kali ini dengan semangat membara dengan cara berkomitmen untuk melakukan perubahan positif dalam hidup. Jadikan peringatan tahun baru Hijriah sebagai momen untuk berbenah diri seraya mengejar perubahan ke arah yang lebih baik.
Lakukan tugas kita masing-masing sesuai bidangnya sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Arabi bahwa “Tugas kita semua adalah membuat mimbar terbaik seperti dilakukan tukang kayu Baghdad itu.”. Insya Allah, dengan komitmen dan dedikasi tersebut semoga Allah SWT membimbing kita menuju masa depan gemilang, di mana mimbar indah itu akan benar-benar kembali dipasang di Masjidil Aqsha (baca: kebangkitan peradaban Islam). Aamiin.