Komunikasi Ayat Al Qur’an di antara Pesan Sadapan Badan Intelijen Israel

Komunikasi Ayat Al Qur’an di antara Pesan Sadapan Badan Intelijen Israel

MUI-BOGOR.ORG – Serangan Hamas yang disebut sebagai Operasi Badai Al Aqsa pada 7 Oktober 2023, telah mengguncang dunia karena mematahkan mitos keperkasaan militer Israel dewasa ini. Peristiwa ini tidak hanya mencerminkan kegagalan sistem pertahanan Israel, tetapi juga menunjukkan keterbatasan badan intelijen mereka dalam membaca strategi musuh.

Salah satu faktor utama dalam kegagalan tersebut adalah ketidakmampuan badan intelijen Israel untuk memahami komunikasi Hamas yang jelas telah mereka peroleh. Fenomena ini sangat menarik apalagi jika dikaitkan dengan sejarah penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi rahasia dalam peperangan, seperti yang terjadi pada Navajo Code Talkers dalam Perang Dunia II.

Laporan militer Israel sendiri mengakui bahwa mereka gagal dalam melindungi warganya dari serangan Hamas. Salah satu penyebabnya adalah asumsi keliru bahwa Hamas tidak berminat pada perang skala besar. Selain bahwa Israel juga percaya diri akan mendapat peringatan dini sebelum serangan terjadi sebagaimana yang sudah-sudah, yang ternyata terjadi sebaliknya.

Di sisi lain, berbagai lembaga intelijen Israel, seperti Syabak, Shin Bet dan Mossad, sebenarnya telah berhasil melakukan penyadapan terhadap pesan percakapan para pemimpin pejuang, baik petinggi militernya maupun petinggi politiknya. Namun, yang mengejutkan adalah bahwa 80 % pesan yang mereka tangkap berupa ayat-ayat Al Qur’an.

Temuan rahasia ini diperoleh seorang analis Palestina yang tinggal di Inggris bernama Mahmud Audah yang mengutip Channel 12 yang berbahasa Ibrani, hingga sampailah kepada kita sekarang ini. Ajaibnya, para kriptolog (pemecah kode) intelijen Israel ternyata tidak mampu menafsirkan pesan tersebut dengan benar.

Ketidakmampuan ini membuktikan bahwa perang modern bukan hanya soal persenjataan, tetapi juga tentang strategi komunikasi, di mana terjadi perang informasi di dalamnya. Hamas tampaknya telah memahami bahwa untuk mengelabui intelijen Israel, mereka perlu menggunakan metode komunikasi yang sulit dipahami oleh musuh, seperti menggunakan ayat-ayat Al Qur’an sebagai bentuk sandi.

Fenomena komunikasi yang menggunakan ayat Al Qur’an sebenarnya bukan hal baru. Dalam kitab Uqudullujain fi Bayani Huquqiz Zaujain karya Syekh Muhammad bin Umar Nawawi, terdapat kisah dua orang berbicara dengan ayat Al Qur’an.

Kisah ini dialami oleh Abdullah Al Wasithi dengan seorang wanita di atas bukit Arafah. Setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya, sang wanita menjawabnya dengan ayat-ayat suci. Meskipun demikian, Abdullah Al Wasithi sebagai lawan bicaranya tetap dapat memahami maksudnya.

Kisah ini membuktikan bahwa komunikasi melalui ayat Al Qur’an bisa menjadi sistem komunikasi terselubung yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memiliki kompetensi khusus. Ini relevan dengan strategi Hamas, yang kemungkinan besar menggunakan metode serupa untuk menyampaikan pesan tanpa dapat dipahami oleh intelijen Israel.

Menariknya, strategi komunikasi terselubung seperti ini bukanlah hal baru dalam sejarah peperangan. Pada Perang Dunia II misalnya, militer Amerika Serikat menghadapi tantangan besar dalam mengamankan komunikasi mereka dari intelijen Jepang dan Jerman karena setiap kode yang mereka gunakan sebelumnya berhasil dipecahkan oleh musuh betapapun rumitnya.

Namun, Philip Johnston, seorang veteran Perang Dunia I, mengusulkan ide yang revolusioner. Ia mengusulkan penggunaan bahasa Navajo sebagai kode komunikasi dalam pertempuran. Gagasan ini melahirkan kelompok tentara keturunan Navajo (sub suku Indian) yang bertugas menyampaikan pesan dengan bahasa ibu mereka.

Kode ini sangat efektif karena sistem kode tidak hanya berbasis bahasa, tetapi juga menggunakan metode asosiasi kata untuk menyamarkan istilah militer. Hasilnya? Ribuan pesan yang dikirim oleh Navajo Code Talkers tidak pernah berhasil dipecahkan oleh musuh meski berhasil diretas, sehingga membantu kemenangan Amerika Serikat di Pasifik.

Dalam menghadapi dominasi teknologi intelijen modern, strategi komunikasi yang tersembunyi menjadi semakin penting. Hamas tampaknya telah mengembangkan metode komunikasi yang mirip dengan Navajo Code yang hanya akan dipahami oleh kalangan tertentu saja. Peperangan modern sebagaimana kita ketahui tidak hanya mengandalkan kekuatan militer tetapi juga perang informasi dalam berbagi posisi, frase kunci dan taktik tertentu dengan cara yang tidak terdeteksi akan menjadi faktor kemenangan.

Dalam konteks ini, strategi komunikasi yang sederhana namun efektif terbukti mampu mengalahkan teknologi intelijen yang canggih. Dengan memanfaatkan bahasa suci sebagai alat komunikasi, Hamas telah menunjukkan bahwa dalam perang, kemenangan tidak selalu ditentukan oleh teknologi tercanggih, melainkan juga oleh strategi yang paling sulit dipahami pihak lawan.

Wallahu a’lam bi as shawab

Dr. M. Taufik Hidayatulloh, M.Si
Penulis: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor/Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)