
Oleh: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor)
Dalam dunia yang penuh ekspektasi, mengkuantifikasi sesuatu biasanya akan menjadi kebiasaan. Namun akibatnya, akan banyak orang terjebak melakukan penilaian hanya berdasarkan pada penampilan permukaan semata. Selain itu, bila penilaian terfokus pada aspek luaran seseorang, bisa melewatkan potensi yang dimilikinya.
Kisah inspiratif dari kalangan sahabat dapat kita pelajari untuk diambil hikmahnya tentang bagaimana cara menilai seseorang. Salah satu sahabat itu tersebutlah nama Abdullah bin Mas’ud.
Berbicara tentang Abdullah bin Mas’ud sekurangnya berbicara seorang yang memiliki kelebihan sehingga membuatnya menjadi istimewa. Keistimewaannya bukan saja karena sebab sering didaulat Nabi SAW untuk membaca Al Quran di depannya, juga bukan karena kakinya dinyatakan lebih berat dari Gunung Uhud (sebagaimana HR. Ibnu Hibban), tetapi juga karena penilaian objektif dari para sahabat semisal Umar bin Khatab terhadap sosok yang satu ini dengan berkata, “Pemahamannya sungguh luar biasa.”
Sedemikian istimewa Abdullah bin Mas’ud ini sehingga mungkin akan banyak mengecoh sebagian orang, di mana akan dibayangkan dirinya adalah seorang yang penampilannya berwibawa, berpostur tinggi, ataupun sesosok yang memiliki kriteria ideal lainnya yang lazim terdapat pada kebanyakan orang mengingat berbagai kelebihannya itu.
Namun dengan mengetahui deskripsi Abu Musa Al Asy’ari tentang sosok Abdullah bin Mas’ud yang sebenarnya, maka sebagian orang itu nampaknya akan mengalami “keterkecohan”. Karena pada kenyataannya, Abdullah bin Mas’ud hanyalah seorang pemuda yang kurus, ceking dan pendek. Saat berdiri, tingginya hanya setinggi orang duduk.
Lebih dari itu, ia berasal dari kalangan papa tak berpunya. Ia bekerja sebagai buruh penggembala pada salah satu keluarga kaya Quraisy. Penghasilannya itu kemudian digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari (sebelum memeluk Islam dan menjadi asisten pribadi Nabi SAW). Setelah datang penjelasan Abu Musa Al Asy’ari tentang detail kondisi Abdullah bin Mas’ud yang sebenarnya, barulah “keterkecohan” itu mereda.
Atas kenyataan tersebut kita seolah disuguhkan sebuah wisdom (kata mutiara) dengan tanda kutip besar bertuliskan “Jangan lihat buku dari sampulnya”, melainkan baca dan selami isinya sebelum menilainya. Salah satu filsafat jawa juga ternyata ada yang bermakna serupa berbunyi “Ajining diri soko lathi, Ajining rogo soko busono” dengan arti, harga diri seseorang tergantung pada ucapannya dan harga diri badan dari pakaiannya.
Sekilas nampak bertentangan dengan istilah “Jangan lihat buku dari sampulnya”, namun bila diselami lebih dalam, maksud terjauhnya mengingatkan kita untuk tidak perlu berlebihan dalam menilai seseorang, karena penilaian kita juga belum tentu tepat adanya.
Beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari penampilan sederhana para sahabat awal semisal Abdullah bin Mas’ud, adalah; Pertama, kelebihan seseorang tidak selalu terlihat dari penampilan luarnya. Abdullah bin Mas’ud, meskipun tampak sederhana ternyata memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama. Mengajarkan pada kita untuk tidak menilai seseorang hanya berdasarkan kesan luar. Kedua, kita jangan terperangkap oleh penilaian stereotip yang mengaitkan keistimewaan seseorang dengan penampilan yang ideal menurut standar umum.
Abdullah bin Mas’ud termasuk seorang yang masuk pada kategori “kurang ideal”, namun dapat melebihi batasan-batasan tersebut. Dalam hal ini kita perlu memahami isinya terlebih dahulu sebelum menilainya lebih lanjut. Ketiga, Filsafat Jawa yang berkaitan dengan bagaimana menilai seseorang mengingatkan kita bahwa harga diri seseorang sebenarnya bergantung pada ucapannya dan budi pekertinya, bukan hanya pada penampilan yang bersifat kasat mata.
Berdasarkan hal tersebut, penilaian kita terhadap seseorang sebaiknya tidak hanya melihat aspek fisik semata, tetapi juga terhadap aspek non fisik seperti sikap dan perilaku mereka.
Kesederhanaan penampilan luar masih saja banyak mengecoh beberapa orang yang mungkin terjebak dalam penilaian kuantifikasi dangkal. Dengan satu atau lebih cara untuk tidak berlebihan dalam menilai seseorang karena penilaian yang belum tentu tepat, nampaknya menjadi solusi kita dalam memetik pelajaran dari siapapun orangnya. Sebagaimana telah diajarkan oleh persona Abdullah bin Mas’ud sebagai salah satu pelaku puncaknya.
Wallahu a‘lam bis-shawab