MUI-BOGOR.ORG – Mari kita layangkan sejenak perhatian pada abad ke-7 hingga abad ke-13, masa di mana jalur perdagangan dunia menjadi denyut utama penyebaran peradaban. Islam, sebagai agama yang lahir di Jazirah Arab, menyebar ke berbagai penjuru dunia (Setiawan. 2022) yang dapat dijelaskan melalui karavan unta, penelusuran jalur sutera, jejak para musafir dan lalu lalang kapal-kapal pedagang pada jalur maritim dunia. Istimewanya, para pedagang ini tidak mau menitipkan barang dagangannya kepada mitra mereka (Michalopoulos, et.all. 2012).
Para pedagang ini merupakan jaringan asosiasi dagang yang disebut Ta’ifa (Hadi. 1997). Perjalanan ini pada akhirnya membawa Islam ke banyak tempat, mulai dari Andalusia di barat hingga Tiongkok di timur (Al Jubouri. 2004). Namun, Nusantara nun jauh di seberang benua besar, menjadi titik akhir yang mengundang tanda tanya. Mengapa sampai ke Nusantara? Sembari kita renungkan betapa kisah perjalanan para wali dan pedagang yang menjadikan Nusantara bukan menjadikan tanah istimewa ini sebagai tempat persinggahan, melainkan tanah yang menandai titik kulminasi penyebaran Islam di dunia.
Selanjutnya mari kita beranjak ke abad 13-15, di mana jalur laut Nusantara saat itu sudah menjadi urat nadi perdagangan dunia (Karim. 2003). Kapal-kapal dari Timur Tengah, Persia, India, hingga Cina bertemu di pelabuhan-pelabuhan besar seperti Samudera Pasai, Malaka, dan Gresik. Dalam pertemuan di jalur pelayaran ini, Islam hadir bukan sekadar sebagai agama, tetapi sebagai sistem sosial, budaya, dan ekonomi yang menarik minat banyak orang untuk mempelajarinya.
Sebagai misal, para pedagang asal Gujarat telah tiba di Aceh pada abad ke-13, menjadi sandaran teori Gujarat digagas J. Pijnapel yang menjelaskan bagaimana Islam menyebar di Nusantara. Para pedagang itu tidak hanya membawa kain dan rempah-rempah, tetapi juga ajaran tasawuf yang mengajarkan nilai kedamaian yang relevan dengan tradisi lokal, hingga akhirnya membentuk komunitas Muslim yang kokoh di sana hingga terbentuknya Kerajaan Samudera Pasai.
Di abad ke 15, kiprah dakwah para Wali Songo, ajaran Islam disampaikan melalui seni, budaya dan sains, seperti wayang, gamelan, sampai pada teknik pertanian. Pendekatan ini bukan hanya berhasil menarik hati masyarakat, tetapi juga menciptakan harmoni antara Islam dan kearifan lokal, bahkan membawa solusi nyata bagi kehidupan manusiawi. Sebuah catatan menarik tentang dakwah bill haal seorang Wali Songo, Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Gresik pada umumnya, setelah diberi gelar Wong Agung oleh Maharani Suhita dari Majapahit pertengahan abad 15.
Ia menyaksikan dampak perang Paregreg (1406 m) yang menghancurkan kehidupan rakyat, yang mendorongnya untuk memperkenalkan teknologi pertanian modern pada zamannya, seperti sistem irigasi, dalam meningkatkan hasil panen dan kesejahteraan masyarakat. Islam di Nusantara inilah kemudian menjadi cermin keberhasilan penyebaran agama yang damai dan inklusif, sesuatu yang jarang ditemukan di wilayah lain.
Meskipun Nusantara menjadi titik akhir penyebaran Islam secara geografis, wilayah ini justru menjadi titik awal bagi penyebaran nilai-nilai Islam yang baru. Sebuah corak di mana nilai Islami yang bersumber dari Al Quran dan sunah menjadi bagian yang tidak terpisahkan (Al Jubouri. 2004). Pengaruh Islam Nusantara kembali menyebar ke wilayah lain melalui jalur perdagangan, termasuk Afrika dan Timur Tengah, dalam bentuk rempah-rempah, seni, dan tradisi intelektual.
Kita dapat menyaksikan kitab-kitab klasik Melayu-Jawi yang ditulis pada abad 15 hingga abad 19 (Hadi. 1997) oleh ulama-ulama Nusantara dan kemudian menjadi rujukan penting di dunia Islam (utamanya wilayah Asia Tenggara). Atau tradisi tasawuf yang berkembang di Nusantara dan memberikan warna baru dengan menambahkan unsur falsafi (Ridwan, dkk. 2015) dalam pemahaman Islam global melalui akulturasi budaya.
Dengan demikian, Nusantara bukan hanya penerima pasif, tetapi juga pemberi aktif dalam dinamika peradaban Islam dunia. Mengapa Nusantara menjadi titik akhir pergerakan Islam global? Jawabannya tidak lain terletak pada keistimewaan wilayah ini sebagai bukti sempurnanya penyebaran Islam global, pemegang simpul jalur perdagangan internasional dan laboratorium sosial di mana Islam berkembang menjadi model yang moderat, inklusif, dan relevan. Dari Nusantara inilah, Islam tidak hanya tumbuh sebagai agama, tetapi juga sebagai peradaban agung, yang mendorong peran global nusantara dari masa lampau, masa kini hingga kita harapkan peran yang semakin besar di masa yang akan datang demi membawa kebahagiaan hakiki bagi dunia.