MUI-BOGOR.ORG – Pesantren sebagai lembaga Pendidikan Islam tertua sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di mana kiai atau pengasuh menjadi magnet yang membuat banyak santri datang untuk belajar, mendapatkan berkah atau tabarukkan atas ilmu, hikmah dan kebijaksanaan dari kiai atau pengasuh. Dunia pendidikan berubah, kini eksistensi pesantren mendapat banyak tantangan dengan menjamurnya lembaga pendidikan umum yang menonjolkan fasilitas dan kurikulum modern, tapi orang tua murid harus menebusnya dengan biaya mahal. Belum lagi munculnya lembaga pendidikan semodel dengan pesantren dengan label Pendidikan Islam Terpadu.
Benarkah menurunnya minat orang tua memasukkan anaknya ke pesantren khususnya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, hanya sekadar angka? Atau kurangnya perspektif publik tentang apa itu pesantren? Artikel ini mencoba mengupas perspektif lain, bahwa ada sisi lain yang banyak orang tidak tahu tentang pesantren.
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, namun juga tempat penempaan karakter dan tempat lahirnya para alim ulama yang kelak harus siap mengabdi untuk Islam, bangsa dan negaranya. Siap menjadi dan menyinari di manapun berada, di berbagai profesi dan pekerjaan apapun. Eksistensi pesantren dan nilai-nilai luhur yang dilandasi Syariat Islam ini yang seringkali luput dari nalar publik selama ini. Tidak heran banyak salah sangka di kalangan awam melihat pesantren sebagai bengkel rohani, sanatorium. Tidak sedikit orang tua yang sudah lepas tangan karena anaknya nakal, atau kecanduan obat terlarang, menjadikan pesantren sebagai tujuan akhir berharap anak atau keluarganya menjadi lebih baik.
Pesantren bukan bengkel rohani, tapi lembaga pendidikan dengan nilai-nilai luhur yang mencetak para santri kelak menjadi orang yang ikhlas, berilmu, beradab, berakhlak dan bermanfaat bagi banyak orang. Kini, eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak sendiri. Ada sekolah umum yang dikelola negara dan swasta bercorak pendidikan umum dari tingkat SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Ada juga pendidikan yang berbasis alam, dan kurikulum internasional seperti Cambridge, Harvard, Oxford, dan lainnya. Bahkan sekarang menjamur lembaga Tahfiz Al-Quran yang berbasis asrama, mirip dengan yang berlaku di pesantren. Lembaga pendidikan beragam ini tidak dipungkiri memberikan orang tua banyak pilihan ke mana anaknya harus belajar.
Minat Menjadi Santri Turun
Lalu, bagaimana eksistensi pesantren di Kabupaten Bogor? Litbang LPKPU MUI Kabupaten Bogor mencoba memotret pertanyaan di atas. Hasil observasi lapangan dari berbagai pesantren yang tersebar di 37 kecamatan se-Kabupaten Bogor, diambil sampling 10 (sepuluh) pesantren per-kecamatan. Hasilnya terdapat penurunan jumlah santri baru dari 25.834 santridi tahun 2024 menjadi 16.484 santri di tahun 2025. Penyusutan sebesar 36% ini merupakan jumlah yang tidak sedikit jika melihat berdasar angka. Fenomena menurunnya minat orang tua memasukkan anaknya ke pesantren bisa dijelaskan dengan banyak variabel dan melibatkan banyak stakeholder sebagai pemangku kebijakan, seperti Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Jawabannya bisa luas, tapi dalam tulisan ini akan dipersempit dari sudut pesantren untuk menjawab angka di atas.

Dalam sebuah kesempatan, tim Kalam Ulama menyambangi rumah orang tua murid yang semula ingin memasukkan anaknya ke pesantren tapi belakangan tidak terlaksana. Menurut orang tua murid, faktor ekonomi yang menjadi dasar pertimbangan agar anaknya meneruskan pendidikan ke pesantren. Harus dipahami bahwa penjelasan satu orang tua murid ini tidak bisa jadi faktor utama kenapa pesantren jadi pilihan, tapi fenomena ini bukan barang baru. Alasan umumnya orang tua memasukkan anaknya ke pesantren agar kelak mendapat bekal ilmu agama yang kuat dan ilmu umum. Pendek kata, si anak nanti tidak hanya kuat ilmu agama tapi juga mumpuni ilmu dunianya. Ibarat sekali dayung, dua atau tiga pulau terlampaui.
Tak sedikit juga masyarakat awam melihat bahwa pesantren sekarang banyak yang bagus: fasilitas asrama, kurikulum pendidikan, kualitas guru dan jaminan kelulusan bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di luar negeri. Bukan salah orang tua murid jika punya penilaian seperti itu. Memang, derasnya informasi soal pesantren yang berseliweran di media massa, whatsapp grup keluarga, pamplet, media sosial seperti Instagram, Facebook dan TikTok, menjadi acuan mereka. Sekalipun informasi itu masih sebatas di permukaan atau kulitnya saja.
Tidak Semua Pesantren Sama
Diversifikasi lembaga pendidikan umum yang dikelola negara dan swasta adalah fakta. Sebut saja sebuah Sekolah Menengah Atas yang satu dengan yang lainnya punya pembeda, dari kurikulum, kualitas guru, fasilitas gedung, alat pembelajaran, materi pembelajaran, dan lain sebagainya. Begitu juga pesantren. Tiap-tiap lembaga pendidikan yang pelajaran umum, bahkan pesantren punya fokus dan konsentrasi berbeda, ada pesantren modern dan ada pesantren salafiyah. Klasifikasi pesantren salafiyah dan pesantren modern bukan bermaksud menyempitkan definisi. Ini hanya memudahkan untuk menangkap perspektif berdasarkan pengalaman riil di lapangan.
Pesantren salafiyah berbasis pada pengajian turots atau kitab kuning yang merujuk warna kitabnya memakai kertas berwarna kuning. Kitab kuning bisa beragam bidang atau fan, dari fiqh, usul fiqh, tauhid, hadist, tafsir, mantiq, ilmu bahasa, dan masih banyak lainnya. Sementara pesantren modern, menyebut salah satunya, menitik beratkan pada pengkajian bahasa. Karena lewat bahasa menjadi kunci atau pintu masuk untuk menyelami banyaknya fan atau keilmuan yang terdapat dalam kitab kuning yang disebutkan di atas.
Dulu pendidikan di pesantren salafiyah berbasis sistem sorogan, di mana santri belajar duduk mengemper lalu satu persatu mengaji ke kiai atau pengasuhnya di tajug, musala atau ruang terbuka. Sementara pesantren modern menerapkan sistem klasikal di mana kiai atau guru mengajar di depan kelas dan para santri duduk di tempatnya masing-masing. Tapi ini sudah berubah. Sekarang ini perbedaan di atas sudah mulai tipis. Pesantren salafiyah sudah banyak yang menerapkan sistem klasikal. Bahkan ada pendidikan formalnya dari tingkat SMP, SMA, sampai Ma’had Aly setingkat perguruan tinggi. Ini bukti bahwa pesantren melakukan adaptasi, perubahan sesuai tuntutan zamannya. Tapi nilai-nilai mendasar pesantren tetap bertahan karena kuat dengan kaidah Islam yang popular: “Al-muhafadhotu ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah,” yang berarti memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Berikut ini tim Kalam Ulama berhasil mewawancarai beberapa pengasuh pesantren dan guru soal fenomena naik turunnya jumlah santri di pesantren mereka. Semuanya memberikan sudut pandang berbeda karena banyak factor, mulain dari filosofi pendirinya, dan segmentasi atau konsentrasi pendidikan yang ditawarkan.
Pesantren Raudhatul Hikam, Cibinong, misalnya. Pesantren salafiyah pimpinan KH. Zein Djarnudji ini tidak terlalu memikirkan soal naik turunnya santri. Setiap ajaran baru di Pesantren Raudhatul Hikam santri yang mendaftar berkisar 50 orang per tahun, bahkan bisa kurang bisa lebih. “Kami di sini tidak terlalu merasakan dampak sedikit atau banyak masuknya santri. Karena di Raudhatul Hikam ini masih menggunakan adat istiadat pesantren salafiyah,” ungkap Ustadz Mizi pengasuh Pesantren Raudhatul Hikam kepada Kalam Ulama.
Bahkan, Pesantren Raudhatul Hikam tidak melakukan perubahan kebijakan internal karena pada dasarnya konsentrasi pendidikannya pada penguasaan kitab kuning penuh dari pagi sampai malam. Tapi memang ada rencana membuat lembaga sekolah yang setingkat dengan sekolah umum. “Kapanpun santri ingin mendaftar, pasti kami terima dengan baik,” imbuhnya. Diakui Ustadz Mizi, pihaknya selama ini memang aktif mempromosikan konsentrasi pesantren melalui media sosial, seperti Facebook dan Instagram, selain pengajian mingguan yang diadakan di Raudhotul Hikam. Perlu digarisbawahi, bahwa di tengah zaman yang berubah, orientasi visi misi pesantren tidak berubah.
“Harapan Pak Kiai untuk santri-santrinya yang sering beliau bilang, salah satunya bekal santri yang pertama berakhlak karimah, mempunyai sopan santun dalam segi apapun, segi bersosialisasi ataupun sopan santun dalam segi belajar mengajar. Yang ketiga, mencetak santri yang berkualitas, baik dari segi ilmu agama maupun ilmu umum,” tambah Ustadz Mizi.
Pesantren salafiyah lainnya, yaitu Pesantren Hidayatul Wildan, Leuwisadeng. Pesantren yang didirikan oleh KH. Makmur Jawawi (alm) ini tak mempersoalkan perubahan di luar, dan meski sekarang dijalankan oleh penerusnya, sistem dan nilai masih berjalan seperti biasa. Demikian disampaikan KH. Iyab Syihabudin, anak almarhum KH Ma’mur Jawawi sekaligus dewan pengajar santri putra.
“Alhamdulillah, meski mama (panggilan akrab untuk kiai di tanah Sunda, red) sudah tiada juga masih stabil. Untuk santri baru yang masuk itu di bulan Syawal. Di sini enggak mengikuti sistem pendaftaran santri baru seperti sekolah tahun ajaran baru. Di sini tidak ada penurunan santri, stabil aja,” ungkap Haji Iyab.
Di Pesantren Hidayatul Wildan yang berbasis salafiyah, biaya pendidikan gratis untuk para santri, kecuali listrik sama kayu bakar untuk memasak. Karena memang santri di salafiyah memasak sendiri. Ini sisi lain yang banyak awam tidak tahu. Bahwa di pesantren salafiyah, santri berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri karena untuk kebutuhan makan dan memasaknya dari kantong sendiri.
“Di sini kan gratis, jadi faktor ekonomi bukan menjadi penyebab naik turunnya santri. Bukan menjadi halangan bagi orang tua wali santri yang merasa tidak punya biaya untuk memasukkan anaknya ke pesantren. Silakan yang mau masuk pesantren gratis, cuma bayar listrik saja, itu juga kan buat dia sendiri listriknya,” tambah Haji Iyab. Menyikapi perubahan pendidikan di dunia luar dan tantangan yang luar biasa, terutama strategi cara menarik santri, Haji Iyab menjawabnya dengan bijak. “Tidak ada strategi mah, jadi Lillahi’ta’aala aja. Yang mau pesantren mangga silakan, engga juga tidak maksa harus pesantren.”

Lain pesantren salafiyah, lain juga dengan pesantren modern, salah satunya Pesantren Ummul Qurro Al-Islami, Leuwiliang. Biasanya, setiap tahun yang mendaftar lebih dari 1000 calon santri baru tapi dalam tiga tahun terakhir memang menurun. Tahun ini saja santri yang mendaftar sekitar 700- an. Penurunan ini terjadi pasca badai Covid-19. Salah satu faktornya adalah ekonomi orang tua.
“Kalau kita bicara dari segi kualitas pesantren tidak menurun, justru malah semakin bagus. Jadi (turunnya santri, red) bukan masalah internal pesantren dari sisi kualitasnya. Ini terkait faktor eksternal (ekonomi, red) yang tidak bisa kita hindari, jadi ini pasca-Covid,” ungkap Dr. KH. Saiful Falah,M. Pd.I., selaku pimpinan Pesantren Ummul Quro Al-Islami sekaligus Rektor Institut Ummul Quro Al-Islami.
KH. Saiful Falah memberikan analogi cukup sederhana terkait turunnya minat orang tua murid memasukkan anaknya ke pesantren. Ini bukan soal kualitas pesantrennya. Tapi faktor ekonomi yang utama. “Kalau kita analogikan, mau jualan apapun kalau kita (pembeli, red) enggak punya duit ya enggak bisa membeli. Promosinya enggak akan sampai pada tujuan. Mau jualan sarung kalau enggak punya duit, enggak akan bisa. Karena emang (pembeli, red) enggak punya duit,” ungkapnya.
Ia memastikan dunia pesantren sangat adaptif menyikapi perubahan yang ada. Dulu pesantren hanya berkutat pada pengajian kitab kuning, tapi ketika bahasa Inggris dan Arab menjadi kebutuhan mendesak akhirnya pesantren beradaptasi. Ada kurikulum bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sekarang ada permintaan dari masyarakat yang mengharuskan alumni pesantren masuk ke perguruan tinggi negeri, dan pesantren adaptif menyediakan jalannya lewat pengembangan kurikulum.
“Pertanyaannya kok enggak nambah? Ya karena (orang tua murid, red) enggak punya duit. Bagaimana caranya banyak yang masuk pesantren? Pemerintah harus pro terhadap lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren. Jangan malah bikin sekolah rakyat yang gratis, ini sangat kontra produktif, kenapa? Dengan adanya sekolah rakyat gratis di bawah kebijakan pemerintah melalui dana sosial, ini akan menyedot atensi masyarakat, bukan hanya masyarakat yang tidak mampu yang ingin menyekolahkan anaknya ke lembaga yang gratis, yang kaya punya uang pun pasti ingin memasukan anaknya. Akhirnya itu mengurangi peminat masuk pesantren yang berbayar,” beber KH. Saiful Falah.
Pesantren yang berbiaya gratis dan murah menjadi incaran menarik para santri. Selain itu, pengelola juga berusaha untuk meningkatkan kualitas di bidang kurikulum dan fasilitas pendukung lainnya. Perlakuan ini sangat menarik, karena pengelola pesantren adaptif terhadap kebutuhan santri, dan inovatif terhadap kurikulum kepesantrenan.
Inovasi bukan mengubah keseluruhan sistem, melainkan memberikan sentuhan baru untuk mendapatangkan manfaat yang lebih besar dari sebelumnya, seperti aspek ekstrakurikuler di pesantren. Inovasi ini diharapkan dapat mencetak lulusan yang mampu mengkombinasikan ilmu agama dengan ilmu umum sesuai tantangan zaman. Inovasi kurikulum pesantren dapat dilakukan dengan pendekatan model MTC (Multi Triple Curriculum), artinya kurikulum yang memprioritaskan tiga keunggulan: tradisional pesantren, penguasaan bahasa, dan ilmu pengetahuan atau teknologi.
Respon Pemangku Kebijakan
Tim Kalam Ulama berkesempatan untuk mewawancarai Abah Farhan selaku Ketua Pokja Pesantren Kabupaten Bogor. Dalam pandanganya, setidaknya ada dua faktor determinan yang menyebabkan terjadinya penurunan minat terhadap pesantren.
Pertama, masifnya pendirian pesantren modern dan tahfiz dengan skala dan daya tampung yang besar. Bukan hanya besar, namun disuplai dengan manajemen mutu pendidikan terkini yang diselaraskan dengan kebutuhan zaman, seperti tambahan mata pelajaran bahasa asing (Jepang, Jerman, red) serta penerapan teknologi di berbagai sendi. Artinya, sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren wajib adaptif, mau tidak mau.
Kedua, manajemen lembaga yang masih konservatif. Dahulu santri datang berduyun-duyun ke kediaman ulama, mereguk ilmu darinya, tanpa harus mempertimbangan fasilitas bangunan dan manajemen mutu pendidikan. Hari ini, kebalikannya. Yang pertama dicek adalah, fasilitas bangunannya, kelasnya, tenaga pendidikan, dan perlahan tidak memperhatikan siapa figur kiainya.
Abah Farhan lebih menyoroti fenomena ini pada pesantren klasik atau salafiyah. Ketiadaan sekolah formal dan hanya bertahan dengan figur sang kiai tanpa adaftasi dengan kebutuhan masyarakat, dikhawatirkan hilang ditelan zaman. “Saya kira, pendidikan dan kajian kitab klasik tetap harus tetap dibumikan, namun hal tersbut perlu ditunjang dengan inovasi baik di sisi manajemen, kurikulum dan fasilitas lainnya,” ujar Abah Farhan melalui WhatsApp.

Sementara itu, Kasi Pontren Kemenag Kabupaten Bogor, Dr. KH. Ade Sarmili, S.Ag., M.Si., pun menanggapi merosotnya minat terhadap pesantren. Menurutnya, pertumbuhan lembaga pendidikan keagamaan (baca : pesantren) tidak diimbangi dengan jumlah santri yang ingin mendaftar. Artinya, lebih banyak supply dibandingkan dengan demand. Sebagai contoh, saat ini pesantren yang terdaftar di Education Management Information System (EMIS) Kabupaten Bogor, terdapat 3.000 pesantren, dan masih ada 800-an antrian yang mengajukan izin operasional pesantren. Berbeda dengan sekolah umum, calon santri ini umumnya bersifat segmented. Dulu ayah dan ibunya pesantren, maka anaknya pasti pesantren. Menurut penuturan KH. Ade Sarmili, tambahan amunisi santri dengan latar belakang yang berbeda dengan orang tuanya masih sedikit.
Oleh Karena itu, dapat disimpulkan bahwa jumlah santrinya konstan atau stabil, sedangkan pesantrennya terus bertambah. Disadari atau tidak ceruk pasar pesantren ini tidak mengalami kenaikan yang progresif, sehingga pesantren yang saat ini merasakan penurunan jumlah santri, disarankan untuk melakukan internalisasi manajemen mutu, layanan, fasilitas sekolah formal agar dapat menjawab tuntutan orang tua yang semakin kompleks.
“Hari ini, saya justru melihat gelombang kenaikan terjadi di sekolah islami terpadu, mereka selalu melakukan inovasi dalam kurikulum dan perbaikan layanan pendidikan yang berkelanjutan”, tambah KH. Ade Sarmili. Contohnya adalah, banyak SIT (Sekolah Islam Terpadu) yang menambah jam ekstrakurikuler robotic, SEO dan Website Development, Coding Aplikasi, dan Digital Enterpreuner pada lembaganya. Peminatnya banyak, bahkan tidak sedikit SIT menerapkan sisem pendaftaran di muka (waiting list).
Baik Kasi Pontren Kemenag Kabupaten Bogor maupun Pokja Pondok Pesantren, keduanya memiliki premis yang sama, yaitu Inovatif, Adaptif dan Solutif. Tidak perlu mengeliminir visi, misi dan akar rumput kurikulum lama (baca; kajian turots), yang diperlukan adalah terobosan baru, untuk menjawab kebutuhan pasar yang semakin kompetitif.
Sumber: Majalah Kalam Ulama Edisi ke-28
Sebelumnya:
Majalah Kalam Ulama Edisi ke 28