MUI-BOGOR.ORG – Cibungbulang – Di tengah derasnya arus modernisasi dan digitalisasi, eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara menghadapi tantangan serius. Fenomena menurunnya minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke pesantren tidak lagi sekadar isapan jempol, tetapi menjadi realita yang dirasakan langsung oleh para pengasuh pesantren dan para alumninya.
Menyadari urgensi ini, para alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) Korwil Bogor Barat I berkumpul dalam sebuah forum silaturahmi yang digagas oleh LPKPU MUI Kabupaten Bogor di Aula RA Nurul Amal Kp. Babakan Cigola, Desa Ciaruteun Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, pada Minggu (1/6/2025).
Pertemuan ini bukan sekadar temu kangen, ia menjelma menjadi ruang kontemplasi kolektif untuk membedah persoalan, mengurai sebab, dan merumuskan solusi atas krisis yang tengah mengintai dunia pesantren. Di balik suasana kekeluargaan, diskusi mengalir tajam, jujur, dan penuh keprihatinan.

Ketua LPKPU Ahmad Zulfiqor, MA., sebagai moderator, membuka forum dengan menyoroti salah satu akar persoalan, yaitu kegagapan digital di lingkungan pesantren. “Informasi soal pesantren sulit diakses masyarakat. Padahal sekarang semua serba digital,” ujar Kang Fiqor sapaan akrabnya. Perkataan itu bukan asumsi belaka. Kang Niam Rohmatullah, pengasuh Pondok Pesantren Ummul Quro menyampaikan data mengejutkan, bahwa jumlah santri baru tahun ini turun hingga 40 persen.
Fenomena ini menimbulkan perdebatan menarik. Sekretaris MUI Kecamatan Tenjolaya, Ust. Marpu menjelaskan perbedaan mencolok antara pesantren salafiyah dan modern. “Pesantren salafiyah berbasis kitab kuning cenderung stagnan. Sementara pesantren modern lebih adaptif, menawarkan fasilitas dan program tambahan seperti tahfidz, bahasa asing, bahkan penyetaraan ijazah,” katanya.
Kang Burhanudin dan Ustadz Yosep Budiman alumni PKU dari Kecamatan Ciampea menimpali, menekankan bahwa masyarakat masa kini lebih memilih pesantren yang memiliki ‘nilai tambah’ dan mampu menjawab kebutuhan zaman.

Namun, lebih dalam dari sekadar program, muncul satu benang merah, yaitu ketokohan ulama. Menurut Kang Sholehuddin alumni PKU dari Kecamatan Ciomas dan Kang Ghozali dari Kecamatan Dramaga, “sosok kyai kharismatik adalah ruh dari pesantren. Jika ruh itu memudar, maka keberkahan pun ikut memudar.” Pernyataan itu menggugah. Betapa kuatnya peran personal dalam membentuk magnet spiritual sebuah pesantren.
Sementara itu, dari sudut pandang yang berbeda, Kang Munawwir dari Kecamatan Cibungbulang menambahkan dimensi lain, yaitu keluarga. Ia menyebutkan bahwa pola asuh, lingkungan sosial anak, dan sikap orang tua juga turut menentukan pilihan pendidikan ke pesantren.

Dalam forum itu, hadir juga Ketua MUI Bidang Pendidikan & Kaderisasi, Dr. Saepudin Muhtar, M.Sos., yang akrab disapa Gus Udin, dengan gaya tutur khasnya, menyajikan pandangan yang lebih filosofis dan historis. Ia membedakan antara pondok dan punduk. “Pondok itu tempat ilmu dan keberkahan, sederhana tapi hidup. Punduk itu megah secara fisik, tapi hampa dari ruh,” katanya. Ia pun membagi faktor penurunan ini pada dua sisi, yaitu ekonomi bagi pesantren modern, dan regenerasi tokoh untuk pesantren salafiyah.
Gus Udin juga mengingatkan pentingnya UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren sebagai pijakan legal untuk inovasi dan pengembangan, termasuk soal muadalah sebuah program yang menyetarakan pendidikan pesantren dengan pendidikan formal tingkat universitas.
Diskusi mencapai puncaknya ketika Sekretaris Umum MUI Kabupaten Bogor, H. Irfan Awaludin, M.Si., mengangkat refleksi tajam tentang PKU itu sendiri. “Usia PKU sudah 19 tahun, seharusnya sudah baligh dan mumayyiz. Tapi apakah alumninya sudah matang secara keilmuan dan mental?” kata pria yang akrab disapa Gus Irfan itu. Ia mengajak para alumni untuk tidak hanya menjadi penonton zaman, tapi menjadi penggerak perubahan.

Ia menegaskan bahwa santri masa kini harus berani berpikir kritis, menyadari jati diri, dan punya semangat juang tinggi. “Jangan berhenti hanya di ranah pendidikan. Santri harus masuk ke ranah strategis, politik, birokrasi, ekonomi, media. Kalau tidak, kita akan terus melihat ironi negeri dengan pesantren terbanyak, tapi masih dihantui oleh pinjol, judi online, dan dekadensi moral,” tegasnya.
Silaturahmi itu pun ditutup dengan satu opini, bahwa pesantren bukan sekadar bangunan tua atau lembaga kuno, tapi warisan hidup yang harus terus dijaga, ditumbuhkan, dan disesuaikan dengan zaman. Bahwa tugas alumni PKU bukan selesai di ruang kelas, tapi di medan juang yang nyata.
Dari Kampung Babakan Cigola hari itu, lahir suara-suara perubahan. Lembut, tapi dalam. Kritis, tapi penuh cinta. Demi pesantren yang tetap relevan, berkah, dan membentuk peradaban. (ed.fw)