MUI-BOGOR.ORG – Dalam balutan suasana hangat dan penuh keakraban, para alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) Korwil Bogor Barat 2 menggelar pertemuan silaturahmi di Aula Yayasan Tahta Syajaroh, Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jumat (30/5/2025). Tak sekadar temu kangen, forum ini menjelma menjadi ruang diskusi reflektif sekaligus diskusi kritis atas persoalan mendalam yang tengah membelit dunia pesantren di Kabupaten Bogor hari ini, yaitu menurunnya minat masyarakat terhadap pesantren.
Para alumni dari berbagai kecamatan seperti Jasinga, Cigudeg, Parung Panjang, Leuwisadeng, Nanggung, dan Rumpin berkumpul bukan hanya untuk bersua, tapi untuk merespon kegelisahan bersama. Mereka menyadari, ada realitas yang luput dari radar Kementerian Agama, Pokja Pesantren, Forum Pondok Pesantren, maupun Pemerintah Daerah, yakni gejala menurunnya animo santri baru yang kian terasa di berbagai pesantren, terutama di Kabupaten Bogor.
Sebelum sesi diskusi dimulai, Ketua LPKPU MUI Kabupaten Bogor, Ahmad Zulfiqor, MA., membuka dengan sebuah renungan reflektif mengenai dua dekade kepemimpinan Prof. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA., MH., sebagai Ketua Umum MUI Kabupaten Bogor. Dalam paparan singkatnya, Kang Fiqor menekankan pentingnya keteladanan kepemimpinan dan bagaimana refleksi ini seharusnya menjadi motivasi bagi para alumni PKU dalam bergerak.

Kang Fiqor menyebutkan tiga pencapaian monumental Prof. KH. Mukri Aji, yakni dalam bidang infrastruktur, organisasi, dan akademik. “Beliau berhasil memindahkan MUI dari gedung lama yang menyatu dengan Masjid Baitul Faizin ke gedung baru yang representatif. Ini bukan hal kecil, ini bukti diplomasi kemampuan lobi yang luar biasa dengan Pemkab Bogor,” ujarnya.
Di sisi organisasi, Prof. KH. Mukri Aji dikenal sebagai seorang organisastoris, pemimpin inklusif yang membuka ruang bagi para alumni PKU yang kini banyak terlibat dalam struktur kepengurusan. Dan secara akademik, program PKU MUI Kabupaten Bogor menjadi program percontohan tingkat nasional yang kini sudah memasuki angkatan ke 19.
Diskusi kemudian berlanjut ke isu utama, membahas mengenia penyebab menurunnya minat masyarakat terhadap pesantren. Dari testimoni para pimpinan dan pengasuh pesantren, terlihat bahwa faktor eksternal seperti pemberitaan negatif di media massa turut memberikan kontribusi terhadap persepsi publik. Isu kekerasan yang ditampilkan secara masif menciptakan stigma dan ketakutan, membuat orang tua ragu untuk menitipkan anak-anaknya ke pesantren.

“Faktor internal pun tak bisa diabaikan, dimana manajemen pesantren perlu ditingkatkan, baik pesantren modern maupun tradisional, dan kurangnya inovasi dalam kurikulum juga ikut mempengaruhi,” ujar salah satu peserta diskusi.
Sementara itu, Sekretaris MUI Kabupaten Bogor, Puad Hasan, MA., yang hadir dalam forum ini, menyampaikan pandangannya secara tegas. Menurutnya, situasi ini justru menjadi panggilan bagi MUI dan para alumni PKU untuk tampil sebagai motor perubahan.
“Di sinilah pentingnya kita menyadari bahwa Bogor Barat bukan wilayah biasa. Ia adalah pusat sejarah dan gerakan keislaman. Pesantren-pesantren tua seperti Mama Bakri Sadeng dan Pesantren Temanggungan di Rumpin menjadi saksi perjalanan panjang keilmuan dan perjuangan Islam,” jelas Puad Hasan.
Ia juga mengajak para peserta untuk kembali mengkaji akar historis pesantren. Menurutnya, pesantren tidak selalu seperti yang kita kenal hari ini. “Pesantren pasca Perang Diponegoro baru mulai terlembagakan secara sistematis. Sebelumnya, ia adalah pusat perlawanan kolonial dan penguatan spiritual,” katanya.
Sebagai penutup, Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi, Dr. Aep Saepudin Muhtar, M.Sos., atau akrab disapa Gus Udin, memberikan semacam rumus gerakan bagi alumni PKU yang menjadi the creative minority, yaitu kelompok kecil yang mampu membuat perubahan.
“Gerakan kita harus mencakup tiga dimensi. Pertama, harakah ilmiah, kita harus terus belajar dan mengajar. Kedua, harakah siyasah, kita harus hadir dalam politik untuk mengawal kebijakan. Ketiga, harakah ruhaniyah, kita harus rawat ruhani kita agar tetap bersih,” ujar Gus Udin. (ed.fw)