Implementasi Pendidikan Karakter Yang Berorientasi Pada Nilai Spiritual

Implementasi Pendidikan Karakter Yang Berorientasi Pada Nilai Spiritual
H. Asep Rahmat, Lc., M.Ag

Oleh: H. Asep Rahmat, Lc., M.Ag. (Komisi Hubungan Luar Negeri MUI Kabupaten Bogor/Alumni PKU Angkatan IV)

Pendidikan adalah proses interaksi transformasi ilmu dan internalisasi nilai-nilai antara guru dan murid. Pendidikan merupakan media bagi terjadinya transformasi nilai dan ilmu  untuk membekali manusia dalam membentuk corak kebudayaan dan peradaban.

Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi seseorang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dengan pengembangan dan pembinaan seluruh  potensi yang ada pada diri  manusia, pendidikan diharapkan dapat mengantarkan manusia pada suatu capaian norma-norma yang menjunjung hakikat kemanusiaan itu sendiri sesuai dengan pesan dasar agama.

Persoalannya adalah banyak orang berpengetahuan namun perilakunya tidak mencerminkan keilmuan dan pendidikan yang disandangnya. Kasus-kasus di luar nalar yang dihadapi warga terdidik, seperti kriminalitas, narkoba, pergaulan bebas, bahkan terjadinya perselingkuhan antara dosen dan mahasiswa, dan lain sebagainya  menjadi indikasi rendahnya akhlak, budi pekerti dan karakter bangsa.

Melihat fenomena ini, maka pendidikan karakter saat ini begitu urgen digalakan, sebab urgensi dari pendidikan adalah mampu menghasilkan generasi terdidik yang mempunyai moralitas yang baik. Sepandai apapun manusia, jika akhlaknya buruk tidak akan memiliki arti di hadapan masyarakat dan tuhannya. Karena status dan nilai tinggi rendahnya seseorang dilihat dari perilaku dan moralitasnya, “adab di atas ilmu” begitulah kira-kira.

Menurut Haedar Nashir, karakter sering dikaitkan dengan kepribadian, sehingga   pembentukan karakter juga dihubungkan dengan pembentukan kepribadian. Sedangkan   menurut Muchlas Samani, karakter dimaknai sebagai “cara berfikir dan berperilaku yang khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, sekolah maupun masyarakat”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa karakter  sama  pengertiannya  dengan  akhlak  yang  merupakan sifat  dasar  manusia  yang  akan  mempengaruhi  kepribadian  dirinya.  Dengan  adanya karakter atau akhlak, maka seseorang dapat memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap  berbagai  fenomena  yang  muncul  dalam  diri  ataupun  hubungannya dengan orang lain, dalam berbagai keadaan serta bagaimana mengendalikannya.

Diantara nilai-nilai Pendidikan Karakter adalah relijius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Dengan  pendidikan karakter  yang  diterapkan  secara  sistematis  dan  berkelanjutan,  seorang anak  akan  menjadi  cerdas  emosinya.  Kecerdasan  emosi  ini  adalah  bekal penting  dalam  mempersiapkan  anak  menyongsong  masa  depan,  karena seseorang  akan  lebih  mudah  dan  berhasil  menghadapi  segala  macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Metode-metode Pendidikan Karakter

Furqon  Hidayatulloh  dalam  bukunya  “Pendidikan  Karakter Membangun Peradaban Bangsa”, membagi metode Pendidikan Karakter  menjadi   lima   macam,  yaitu: pertama   metode   keteladanan,   kedua  metode  penanaman  disiplin, ketiga  metode  pembiasaan,  keempat metode  menciptakan suasana yang kondusif, kelima metode integrasi dan internalisasi.

Pendidikan karakter dikembangkan dalam tiga tahap, yaitu kognitif (knowing) yang membentuk  pengetahuan moral, psikomotor (acting) yang membentuk perbuatan moral, dan afektif yang membentuk kebiasaan (habit) kemudian menjadi karakter.

Menurut penulis, perlu adanya penambahan domain agama, yakni aspek spiritual (kedalaman keimanan), sehingga akhlak tidak sekedar hasil dari proses pembiasaan, tetapi muncul dari kedalaman spiritual (kesadaran ke-tuhan-an) yang berada dalam hati.

Karena karakter yang didasari dengan kedalaman spiritual akan membawa manusia lebih bijak dalam menjalani kehidupan. Sebagaimana Imam Al-Ghazali menjelaskan, “apabila Allah sudah menguasai hati hamba-Nya maka Allah limpahkan rahmat dan cahaya kedalamnya. Lalu hamba itu akan merasakan lapang dada dan terbuka hikmah-hikmah kehidupan dengan kelembutan rahmat Allah.

Sikap dan perilaku keagamaan mencakup semua aspek yang berhubungan dengan agama. Sikap dan perilaku keagamaan adalah suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Terdapat tiga komponen dasar menyangkut sikap dan perilaku keagamaan, sebagai berikut: (1) Komponen Kognisi, adalah segala hal yang berhubungan dengan gejala pikiran seperti ide, kepercayaan dan konsep; (2) Komponen Afeksi, adalah segala hal yang berhubungan demgan gejala perasaan (emosional, seperti: senang, tidak senang, setuju, tidak setuju); dan (3) Komponen Konasi, adalah merupakan kecenderungan untuk berbuat, seperti memberi pertolongan, menjauhkan diri, mengabdi dan seterusnya.

Dalam buku Percikan Pemikiran Pendidikan (2009), Al-Rasyidin menyebutkan ada beberapa langkah strategis dalam pelaksanaan pendidikan spiritual keagamaan, yaitu: (1) Pemberian teladan; (2) Cara praktis dalam pengajaran agama; (3) Kisah/Cerita; (4) Mendidik melalui kebiasaan, Ada dua jenis pembiasaan yang perlu ditanamkan melalui proses pendidikan yaitu: pertama, kebiasaan yang bersifat otomatis, dan kedua, kebiasaan yang dilakukan atas dasar pengertian dan kesadaran akan manfaat atau tujuannya.

Upaya yang mesti dilakukan dalam mengimplemetasikan nilai-nilai spiritual dalam pendidikan adalah melalui proses kesinambungan yang disertai dengan konsistensi dalam melakukan pembinaan kepada peserta didik. Artinya, nilai-nilai agama akan berhasil dan tertanam terhadap karakter atau perilaku peserta didik akibat adanya pengitegrasian antara komponen kesadaran keagamaan dan ketulusan dalam melaksanakan pembelajaran dalam lingkup pengajaran.

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa ajaran dan nilai-nilai spiritual menjadi pilar pendidikan karakter. Karena hakikatnya dalam diri manusia itu telah tertanam keyakinan bahwa baik dan buruk itu ada. Karenanya, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral  yang tujuannya mengembangkan kemampuan seseorang  untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

Wallâhu a’lam Bi al-shawâb