Kajian Tasawuf: Percikah Hikmah Syaikh Ibn Atho’illah

Kajian Tasawuf: Percikah Hikmah Syaikh Ibn Atho’illah

Oleh: Drs. H. Moh. Husnudin

{اجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ، وَتَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ
دَلِيْلٌ عَلَى انْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ}

“Kesungguhanmu dalam hal-hal yang sudah dijamin Allah untuk mu, dan kelalaianmu dalam hal-hal yang sudah dituntut darimu, adalah bukti buta mata hatimu”.

Untuk memahami hikmah ini ada beberapa hal yang harus diketahui terlebih dahulu yaitu: ijtihâd, taqshîr, mâ dlumina laka, mâ thuliba minka dan bashîrah.

Ijtihâd artinya mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Taqshîr artinya lalai, teledor atau gegabah. Mâ dlumina laka artinya apa saja yang sudah menjadi jaminan Allah untuk mu yaitu rizki yang dibagikan untuk manusia. Mâ thuliba minka artinya hal-hal yang menjadi tuntutan Allah kepada mu yaitu perbuatan-perbuatan yang bisa membawa kebahagiaan di akhirat dan membuat dekat dengan Allah yang disebut ibadah dan ta’at. Bashîrah adalah mata hati yang berfungsi untuk mengetahui hal-hal yang bersifat abstrak, sebagaimana Bashar penglihatan untuk mengetahui hal-hal konkrit.

Melalui hikmah ini Syaikh Ibn ‘Atha’illah ingin menjelaskan bahwa ketika seorang sudah mengeluarkan segenap kemampuan dan kekuatannya, tenaga dan pikirannya, sampai ada yang tidak mengenal waktu hanya untuk mendapatkan rizki yang dibagikan. Padahal urusan rizki sudah menjadi tanggungan dan jaminan Allah untuk makhluk-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya sudah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Hud : 6)

Sementara kewajibannya sebagai hamba Allah, yakni ta’at dan beribadah lalai dan menyia-nyiakannya. Maka orang yang seperti ini masuk kedalam katagori buta mata hatinya (thamsul bashîrah).

Dari hikmah ini dapat dipahami jika seseorang bersungguh-sungguh dalam mencari rizki yang halal dengan tidak melalaikan kewajibannya beribadah dan ta’at kepada Allah maka tidak termasuk orang yang buta mata hatinya.
Al-Arif Billah Ibn Ajibah menuturkan apabila Allah hendak membuka mata hati (bashîrah) hamba-Nya maka Allah jadikan anggota tubuhnya sibuk beribadah dan batinnya (hatinya) penuh dengan kecintaan kepada-Nya.

Dan manakala rasa cinta itu membesar dalam hatinya dan kesibukannya dalam beribadahpun meningkat maka cahaya bashîrahpun menjadi kuat hingga mampu menguasai pandangan bashar (penglihatan mata lahirnya), cahaya bashar tenggelam ke dalam cahaya bashîrah. Sebagai dampaknya adalah apa saja yang dilihat mata zhahir (bashar) itulah yang dilihat mata hati (bashîrah) yakni makna-makna halus dan makrifat.

Begitu juga sebaliknya, jika Allah akan menghinakan seseorang maka Allah jadikan anggota tubuhnya sibuk dengan segala urusan dunia dan batinnya (hatinya) dipenuhi dengan cinta dunia, hingga cahaya mata zhahirnya (bashar) menguasai cahaya mata hatinya (bashîrah). Akibatnya yang dia lihat dan dia layani hanya yang nampak saja. Dan karena faktor inilah dia sungguh-sungguh banting tulang mencari sesuatu yang sebenarnya sudah dijamin Allah, yaitu rizki yang dibagikan. Sementara dia melalaikan dan menyia-nyiakan kewajibannya beribadah kepada Allah.
Dari hikmah ini dapat pula dipahami ijtihad atau kesungguhan mencari rizki ada dua macam, yaitu: yang tercela (madzmûm) dan yang tidak tercela (ghair mazdmûm).

Kesungguhan yang tercela adalah ketika kesungguhannya dalam mencari rizki menyebabkan lalai dalam beribadah. Dan kesungguhan yang tidak tercela adalah kesungguhannya dalam mencari rizki akan tetapi tidak mengurangi semangatnya dalam beribadah kepada Allah SWT. Bahkan yang kedua ini memiliki pahala dan keutamaan yang besar.

Namun bagi seorang murid, Syaikh Syarqawi lebih menekankan untuk berusaha semaksimal mungkin mencari qûtul arwâh (nutrisi ruhani) yaitu berzikir kepada Allah dan melakukan hal-hal yang membuat dekat dengan-Nya, bukan qûtul Asy-bâh (nutrisi badan) karena itu sudah jaminan Allah SWT.
Wallâhu a’lam bish-Shawâb