Menelusuri Misteri Bulan Suci Ramadhan

Menelusuri Misteri Bulan Suci Ramadhan

MUI-BOGOR.ORG – Bulan Ramadhan kembali hadir di tengah-tengah kita dengan segenap paket anugerah tak terkira.

Salah satu paket bawaannya adalah misteri yang selalu ada. Di balik kesuciannya, bulan Ramadhan menyimpan rahasia besar dalam “Lailatul Qadar”, malam yang lebih baik dari seribu bulan, di mana kita tidak pernah tahu kapan tepatnya malam tersebut terjadi dan bagaimana amalan pada malam itu bisa mengubah takdir seseorang.

Selain itu, masih banyak fenomena lain yang hakikatnya belum sepenuhnya kita pahami. Dari titik tolak inilah mari kita telusuri misteri bulan ini dengan sabar sedikit demi sedikit.

Satu misteri, kalau tidak disebut sebagai keistimewaan, hanya terjadi di bulan Ramadhan ketika pintu-pintu surga dibuka lebar, sementara pintu neraka ditutup rapat. Sebagaimana riwayat Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ketika datang bulan Ramadhan, pintu surga dibuka, dan pintu neraka ditutup. Setan dirantai.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Fenomena ini bukan sekadar dorongan untuk beramal ibadah atau jaminan terhindarnya seseorang dari dosa, tetapi juga menggambarkan keterhubungan antara dunia dan akhirat yang lebih dalam. Apakah ini memberi gambaran tentang masa depan yang menanti setiap insan?

Terkait dengan setan-setan dibelenggu meniscayakan ketiadaan yang menggoda, sehingga semua manusia berbuat taat. Namun di sini mulai terlihat misterinya, mengapa masih ada di antara manusia yang tetap terjerumus dalam kemaksiatan? Apakah ini berarti ada sesuatu yang salah dalam cara kita memahami ibadah puasa? Ataukah ini menunjukkan bahwa musuh terbesar kita bukanlah setan, melainkan hawa nafsu kita sendiri.

Tidak ada yang memberikan jaminan jawaban yang tepat, namun para ulama semisal Abu Umar Yusuf Al Qurthubi, menafsirkan fenomena ini sebagai bagian dari rahasia ilahi.

Bahkan, misteri yang paling dekat dengan kita adalah diri kita sendiri. Apakah puasa yang kita jalani ini sudah sesuai atau belum, diterima atau tidaknya? Hal ini mengingatkan kita pada sebuah kisah tentang Ali bin Abi Thalib RA yang menangis kala berbuka puasa sebagaimana ditulis dalam kitab Al Fawa’id Al Syatiriyyah.

Maka dikatakan kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis? Dia berkata: Saya tidak tahu apakah saya salah satu dari mereka yang (puasanya) diterima, atau menjadi salah satu dari orang-orang-orang yang dekat kepada Allah, atau salah satu dari mereka yang diusir (dari Rahmat Allah).”

Jika seseorang sekaliber Ali bin Abi Thalib RA masih takut puasanya tidak diterima, bagaimana pula dengan kita? Apakah kita sudah cukup beribadah dengan kesungguhan? Ataukah kita hanya menjalankan ritual puasa sebatas formalitas belaka?

Dalam perspektif teologis, puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Lebih dari itu, puasa adalah proses penempaan jiwa yang diberikan oleh Allah SWT agar setiap Muslim memiliki ketahanan moral yang kuat.

Puasa juga mempertajam nalar kita dalam menghadapi tantangan kehidupan yang kompleks. Dengan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, kita sebenarnya sedang membangun kemampuan batin terhadap berbagai godaan duniawi.

Namun, dibalik itu semua, muncul sebuah pertanyaan mendasar, apakah kita telah benar-benar menjalani puasa dengan kesadaran penuh, ataukah hanya sekadar memenuhi kewajiban tanpa meresapi maknanya?

Di sisi lain, kita tidak pernah bisa mengetahui secara tepat apakah puasa yang dijalankan diterima atau tidak. Justru ketidaktahuan inilah yang seharusnya mendorong kita untuk terus meningkatkan kualitas ibadah dengan penuh keikhlasan. Semoga.

Wallahu a’lam bi as shawab

Dr. M. Taufik Hidayatulloh, M.Si
Penulis: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor/Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)