Oleh: Dr. M. Taufik Hidayatullah, M.Si (Sekretaris Komisi Litbang MUI Kabupaten Bogor)
Mengapa kita cenderung bermuram durja menghadapi kenyataan. Bukankah kita seharusnya juga menyadari bahwa hidup ini sesungguhnya melelahkan. Betapa kita dapati dan jalani kehidupan ini merupakan siklus pergantian antara kebahagiaan dan kesengsaraan.
Bila dikaji lebih dalam, semua kenikmatan dunia ini memiliki potensi untuk ternoda. Beberapa contohnya adalah orang kaya tidak rela dengan kekayaannya, pemimpin tidak puas dengan kepemimpinannya, pejabat tidak bangga dengan jabatannya, dan seterusnya.
Hal itulah yang menyebabkan orang bijak menikmati dunia hanya sekedarnya saja. Dibandingkan mengambil banyak dari dunia, mereka malah lebih banyak memberi kepada dunia. Dengan mengetahui “rahasia besar” ini cukuplah kita sikapi dengan berlapang hati, terutama saat mengetahui betapa besar karunia tak terhingga bahkan saat dalam titik nadir kehidupan sekalipun.
Mungkin kita perlu menelisik lebih jauh. Siapakah di antara kita yang pernah mengalami tungku dapurnya tidak menyala selama 3 purnama dalam dua bulan, di mana selama masa itu hanya kurma dan air lah yang menjadi santapan sehari-hari?
Adakah yang ketika lapar hanya ditemani beberapa batu yang mengisi perutnya yang kosong? Atau siapa yang ketika di pagi hari begitu mendapati ketiadaan makanan di rumahnya langsung bersegera berniat ke puasa? Dalam pada itu, apakah ada yang sanggup tidur dengan beralaskan tikar pelepah keras yang menyebabkan bekas di kulit saat terbangun?
Bila tidak ada atau tidak pernah, cobalah tengok kehadapan seorang pribadi agung. Beliau adalah manusia istimewa yang doanya tidaklah mungkin tertolak jika meminta sesuatu kepada Allah SWT. Itulah baginda Nabi Muhammad SAW sebagai manusia dalam urutan teratas dari manusia yang berlapang hati.
Keteladanan beliau yang sedemikian agungnya itu dicontoh oleh para sahabatnya. Kita dapat melihat sedemikian data yang diperlukan banyak tersedia dari sejumlah sahabat yang mulia. Sebagai salah satu “uji petik” kita layak merenungkan kisah sahabat Urwah bin Zubair dan Umar bin Khattab.
Tersebutlah Urwah bin Zubair menderita penyakit pada kakinya. Karena itu para tabib mengatakan kakinya harus diamputasi. Urwah berkata, “Lakukanlah ketika aku sedang shalat, supaya aku tidak merasakan apa yang kalian kerjakan.” Setelah diamputasi, beberapa orang datang menghiburnya. Salah seorang dari mereka berkata, “Semoga Allah melimpahkan banyak pahala kepada putramu, wahai sahabat Rasulullah.
Urwah dengan keheranan bertanya-tanya, “Ada apa sebenarnya dengan putraku?.” Mereka lalu menjawab, “Putramu diinjak unta khalifah, kemudian meninggal dunia.” Mendengar jawaban itu, Urwah lalu mengangkat kedua tangannya seraya berucap, “Ya Allah, segala puji bagimu. Engkau telah mengambil satu anggota tubuhku tetapi menyisakan anggota yang lain. Dan Engkau juga telah mengambil seorang putraku, tetapi menyisakan putraku yang lain. Segala puji bagi Mu selamanya.”
Satu lagi sahabat lain yaitu Umar bin Khatab, pernah berkata, “Dalam setiap musibah yang kuhadapi, aku bertahmid ke hadirat Allah sebanyak empat kali. Pada hal apa, karena ; Allah tidak memberiku musibah yang lebih besar, Dia tidak memberi musibah dalam keberagamaanku, Dia memberi kesabaran untuk menghadapinya, dan Dia memberiku taufik untuk mengevaluasi diri. Demi Allah, selama masih Muslim, aku tidak peduli pada apa saja yang menimpaku.”
Kedua kisah cuplikan itu dapat dirujuk lebih jauh pada buku Bawaits al Surur karya Dr. Khalid Umar al Disuqi tahun 2004.
Keteladanan perilaku berlapang hati itu merupakan indikasi dari rasa syukur yang begitu khusyu, yang tertuju pada Sang Pencipta, Allah SWT. Menurut para pakar pendidikan karakter, semacam Prof. Thomas Lickona, perilaku yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya itu sudah mencapai taraf tertinggi. Bukan lagi di level feeling good, apalagi knowing good, namun sudah di level acting good.
Kisah-kisah inspiratif dari sahabat Nabi, seperti Urwah bin Zubair dan Umar bin Khatab, menggambarkan sikap berlapang hati dan rasa syukur bukan hanya tentang merasa baik atau mengetahui yang baik, lebih dari itu, bertindak dengan baik.
Ketika kita jadikan contoh-contoh tersebut sebagai inspirasi dalam menghadapi cobaan dalam kehidupan, tidak saja akan menjadikan kita tumbuh menjadi manusia baik, namun juga akan memberikan kesempatan kepada kita untuk menebar pengaruh positif bagi dunia.
Wallahu a‘lam bi as-shawab